Cari

Senin, 21 Maret 2016

Pahit dan Getirnya Kuliner Berfermentasi di Negeri Kaya Alam dan Ragam

Keunikan geografis dan kekayaan biodiversitas alam, serta olahan ragam kuliner masyarakat yang beragam suku bahasa dan kepercayaan, setidaknya memperkuat posisi tawar Indonesia dalam diplomasi di dunia internasional. Namun sayangnya, kuliner tradisional berfermentasi seperti tempe, tape hingga minuman beralkohol tradisional seperti arak, tuak dan moke justru tak sanggup jadi tuan rumah di negeri sendiri.
 Steven Rorong, salah satu petani dan pengrajin Cap Tikus Minahasa tampak lemas. Ia harus berurusan dengan pihak otoritas bandara setempat karena membawa Cap Tikus untuk dipamerkan dalam acara  workshop dan pameran produk berfementasi Indonesia yang digelar oleh Komunitas JalanSutra di Locarasa, Jalan Kemang no 88 Jakarta, Sabtu (19/03) dan Minggu (20/03) lalu.

“Saya harus menunjukkan surat jalan dari panitia kepada otoritas bandara agar memberikan ijin membawa Cap Tikus dalam wadah dua botol sisa air dalam kemasan berukuran  1500 mililiter. Kenapa susah sekali membawa minuman tradisional khas Minahasa ?, “ katanya.

Steven membandingkan dengan minuman beralkohol buatan negara asing yang begitu mudahnya dibawa orang Indonesia ketika pulang ke dalam negeri melalui bandara di tanah air.   

“Minuman beralkohol asal luar negeri yang dibeli di duty free hanya ditenteng masuk bandara tanpa sembunyi-sembunyi. Bahkan ada teman saya yang membeli so ju dan bir lokal Korea 10 botol ukuran 1500 mililiter di Korea berhasil lolos dalam pemeriksaan sesampainya di Indonesia. Mengapa dua botol dalam ukuran yang sama harus diperiksa secara detail ?,” katanya.

Pengalaman yang sama juga dialami oleh Yosep Isali, petani dan pengrajin Moke Flores Nusa Tenggara Timur. Untuk menghindari pemeriksaan mendetail dari pihak bandara, ia mengemas Moke dalam dua botol ukuran 1500 mililiter dan dibungkus pakaian dalam tas pakaian jinjing yang dikunci.  

“Mengapa membawa Moke harus seperti pengedar narkotika yang sembunyi-sembunyi. Padahal moke sendiri  merupakan minuman tradisional adat Flores yang dikonsumsi tetua adat sampai masyarakat secara turun temurun untuk kegiatan adat dan kesehatan, “ katanya.

Sumarlik, petani tuak asal Tuban Jawa Timur, yang juga peserta pameran produk kuliner Fermentasi, punya kisah lain. Ia memilih naik kereta api menuju Jakarta ketimbang pesawat.

“Tuak saya masukkan ke dalam tas. Agar tidak bau saya taburkan bubuk kopi. Jika ditangkap polisi dalam perjalanan saya pasrah saja. Toh saya tidak membawa bahan peledak dan berbahaya yang bisa membunuh orang. Tuak ini minuman turun temurun dari Tuban, “ katanya.

Selain memamerkan kuliner tradisional seperti tempe,  tape Uli Cisalak, Ciu Cikakak Banyumas, Arak Bali, Moke Flores dan berbagai minuman beralkohol tradisional asal berbagai daerah di Indonesia, dalam acara workshop dan pameran produk berfementasi Indonesia yang digelar oleh Komunitas JalanSutra di Locarasa, Jalan Kemang no 88 Jakarta, Sabtu (19/03) dan Minggu (20/03) kemarin, juga dihadiri oleh Harry Nazarudin (Harnaz) – Kimiasutra dan penulis buku ‘Kimia Kuliner’; Yohan Handoyo – penulis buku ‘Rahasia Wine’, Dr. Irvan Kartawiria – Kimiasutra dan dekan Food Technology dari Swiss German University, Raymond M Menot – Antropologi Universitas Indonesia.

