Cari

Selasa, 31 Maret 2015

Cap Tikus

Tahun 2012 lalu, tepatnya bulan Februari, Kapolda Sulut Brigjen Polisi Dicky Atotoy menyerukan slogan “Brenti jo Bagate”, dalam dialek Manado diartikan sebagai ajakan untuk berhenti dari mengkonsumsi minuman beralkohol tradisional jenis Cap Tikus (CT) yang sering berujung pada tindak kekerasan dan kriminal. Terlepas dari pro dan kontra, hingga saat ini masih banyak korban akibat penyalahgunaan CT.


CT, bukan asing lagi bagi sebagian besar masyarakat di Manado. Ia dikenal sebagai minuman tradisional masyarakat di Minahasa.

“Kalo nintau bagate Cap Tikus sama deng bencong jo! (Kalau tidak bisa minum Cap Tikus berarti banci alias bukan laki-laki sejati.) “ kata salah satu lelaki dewasa berusia sekitar 35 tahun sambil menawarkan sebatang rokok kepada saya.

Malam itu, saya sengaja memilih menikmati suasana di salah satu sudut kota Manado di malam hari. Itu karena saran dari rekan saya, seorang trainer fitness dan beladiri di salah satu pusat kebugaran di Surabaya yang asal Manado. Di sudut itu memang banyak warung yang menjual CT.

“Jika ada edukasi yang benar mengenai minuman beralkohol mereka tidak akan sampai menjadi korban penyalahgunaan, “ kata rekan saya yang sering mengikuti kontes binaragawan di tingkat nasional itu.

Hingga saat ini, saya belum menemukan referensi secara ilmiah mengenai penamaan Cap Tikus. Akan tetapi, menurut beberapa catatan yang saya peroleh, istilah “cap tikus” muncul ketika pasukan marinir Belanda mulai ditempatkan di Manado menjelang tahun 1900. Karena mereka kekurangan minuman beralkohol asal Eropa seperti Bols, Jenever, maka pedagang Cina-Manado membeli minuman beralkohol dari penduduk lokal lalu dijual dalam botol dengan gambar seekor tikus.

Ada juga catatan lain dimana waktu itu, waranei pasukan rakyat Tondano-Toulimambot suku Tondano dari pos Papakelan sedang berpatroli mengawal pantai Timur Minahasa. Mereka kemudian tergoda untuk berburu anoa hingga merasa lelah dan kehausan. Saat beristirahat disebuah pohon, ada tetesan cairan dari atas pohon yang mengenai rambut kepala dan mengalir ke bibir para waranei tersebut. Rasa cairan itu manis dan menghilangkan dahaga. Kemudian pohon tersebut dipanjat dan mereka menemukan ada bekas cakaran kuku tikus di dahan pohon. Kemudian berkembanglah cerita bahwa pohon yang mengeluarkan air nira itu merupakan sarang tikus pohon.

Ada juga catatan lain yang menghubungkan nama CT dengan salah satu marga orang Minahasa yang pertama kali membuat dan memberikan “merek” minuman beralkohol CT.

CT, di masa lampau, masyarakat di Minahasa mengkonsumsi Cap Tikus hanya untuk menghangatkan tubuh. Bukan untuk mabuk. Beberapa daerah di Minahasa seperti Tondano, Tomohon, Sonder, Modoinding, dan daerah-daerah pegunungan lainnya memang termasuk daerah bercuaca lumayan dingin.

Dalam sebuah upacara naik rumah baru, para penari Maengket menyanyi lagu Marambak untuk menghormati dewa pembuat rumah, leluhur Tingkulendeng. Pada kegiataan seperti itu, maka sang tuan rumah harus menyodorkan atau menyiapkan minuman Cap Tikus kepada Tonaas pemimpin upacara adat naik rumah baru tersebut, sambil para penari menyanyikan “tuasan e sopi e maka wale”, yang artinya kurang lebih adalah tuangkan Cap Tikus wahai tuan rumah.

