Cari

Rabu, 30 September 2015

Rabhas dan Lyssa

Oplosan seperti halnya Rabhas dan Lyssa sudah memakan korban jiwa. Tidak sedikit lagi jumlahnya. Itu faktanya yang menjadi dasar dari pengetahuan. Bisakah pengetahuan mengalahkan kematian ?

Oleh : Indra Harsaputra

Tiga hari lalu diperingati Hari Rabies se-dunia. Alliance for Rabies Control menetapkan Hari Rabies se-dunia tiap 28 September. Rabies yang berasal dari bahasa Sansekerta kuno, rabhas yang artinya melakukan kekerasan atau kejahatan. Dalam bahasa Yunani, rabies disebut lyssa atau lytaa yang artinya kegilaan.

Di seluruh dunia, kasus kematian akibat rabies cukup tinggi. Di Asia, tercatat 5000 kematian per tahunnya, India 20 ribu sampai 30 ribu per tahunnya, China 2500 per tahunnya dan di Indonesia selama empat tahun terakhir rata-rata 143 kematian per tahunnya.  Pemerintah Indonesia pun rencananya akan memperingatinya pada 12 Oktober esok di Bali.

Cerita soal rabies ini tak lepas dari Louis Pasteur. Berkatnya, sudah banyak dari korban yang diselamatkan dari kematian akibat rabies. Pasteur wafat tahun 1895.

Dalam buku tetralogy Buru cetakan tahun 2010 berjudul  Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer, Kommer berkata “ Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir”.

Mari kita berpikir untuk Rabhas dan Lyssa dalam konteks yang berbeda.

Di Tahun 2010, untuk mengatasi permasalahan penyalahgunaan minuman beralkohol, Pemerintah Daerah Berau, Kalimantan Timur menerbikan Peraturan Daerah (Perda) nomer 11 tahun 2010. Dalam perda itu disebutkan bahwa semua jenis minuman beralkohol hanya boleh dijual di hotel berbintang lima. Namun sampai saat ini belum ada satupun hotel berbintang lima di daerah kaya tambang batubara itu.

Tidak hanya di Berau, sejak tahun 2010 sampai sekarang ada 147 Peraturan Daerah yang melarang dan membatasi penjualan minuman beralkohol untuk melindungi moral generasi muda dari bahaya penyalahgunaan minuman beralkohol (oplosan). Namun ratusan perda itu belum mampu menjawab masalah oplosan. Masih banyak korban jiwa berjatuhan akibat oplosan.

Khouw Ah Soe, dalam karya almarhum Mas Pram mengatakan “Dengan ilmu pengetahuan modern, binatang buas akan menjadi lebih buas dan manusia keji akan semakin keji. Tetapi jangan dilupakan, dengan ilmu pengetahuan modern, binatang-binatang yang sebuas-buasnya juga bisa ditundukkan “

Menghapus minuman beralkohol bukanlah urusan mudah karena akar tradisi dan kontribusi ekonomi yang besar (Li dkk, 2013).  Dalam penelitian jurusan Sosiologi Universitas Indonesia, masyarakat di sejumlah daerah di Indonesia erat berinteraksi dengan minuman beralkohol. Dalam masyarakat Dayak,mengkonsumsi minuman beralkohol tidak bisa dilepaskan dari upacara adat tiwah, pesta perkawinan dan kematian.

Mencemooh kegiatan mengkonsumsi minuman beralkohol artinya memberikan cap buruk pada perilaku orang tua dan leluhurnya. Begitu salah satu laporan penelitian diskriptif yang dilakukan salah satu peneliti dari Universitas Indonesia dalam penelitian terbarunya tahun 2015.
  
Jenis minuman beralkohol yang sering dikonsumsi masyarakat ialah minuman beralkohol tradisional (baram,anggur, tuak dan sebagainya).


Orang-orang tua di Dayak di Palangkaraya dan Katingan Hilir menyebut “minuman laut” untuk minuman beralkohol pabrikan. Penyebutan kata itu karena minuman beralkohol pabrikan itu didatangkan dari Jawa melalui laut. Sehingga harga pun mahal.