Harnaz mengatakan acara itu diadakan untuk menjawab pertanyaan: bagaimana cara mempopulerkan kuliner Indonesia di luar negeri. Di tengah semangat kuliner sebagai ekonomi kreatif, beberapa cara sudah dirintis oleh pemerintah, misalnya penetapan ikon kuliner Nusantara dan ikut serta dalam pameran dunia. Tetapi, ada satu sisi kurang mendapatkan perhatian.  

“Jika Korea punya kimchi dan soju, dan Perancis punya wine, bagaimana dengan Indonesia ? wine, kimchi dan keju blue cheese merupakan produk fermentasi sama halnya dengan tempe, tape, arak, moke dan Cap Tikus, “ katanya.

Harnaz mengatakan tempe misalnya, makanan khas Indonesia yang dikenal  sejak zaman pemerintahan Sultan Agung, sang penguasa Kerajaan Mataram, hal ini dibuktikan dengan munculnya kata tempe pada Serat Centini, ternyata menarik perhatian Belanda menguasai Indonesia.

“Dalam catatannya, dalam buku History of Tempeh, William Shurtleff dan Akiko Aoyagi mengungkap bahwa saat penjajahan Belanda, banyak peneliti dari Belanda datang ke Indonesia untuk meneliti tentang tempe dan kemudian membangun pabrik tempe di Eropa dengan nama tempeh (mereka menambahkan ‘h’ agar tetap terbaca tempe), “ katanya.

Pabrik tempe pun, kata Harnaz juga dibangun hingga negara Jerman. Sedangkan negara lain seperti Jepang dan China memproduksi tempe dengan inkubator khusus. Sedangkan di Indonesia, tempe bisa dibuat secara alami.

“Saat ini jika China dan Jepang sering diasumsikan sebagai negara asal tempe, karena di dua negara itulah tradisi pengolahan kedelai sangat kental, seperti tahu, miso, dan kecap. Padahal tempe sudah dikenal sejak abad 16 di Pulau Jawa, “ katanya.

Harnaz mengataka jika dunia mengakui tempe sebagai produk makanan fermentasi yang banyak digemari, nasibnya berbeda dengan produsen tempe di dalam negeri yang banyak yang sudah gulung tikar.


“Untuk menyelamatkan aneka produk berfermentasi mulai dari makanan hingga minuman yang mengandung alkohol dibutuhkan regulasi yang mendukung usaha rakyat serta serangkaian pembinaan dan pelatihan kepada petani untuk membuat produk yang bisa dijual di pasar global, “ katanya. 

Minggu, 13 Maret 2016

Mengenal Moke Minuman Adat Flores

Moke merupakan minuman tradisional asal Flores, yang terbuat dari hasil penyulingan buah dan bunga pohon lontar maupun enau. Pembuatan moke dilakukan di kebun-kebun masyarakat dengan menggunakan wadah-wadah tradisional seperti periuk tanah untuk memasaknya. Pembuatan moke memerlukan keuletan, kesabaran dan keahlian khusus untuk menghasilkan minuman yang berkualitas.

Satu botol moke berukuran 330 mililiter, membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam proses  menunggu tetesan demi tetesan dari alat penyulingan yang menggunakan wadah yang terbuat dari batang bambu. Moke dengan kualitas terbaik sering disebut masyarakat dengan BM atau bakar menyala. Moke tersebut memiliki khasiat untuk kesehatan.

 Moke dengan kwalitas terbaik biasanya hanya disajikan pada akhir pekan dan acara-acara adat seperti pesta pernikahan sebagai pendamping hidangan utama dan disajikan juga sirih dan pinang yang biasa dikonsumsi para wanita. Walaupun moke merupakan minuman yang beralkohol, untuk mendapatkannya sangat mudah, diberbagai sudut kota maupun di pelosok desa moke selalu tersedia. Di luar Kupang, moke dapat ditemukan di warung pinggir jalan. Harganya antara Rp 15-20 ribu per botol air kemasan sedang.