Di tengah minimnya pengetahuan hingga memunculkan perbuatan penyalahgunaan minuman beralkohol CT, minuman tradisional ini sudah menjadi salah satu sumber pendapatan bagi banyak petani dan pedagang sejak dahulu yang telah berhasil mengubah taraf hidupnya dan mampu membiayai pendidikan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi.

Bukan CT ataupun minuman beralkohol yang menjadi “musuh” utama, akan tetapi bagaimana cara memerangi penyalahgunaan minuman beralkohol yang memabukkan dan mengarah pada kegiatan negative.

Penyalahgunaan , dalam hal ini penyalahgunaan minuman beralkohol, merupakan proses, cara, perbuatan menyelewengkan untuk melakukan sesuatu yang tidak sepatutnya atau menggunakan sesuatu tidak sebagaimana mestinya (Salim dan Salim, 1991). Chaplin (1999) menyebut penyalahgunaan minuman alkohol adalah keadaan atau kondisi seseorang yang meminum-minuman yang mengandung alkohol berkadar tinggi terlalu banyak dan dijadikan kebiasaan meminum-minuman adalah baik jika sesuai aturan, namun apabila terlalu banyak atau berlebihan menjadi tidak baik lagi.

The American Psychiatric Diagnostic and Statistical Manual (dikutip oleh Rivers, 1994) menyebutkan bahwa penyalahgunaan alkohol merupakan penyakit yang paling tidak dalam 1 bulan ke depan mengarah pada kerusakan sosial atau pekerjaan.

Sebelum kami memulai melakukan latihan Russian Twist Obliques, rekan saya berujar “Semua akan tidak sehat ketika seluruh pola hidup sudah berubah, tidak lagi seimbang. Maka semua yang masuk dalam tubuh berubah menjadi racun bagi tubuh, “

Anda peminum ?

"Satu sloki tambah darah, dua sloki nae darah, tiga sloki tumpah darah....." tutupnya.


(indraharsaputra05@yahoo.com)



Senin, 30 Maret 2015

Mr D : Ciptakan Musik Terapi Anti Mabok

Banyak cara yang dilakukan untuk menyatakan kepedulian sosial. Doddy “ Mr D” Hernanto seorang gitaris asal Surabaya yang mempopulerkan tehnik gitar satu jari membuat musik terapi korban oplosan sebagai bentuk perlawanan melawan oplosan.

Menurutnya untuk menekan jumlah korban jiwa akibat oplosan, perlu ada edukasi mengenai minuman beralkohol sehingga tindakan penyalahgunaan minuman beralkohol dapat ditekan.

“Bukan rahasia umum lagi bahwa minuman beralkohol selalu dekat dengan dunia saya, namun sejak dulu hingga sekarang saya seorang vegatarian dan saya bukan seorang perokok. Minuman beralkohol dan penyalahgunaannya merupakan fakta sosial maka perlu pendekatan secara humanistik melalui edukasi agar tidak terjadi penyalahgunaan, “ kata Doddy yang terkenal dengan sebutan Mr D dan tehnik gitar satu jari itu.

Doddy yang kini disibukkan mengajar tehnik gitar satu jari, disamping juga menjadi guru matematika di salah satu sekolah Menengah Atas di Surabaya.

“Saya mencoba membuat musik terapi untuk korban oplosan dengan gitar. Musik terapi itu akan saya gunakan untuk mengedukasi generasi muda menjauhi oplosan, “ katanya.

Musik terapi untuk korban oplosan, kata Doddy berisi tentang pesan-pesan edukatif yang dikolaborasikan dengan suara alam dan satwa seperti harimau, lumba-lumba, burung Curik Bali hingga tapir yang menurut referensi mampu menghasilkan frekuensi untuk terapi kesehatan.

“Musik ialah bahasa universal. Nada dan irama musik alam mampu membuat kondisi rileks sehingga korban oplosan dapat menghilangkan segala bentuk tekanan hidup yang memacu korban untuk mengkonsumsi oplosan. Sedangkan bagi masyarakat luas, terapi musik ini juga diselingi pesan moral yang berisi edukasi mengenai dampak penyalahgunaan minuman beralkohol, “ kata pria kelahiran Mojokerto 24 November 1961 itu.