Sebagian masyarakat penikmat tuak asal Tuban, Jamaah Tuakiyah memilih tuak (minuman tradisional) dibandingkan minuman pabrikan (bir, whiskey) karena harganya lebih murah. Cukup Rp 2.000 per liter untuk menikmati tuak sambil bersosialisasi antar desa dengan guyup.

Adatrechtbundels XVII.1919 halaman 79 : minuman keras tradisional telah menyelamatkan orang Minahasa dari ketergantungan candu dan opium di abad 18. Karena itu orang Minahasa sangat mencintai minuman saguer dan Cap Tikus. Orang Minahasa tidak tertarik lagi dengan candu dan opium walaupun harganya cukup murah. Selain harganya murah, minuman beralkohol tradisional sering dikaitkan dengan tindak kekerasan atau kejahatan. Begitu hasil riset (Munro 2014).

Sejumlah ahli menyebutkan aturan yang ketat terhadap penjualan minuman beralkohol pabrikan ditengarai menjadi penyebab peredaran oplosan. Apalagi harga oplosan  jauh lebih murah dibandingkan minuman beralkohol pabrikan dan minuman beralkohol tradisional.

Meskipun bahan yang dipakai cukup gila (Lysaa).

Cipas yang ditemukan di Tasikmalaya, Jawa Barat misalnya berbahan campuran air mineral, alcohol murni 90 persen, zat pewarna kain, obat tetes mata dan lotion anti nyamuk. Bahan-bahan itu pun mudah didapatkan dimana saja. Apalagi penjualan bahan itu tidak dilarang penjualannya di minimarket, seperti halnya bir.

Penikmat Lapen di Yogyakarta mengenal jenis Lapen Sarjito. Lapen jenis ini dijual di kawasan sekitar Rumah Sakit dr Sarjito Yogyakarta dengan bahan campuran alcohol murni, ciu, obat nyamuk dan obat antibiotik kadaluwarsa. Lapen jenis lain bisa didapatkan di Pak Janggut di Pajeksan. Tahun 1998, jenis lapen Pak Janggut dikenal lapen S.

Di Kalimantan Tengah dikenal nama Aldo, singkatan dari alkohol doang.  Minuman aldo biasanya diminum oleh konsumen yang masih remaja bahkan anak-anak (peminum pemula). Bahannya alcohol 70 persen dicampur dengan air mineral ukuran 600 mililiter dan ditambahkan minuman bersoda. Ketika dewasa, mulai beralih ke jenis Birma dengan komposisi campuran anggur putih dengan Kuku Bima Energi rasa anggur.

Masih banyak “kreasi-kreasi” Rabhas dan Lyssa  lainnya yang antara satu daerah dengan daerah lain berbeda. Apapun bentuk kreasi ini yang jelas berefek sangat mematikan.

Siapa yang menyelamatkan mereka dari kematian itu ?

“Apa gunanya ilmu kalau tidak memperluas jiwa seseorang sehingga ia berlaku seperti samudera yang menampung sampah-sampah. Apa gunanya kepandaian kalau tidak memperbesar kepribadian seseorang sehingga ia makin sanggup memahami orang lain ? “ --- Emha Ainun Najib


Selasa, 29 September 2015

Zat Adiktif dan Persoalan Moral

Oleh : INDRA HARSAPUTRA

Miras dan kandungan zat adiktif. Itu salah satu paparan salah satu narasumber dalam sebuah debat di salah satu televisi swasta di Indonesia semalam, 21 September 2015. Apakah zat yang membuat kecanduan itu berbahaya bagi moral bangsa ?

Saya mencoba bercerita. Saya awali di tempat gym. Tempat saya mengolah tubuh. Mencoba hidup “Cover both side”.

Susu protein macam whey atau jenis mass grainer biasanya menjadi bekal bagi siapa saja yang serius dalam pembentukan otot. Selain produk itu, banyak diatara olahragawan membawa bekal bubuk kopi untuk menambah stamina dan menaikkan mood saat berlatih.