Doddy mengatakan selama ini banyak yang salah kaprah mengenai minuman beralkohol. Minuman beralkohol dipandang negatif dan disebut minuman keras yang memabukkan. Padahal yang memabukkan itu jika minuman beralkohol itu disalahgunakan.

“Disinilah perlu adanya edukasi dibandingkan regulasi pelarangan dan pembatasan minuman beralkohol, “ katanya. 

Minggu, 29 Maret 2015

Arak : Dari Jamuan Pesta Leluhur, Pengobatan hingga akhirnya Disalahgunakan

Sosiolog asal Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto berpendapat bahwa minuman beralkohol tidak lepas dari budaya. Tidak hanya di Indonesia, bagi masyarakat China, arak (jiu) juga tak terpisahkan dari budaya Tionghoa. Selain menjadi hidangan saat pesta dan perjamuan, arak digunakan sebagai bumbu masakan juga obat-obatan seperti obat rematik, pelancar darah dan penyakit lainnya. Namun arak kini berubah image setelah banyaknya korban jiwa akibat penyalahgunaan arak menjadi oplosan.  

Arak sendiri dikenal sejak zaman dinasti Xia. Menurut legenda, Yi Di yang permaisuri Raja Yu, penguasa pertama dinasti Xia yg terkenal arif dan bijaksana menemukan minuman beralkohol yang dibuatnya dari biji-bijiaan yg diragikan.

Ketika penemuan baru itu disajikan pada suaminya, raja Yu sama sekali tidak gembira. Dengan serius dia justru melarang istrinya untuk menyebarluaskan penemuannya itu. Alasannya karena minuman baru ini dianggap terlalu manis dan memabukkan. Pepatah kuno mengatakan ”Yi Di menghidangkan arak yang sangat manis, maka raja Yu mengasingkannya dari istana.”  Makna pepatah ini  adalah: agar seorang penguasa menjauhi para penjilat yang bermulut manis.

Yi Di pun menuruti perintah Raja dan tidak pernah mempublikasikan penemuannya, sehingga dikemudian hari Du Kang juga dikenal sebagai penemu arak.

Du Kang ialah seorang penggembala miskin. Ada yang bilang, Du Kang  hidup di jamannya Huang Di, pada dinasti Zhou, jaman Samkok  dan dinasti Jin. Versi lain, Du Kang merupakan Shao Kang, salah satu raja dinasti Xia yang dipercaya juga menemukan arak.

Setiap hari, saat menggembalakan ternaknya, Du Kang selalu  membungkus bekal nasinya dalam tabung bambu dan menyimpannya dalam lubang pohon.  Suatu hari Du Kang lupa membawa pulang bekal nasinya yang disimpan dalam pohon. Saat itu, hujan turun berhari-hari yang membuatnya  mengurungkan niatnya keluar rumah. Ketika hujan reda, Du Kang pergi kelubang pohon untuk mengambil makananaya. Namun ia mendapatkan seonggok nasi yang sudah basi dan meragi.

Dari proses peragian alami itulah akhirnya Du Kang mencoba membuat arak dan membuka toko arak. Sejak itu mantan gembala miskin inipun menjadi orang kaya baru didesanya. Du Kang pun dikenal sebagai dewa pelindung pedagang arak.

Arak di China sangatlah beragam. Ada arak kuning yang disebut Huang Jiu, yang terbuat dari bijibijian yang diragikan dan tidak disuling. Arak ini sering dipakai untuk memasak. Warna Huang Jiu beraneka ragam, mulai dari kuning terang sampai yang kemerahan. Ang Ciu (arak merah) yang sering dipakai untuk memasak Chinese food di negara kita termasuk dalam kategori ini. Beberapa jenis arak kuning yang terkenal, misalnya: Nu Er Hong, Zhuangyuan Hong, arak beras Shaoxing dan Huadiao Jiu.  

Ada juga arak putih atau Bai Jiu.  Berbeda dengan Huang Jiu, kadar alkohol dalam Bai Jiu amatlah tinggi. Contoh arak putih yang terkenal, misalnya: Mao Tai, Yanghe Da Qu dan Fen Jiu.  Kemudian dikenal nama arak anggur. Banyak yang beranggapan bahwa tehnologi membuat arak dari buah-buahanan (anggur) masuk ke China pada dinasti Han (melalui jalan sutra.) Namun berdarkan penelitian arkeolog, sisa-sisa arak yang terbuat dari buah ternyata sudah ditemukan dalam tempayan yg berusia 4000-5000 tahun di China.

Selain sebagai jamuan pesta dan bumbu masak, arak juga digunakan sebagai obat. Arak jenis  Wu Jia Pi (Acanthopanax Bark); dipakai untuk mengobati rematik, penyakit persendian dan penyakit lambung. Kemudian Dang Gui (Angleica Sinesis); berguna untuk melancarkan peredaran darah. Arak lainnya seperti ; Tu Su, yang  dibuat dari 7 macam ramuan berkhasiat pengobatan dan biasa disajikan pada tahun baru Imlek. Wuxiang Jiu (Ngo Hiang Ciu) dan Dieda Jiu, yang bisa mengobati luka. Arak tersebut  cukup populer dikalangan praktisi kungfu.

Arak jenis obat ini biasanya diminum saat festival tahunan. Pada Tahun baru Imlek arak Tu Su, yang dipopulerkan oleh tabib Sun Simiao. Adapun nama ”Tu Su”, konon diambil dari rumah tabib Sun yang beratapkan ilalang. (Tu Su berarti atap ilalang). Kemudian Festival perahu naga (Peh Cun) Xionghuang Jiu  (Hiong Hong Ciu) berfungsi sebagai penangkal racun, antiseptik dan penolak bala.

Kemudian pada perayaan kue bulan (tanggal 15 bulan 8) Guihua Jiu (osmanthus wine) yang dikonsumsi bersama kue bulan. Rasanya yang manis melambangkan kebahagiaan dan perjumpaan kembali. Arak juga dikonsumsi pada Festival Chong Yang (9 ganda) arak bunga krisan. Pada tanggal 9 bulan 9, masyarakat China jaman dulu biasanya akan naik ke gunung sambil membawa daun Zhuyu (dogwood) dan arak krisan. Berdasarakan cerita rakyat, kebiasaan ini muncul atas anjuran seorang Taois bernama Fei Changfang. Meminum arak krisan diyakini bisa menjernihkan panca indera  mengobati penyakit kepala.

Arak Tuban
Bagi beberapa warga di Tuban, minuman arak dan tuak yang dikonsumsi dalam ukuran tertentu dipercaya mampu meluruhkan kandungan kapur dalam tubuh. Masyarakat di Tuban sendiri pun juga sudah mengenal arak selama bertahun-tahun.  

Arak Tuban sendiri diproduksi di Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban secara turun temurun dari para sesepuhnya. Mereka mendapatkan resep cara untuk memproduksi Arak itu dari orang tua mereka yang saat ini sudah meninggal dunia.

"Sudah sejak dulu pembuatan Arak ini dilakukan oleh warga disini, bahkan saya sebelum lahir itupun sudah ada. Menurut cerita dari orang tua ini sudah ada sejak jaman masih kerajaan," terang WS (57), salah satu warga Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding, Tuban yang tak mau disebutkan namanya.

Menurutnya, pada sekitar 15 tahun yang lalu warga masyarakat Desa Prunggahan Kulon tersebut melakukan pembuatan Arak dengan skala kecil dengan peralatan yang minim dan sederhana. Namun seiring perkembangan jaman dan banyaknya permintaan serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi banyak warga yang melakukan produski dengan jumlah yang besar.