Dalam kadar tertentu, kafein dalam kopi dapat meningkatkan daya tahan dan mengurangi keletihan pada saat latihan. Konon beberapa atlet American Football mengaku mengonsumsi kopi 2-3 cangkir perhari agar kondisi tubuh saat latihan dan pertandingan benar-benar bersemangat.

Bukankah kopi juga termasuk zat adiktif ?

The Australian Institute of Sport menemukan bahwa kafein dapat merangsang otot menggunakan lemak sebagai bahan bakar daripada menggunakan karbohidrat. Kafein juga banyak digunakan para atlet olahraga daya tahan seperti marathon, untuk mendapatkan energi ekstra saat pertandingan.

Studi lain yang dilakukan di University of Pittsburg juga menemukan hasil serupa, bahwa kafein memiliki kemampuan untuk melepaskan lemak dari jaringan adiposa sehingga lemak bisa lebih mudah dibakar.

Saat kafein masuk ke dalam tubuh, ia akan mengikat reseptor yang terdapat pada sel-sel lemak. Nucleotide adenosine adalah reseptor yang terdapat pada sel-sel lemak yang pada saat tertentu menghalangi pelepasan lemak pada jaringan adiposa.

Dengan keberadaan kafein maka kemampuan nucleotide adenosine menghalangi pelepasan lemak dari jaringan adiposa akan menurun, sehingga proses pelepasan lemak dari jaringan adiposa dapat berjalan maksimal. Inilah sebabnya mengonsumsi kafein sebelum latihan sangat efektif untuk membantu proses pembakaran lemak.

Sebuah tinjauan yang baru-baru ini diterbitkan oleh International Coffee Organization menyatakan bahwa kafein pada secangkir kopi (150 gram kafein) mungkin dapat mengurangi kelelahan serta meningkatkan kinerja latihan, termasuk latihan ketahanan dan intensitas tinggi.


Masih soal zat adiktif. Bagaimana dengan minuman beralkohol ?

Dalam ukuran tertentu, banyak olahragawan juga mengkonsumsi bir secara moderat. Bir dipercaya mempercepat proses recovery setelah lari (cardio). Bir memiliki kandungan karbohidrat yang sama dengan susu coklat yang juga bisa mempercepat proses recovery. 

Bir ternyata memiliki sejumlah antioksidan alami dan vitamin yang dapat membantu mencegah penyakit jantung dan bahkan membangun kembali otot. Dalam penelitian terbaru yang dikutip dari Fox News, para ilmuwan telah menemukan bahwa bir memiliki beberapa manfaat kesehatan mengejutkan yang dapat membantu menurunkan kolesterol, melawan kanker, dan bahkan membunuh virus.

Bir mengandung 93 persen air, dan menurut sebuah penelitian di Spanyol, itu benar-benar mampu memberikan hidrasi yang lebih baik daripada hanya H2O, ketika seseorang berkeringat di bawah sinar matahari.


Apa yang saya ceritakan diatas memang tidak bisa dijadikan generalisasi dari permasalahan akibat minuman beralkohol di Indonesia. Sudah banyak dari generasi muda yang meninggal karena oplosan karena tidak mampu membeli bir yang harganya lebih mahal dibandingkan oplolosan

Menggugat Data Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) Terkait Korban Miras


Oleh
INDRA HARSAPUTRA

Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) yang menyebutkan korban meninggal dunia akibat minuman beralkohol sebanyak 18 ribu korban jiwa setiap tahunnya di Indonesia. Sejumlah media massa mengutip demikian 
(http://nasional.sindonews.com/read/958422/15/18-ribu-nyawa-melayang-per-tahun-akibat-miras-1422732839,http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/04/14/nmssqu-genam-setiap-tahun-18-ribu-orang-meninggal-akibat-miras )

Mengapa data itu sangat penting ?

Saya ingin berbagi cerita. Jika kemarin di tempat gym saya, kini ceritanya di dunia asuransi.