"Kalau dulu itu paling yang membuat Arak itu hanya ibu-ibu rumah tangga. Biasanya itupun hanya di jual kepada orang sekitar Tuban saja tidak sampai ke luar Tuban," lanjut ibu rumah tangga itu yang juga pernah menjadi pembuat Arak itu.

Menurut cerita dari sejumlah warga yang ada di wilayah Tuban menyebutkan bahwa pada jaman dulu sebenarnya minuman Arak tersebut di produksi untuk jamuan saat warga sedang menggelar acara hajatan. Arak sebagai suguhan penghormatan bagi para tamu yang hadir dalam suatu acara hajatan seperti pernikahan dan lain sebagainya dan bukan bertujuan untuk mabuk-mabukan.

"Kalau dulu waktu saya masih muda itu Arak biasanya untuk acara saat ada nikahan atau ada Tayuban. Jadi tamu yang datang diberikan minuman itu," terang Sakimo (72), salah satu warga Kecamatan Semanding, Tuban yang dulu biasa mengkunsumsi Arak tersebut.

Namun untuk sekarang ini minuman arak bukan lagi sekedar menjadi tradisi, melainkan sudah disalahgunakan. Arak juga dijadikan sebagai bahan dasar minuman oplosan hingga mengakibatkan banyak korban jiwa.

"Biasanya di warung-warung daerah sini itu Arak banyak dioplos yang dinamakan Es Moni yang dicampur dengan minunan suplemen. Tapi terkadang ada yang dicampur dengan Kopi atau istilahnya Kopi tubruk, kalau di Tuban sini tidak sampai ada yang meninggal, paling mabuk saja," jelas Lukman (25), salah satu pemuda yang tinggal di wilayah Kota Tuban.

Di kalangan warga masyarakat Tuban sekarang ini, minuman keras jenis Arak tersebut yang merupakan hasil penyulingan tersebut sudah jarang diminati bagi warga dan kalangan pemuda di Tuban ini. Para warga masyarakat Tuban lebih memilih minuman Tuak yang merupakan hasil getah dari pohon siwalayan, karena dinilai lebih sehat.

"Kalau Arak itu rasanya di dalam tubuh itu panas, jadi bisa merusak badan. Makanya sekarang ini banyak yang memilih minum Tuak dari pada Arak, karena lebih sehat dan alami," aku Untung (41), salah satu pecinta menimuman Tuak khas Tuban itu.


Sumber :
-Fu Chunjiang. Origins of Chinese Tea and Wine. Asiapacs Book. Terejamahan Indonesia oleh Pt. Elex Media Pustaka.
-Fu Chunjiang. Origins of Chinese Food Culture. Asiapacs Book. Terejamahan Indonesia oleh Pt. Elex Media Pustaka.
-http://www.chinayak.com/ChinaOverview/Chinese-Food/Chinese-Table-Manners.html
-Li Zhengping. Chinese Wine. Cambridge University Press.
-http://en.wikipedia.org/wiki/Rice_wine
-http://en.wikipedia.org/wiki/Huangjiu
-http://en.wikipedia.org/wiki/Baijiu
-http://en.wikipedia.org/wiki/Customs_and_etiquette_in_Chinese_dining#Seating
-http://en.wikipedia.org/wiki/Deer_penis
-http://www.chinatravel.com/facts/chinese-table-manners.htm
- www. beritajatim.com, Warga: Arak Tuban Itu Tradisi Turun Temurun




Oplosan

Korban Minuman Keras (Miras) oplosan masih saja terjadi. Malam menjelang hari raya, beberapa orang pesta Miras oplosan di Cimahi, Jawa Barat. Akibatnya, delapan orang meninggal dunia dan beberapa yang lain masih kritis. Oplosan menjadi tragedi di negeri ini. Banyak korban berjatuhan namun tiada membuat penyadaran, senantiasa berulang.

Oleh Aris Setiawan
Etnomusikog
Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta


Bahkan, karena kejadian itu menginspirasi terciptanya lagu berjudul Oplosan. Biasanya dinyanyikan oleh Shoimah. Berharap masayarakat tak hanya mendengar sambil bergoyang, tapi juga meresapi kandungan arti dari liriknya. Lagu tersebut mengandung misi dan pesan penyadaran. Berikut nukilan liriknya: opo ora eman duwite…/ opo ora mikir yen mendhem/ iku biso ngusak pikiran…/ coba sawangen kae kanca-kancamu/ akeh seng pada glempangan/ uga akeh seng kleset/ ditumpake ambulan…/ (apa tidak eman pada uang/apa tidak berpikir bahwa mabuk itu bisa merusak pikiran…/coba lihat teman-temanmu/ banyak yang bergelimpangan/ juga tidak sadar dinaikkan ambulan).


Disebut oplosan karena tak lagi murni minuman. Namun telah dipadukan dengan pelbagai zat lain. Untuk menambah “daya gedor,” minuman beralkohol itu dicampur dengan sepiritus, bensin obat nyamuk, pembersih lantai, sabun cuci, dan lain sebagainya. Tak ada takaran yang pasti, seberapa banyak-sedikitnya campuran itu harus dioplos. Oplosan adalah wujud eksperimen lokal yang dikembangkan dari pemikiran lokal pula. Mereka berusaha menghasilkan temuan berupa racikan baru (new invention) yang khas dan nikmat. Namun, eksperimen tersebut belakangan ini banyak gagalnya daripada suksesnya. Akibatnya, banyak manusia mampus gara-gara overdosis minuman beroplos.

Kultural
Hampir semua korban adalah masyarakat akar rumput, orang-orang jelata, kelas bawah yang miskin. Budaya omben kini seolah menjadi pelarian dari himpitan dan tekanan hidup yang semakin berat. Dengan mabuk, mereka berusaha melenakan diri, melupakan semua persoalan yang dihadapi walaupun sekejap. Budaya oplosan mengingatkan kita tentang tradisi mendem (mabuk) yang sudah mengakar di Nusantara. Kisah oplosan kemudian tak hanya berhenti menjadi peristiwa hukum dan ekonomi, namun juga peristiwa budaya.

Kitab lawas Negarakertagama misalnya, yang dibuat pada zaman Kerajaan Majapahit menjelaskan, minuman keras sudah menjadi bagian dari perjamuan agung di keraton. Apalagi setelah panen raya tiba, raja akan membuka perayaan upacara dengan menyuguhkan arak (minuman lokal) dari hasil fermentasi beras terbaik dengan dosis alkohol tinggi. Para tamu undangan dan pejabat keraton menari tayub. Sebelum menari, mereka diwajibkan menenggak arak terlebih dahulu. Adakalanya, arak yang dihadirkan sudah dioplos dengan jenis arak lain (fermentasi nira kelapa, siwalan). Pesta tersebut dapat berlangsung semalam suntuk. Bahkan para tamu undangan yang datang dari pelbagai daerah membawa oleh-oleh berupa arak khas daerahnya. Hal ini sekaligus menjadi ajang pamer arak siapa yang paling kuat atau besar kadar alkoholnya.

Bagi orang pribumi, semakin kuat ia minum dianggap sebagai jagoan yang tak terkalahkan. Dihormati dan disegani. Pesta tersebut menjadi ajang unjuk kemampuan dan kekuatan minum. Tradisi yang demikian, masih berlangsung di banyak daerah di Indonesia hingga kini.

Budaya minum juga tampak dalam narasi mitologi dan cerita rakyat kita. Sakerah misalnya, dalam lakon Ludruk di Jawa Timur dikisahkan sebagai seorang pemberani penentang penjajah Belanda. Ia adalah manusa asli Madura yang tinggal di Pasuruan dengan senjata khasnya berupa clurit. Pasukan
Belanda dibuatnya kalang-kabut. Konon ia tak mempan ditembak dan dihunus senjata tajam. Ia laksana belut, gesit dan sulit ditangkap.