Cerita ini berawal dari A yang mengajukan asuransi di salah satu perusahaan asuransi bulan Februari lalu. Sebelum mengajukan, si A melakukan cek medis di rumah sakit di Penang Malaysia. Hasilnya kondisi kesehatan kurang bagus. Ada indikasi jantung coroner. Namun data itu disembunyikan untuk mendapatkan uang pertanggungan (UP) sebesar Rp 2 miliar dari perusahaan asuransi.

Berikutnya bulan Agustus 2015 lalu, si A kembali mengajukan permohonan penambahan uang pertanggungan dari Rp 2 miliar menjadi Rp 5 miliar di perusahaan asuransi yang sama. Setelah pihak asuransi ini menyerahkan berkas permohonan si A kepada perusahaan re-asuransi, berkas itu akhirnya ditolak. Penolakan itu terjadi setelah perusahaan re-asuransi  meminta si A melakukan cek medis untuk jantung di rumah sakit swasta di Surabaya, yang hasil cek medis ini sama dengan hasil cek medis di Penang Malaysia.

Singkat cerita, pihak asuransi (yang kecolongan data) akhirnya menutup semua polis milik si A.
Dampak Oplosan yang memakan korban jiwa perlu penanganan yang komprehensif. Baik secara medis, maupun regulasi pemerintah yang tepat sasaran.  Data yang bisa dipertanggungjawabkan secara benar diharapkan bisa mengatasi akar permasalahan dari peredaran oplosan di Indonesia.

Apalagi hingga saat ini di puskesmas dan rumah sakit di Indonesia, belum ada standart penanganan korban oplosan meskipun sejak tahun 2009 Hanoch - Victor dkk melaporkan ledakan kasus keracunan metanol di Bali. Dari 31 pasien yang dirujuk ke Rumah Sakit Sanglah 93,54 persen laki-laki dan sisanya perempuan.

Padahal awal tahun 2013 lalu, Menteri Luar Negeri Australia, Bob Carr, mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan pengawasan atas oplosan. Desakan ini dilakukan setelah seorang pemuda Australia, Liam Davies meninggal dunia di rumah sakit Sir Charles Gardner, Perth Australia, setelah pemuda itu mengkonsumsi arak oplosan ketika merayakan tahun baru di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). 

Kematian Liam pun memicu reaksi keras masyarakat Internasional, terlebih lagi sebelumnya seorang pelajar putri asal Sydney mengalami kebutaan setelah mengkonsumsi oplosan di Bali, sementara wisatawan asal Swedia meninggal dunia di Lombok dalam kasus yang sama.  

Terkait konsumsi minuman beralkohol di Indonesia, data  hasil studi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) tentang Studi Diet Total: Survey Konsumsi Makanan Individu Indonesia 2014 menyebutkan konsumsi minuman beralkohol tahun 2014 hanya 0,2 persen atau paling rendah dibandingkan produk minuman cair lainnya.

Masih menurut data itu, konsumsi cair penduduk Indonesia sebesar 25,0 mililiter per hari yang berasal dari minuman kemasan (19,8 mililiter per orang per hari), minuman berkarbonasi (2,4 ml/orang/hari), minuman beralkohol (1 ml/orang/hari) serta lainnya (1,9 ml/orang/hari). Minuman kemasan cairan dikonsumsi 8,7 persen penduduk, diikuti minuman lainnya (1,8 persen), minuman berkarbonasi (1.1 persen) dan terendah minuman beralkohol (0,2 persen).

Data serupa juga pernah dikeluarkan oleh Euromonitor tahun 2013 dimana konsumsi bir di Indonesia terendah di dunia. Orang Indonesia harus bekerja 2,5 jam untuk bisa membeli bir ukuran 330 mililiter.

Hingga kini belum ada data penelitian lain yang bisa dipertanggungjawabkan; belum pernah ada orang meninggal setelah mengkonsumsi bir.

Mengaca dari pengalaman“manipulasi” data medis pengajuan asuransi agar tidak terulang kembali, salah satu petinggi di perusahaan itu menutup sebuah cerita.

“Janganlah mempermainkan nyawa seseorang hanya untuk mengejar sesuatu”.