Namun pada sutu ketika, dibuatlah pesta tayuban dengan tradisi omben. Sakerah datang, menari tayub bersama si lengger sambil mendem. Belanda mendekati, ia ditangkap dan dihukum mati. Tradisi “kumpul-kumpul” mengharuskan minuman keras disajikan. Bahkan, di Keraton Yogyakarta terdapat tempat khusus untuk minum-minum (saat penjajahan Belanda berlangsung) yang disebut Bangsal Sarangbaya. Hampir semua minuman keras saat itu diproduksi secara lokal dan legal.

Racikan
Minuman beralkohol yang diproduksi oleh orang pribumi biasanya memiliki nama yang khas atau melokal, seperti Ciu (Solo), Cap Tikus (Manado), Tuak (Tuban), Sopi (Maluku), Lapen (Yogyakarya), Cukrik (Surabaya). Harga minuman lokal tersebut tentu saja relatif lebih murah dibandingkan dengan minuman-minuman legal. Kasijanto Sastrodinomo lewat artikelnya Mabuk-Mabukan dalam Sejarah (2007) mengisahkan masyarakat pribumi sejak dahulu banyak mengalami kecanduan alkohol lokal. Akibatnya, produksi arak lokal berkembang sebagai bisnis yang menguntungkan.

Setiap minuman lokal tersebut memiliki keunikan oplosan tersendiri. Ciu di Solo (Bekonang) misalnya, wajib dihidangkan dengan beberapa oplosan. Rosalia Justna Sus Nugrohoweti (2013), menuliskan oplosan yang biasanya digunakan adalah minuman bersoda (Sprite, Fanta, Coca-Cola), bir, air rendaman tanduk kijang, serta ciu yang direndam dengan embrio bayi kijang. Sementara tuak di Tuban lebih nikmat jika diminum tanpa oplosan dan hasil dari sadapan pertama dari pohon siwalan. Cukrik di Surabaya dan sekitar kadang lebih gila lagi, dioplos dengan obat nyamuk cair dan spiritus. Biasnya, untuk mengecek seberapa keras, cukrik yang sudah dioplos kemudian dibakar. Jika nyala api merah berarti racikan oplosan masih kurang, apabila biru maka dianggap ideal. Dapat dibayangkan, berapa persen alkohol yang terkandung di dalamnya. Hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Kepolisian Republik Indonesia Cabang Surabaya (medio Januari 2014), kandungan alkohol dalam cukrik dapat melebihi 50 persen.

Kecanduan minuman beralkohol tak hanya terjadi di masyarakat pribumi. Di rumah-rumah sakit Perancis pada 1899, 30 persen pasien adalah pecandu alkohol. Di Inggris pada rentang waktu yang sama sekitar 10 persen tentara negeri itu adalah pemabuk. Di Jerman lebih ironis lagi, penyebab gila sekitar seperempat bagian pasien rumah sakir adalah alkohol. Kala itu, tak ada undang-undang yang mengatur secara resmi terkait dengan besarnya kadar alkohol, serta racikan dan campuran –oplosan- yang harus digunakan. Oleh karena itu, minuman oplosan adalah sarana pembunuh massal paling efektif.

Layaknya candu, mereka dapat tertawa dan menangis tanpa sebab. Ada ketakutan jika mereka sadar diri, kemudian menjalani kehidupan nyata yang tak diharapkan. Tak jarang mereka adalah orang-orang yang putus asa menjalani hidup. Oplosan seolah menjadi hadiah terindah. Oplosan memberi pengaruh agar rasa sakau itu semakin lama dan awet. Oleh karena itu, untuk menghasilkan rasa –awet- yang demikian, eksperimen oplosan senantiasa diberlangsungkan setiap saat dengan memadukan bahan dan racikan “bumbu-bumbu” baru, begitu seterusnya. Tak ada hasil akhir yang memuaskan, karena hasil akhir hanya berisi ketidakpuasan. Dosis kemudian harus ditambah terus dan terus, hingga akhirnya mendem yang sejatinya telah tiba, kematian!!!

(#sumber http://joglosemar.co/2014/08/opini-oplosan.html)