Arak tradisional ini merupakan minuman masyarakat luas di Flores termasuk di kalangan para pejabat daerah. Masyarakat di Flores sering mengonsumsi Moke beramai-ramai atau dalam istilah daerah disebut dengan cara melingkar.

Konsumsi moke sering dilakukan bersama dengan aneka cemilan atau lepeng dalam bahasa daerah. Moke juga dikonsumsi bersama dengan makanan khas flores seperti lepeng ikan kuah asam, ikan bakar, sop kambing, pisang bakar/rebus dan sambal lemon atau sambal tomat balik. Perjamuan tersebut sering dilakukan di luar rungan seperti di pinggir pantai, di halaman rumah dan di bawah pepohonan.

Moke juga digunakan dalam upacara adat, seperti upacara tua kalok (upacara adat untuk beramai-ramai meminum moke sebagai simbol pernyataan suatu kesepakatan), Roko Molas Poco (suatu tradisi adat awal pembangunan  rumah adat masyarakat Manggarai). 

Sayangnya kenikmatan moke akhir-akhir ini diganggu dengan ulah oknum yang meminumnya dengan serampangan dan tidak bertanggungjawab, salah satu akibatnya tingkat kecelakaan sangat tinggi terjadi di jalan raya akibat mabuk moke. Selain itu pemerintah daerah juga kurang mendukung keberadaan moke sebagai salah satu ‘aset’ daerah, Pemda justru mengeluarkan perda tentang perizinan, pengawasan, dan pengendalian minuman beralkohol, perda tersebut mendapat penolakan keras dari masyarakat.

Pembuatan Moke

Proses pembuatan penyadapan dimulai dengan menampung air bunga tandan dari pohon moke, atau dikenal dengan moke putih. Peralatan yang digunakan adalah pisau atau golok, bambu berbentuk tabung berdiameter 15 cm, panjang 1 meter, dan sabuk pengaman.Pemilihan bunga adalah bagian yang paling menentukan untuk dapat menghasilkan air mike yang bermutu baik dan jumlahnya banyak. Kuncup bunga enau dibuka dengan menggunakan pisau atau golok secara hati-hati. Setelah semua tandan terbuka, lalu tandan dirundukkan dengan menggunakan tali yang diikatkan pada pelepah daun bawah, dan dibiarkan selama 3-4 hari. Penampungan atau penderasan air mike dapat dilakukan dengan mengiris ujung tandan bunga.Setiap kali air diambil, bunga diiris kira-kira 0,5 cm dan air yang keluar ditampung dengan bambu.

Penampungan atau penderasan air mike dapat dilakukan dengan mengiris ujung tandan bunga.  Sebelumnya bambu diisi dengan kapur sirih atau daun-daun khusus untuk mencegah air agar tidak menjadi asam. Penampungan air dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari yakni pagi dan sore hari. Dua kali sehari mesti memanjat pohon enau dengan tinggi sekitar 19 meter. Umur pohon kira-kira 15 tahun. Setiap pohon mikedapat menghasilkan 8-10 liter.

Air moke yang telah dikumpulkan selama kurang lebih satu hari, kemudian diberi bawang merah yang diiris, daun kemangi, dan daun. Sesudah itu, moke sudah siap suguh menjadi minuman. Minuman ini memiliki aroma yang khas, dan rasa asam sedikit bercampur agak pahit saat diminum. Jika pohon tidak menghasilkan banyak buah, ada cara tradisi nenek moyang yang dapat memberikan hasil yang banyak. Persoalan ini diatasi dengan penyadap tidak hanya dengan keahlian teknis namun juga dengan cara upacara pemberian sesaji, seperti sembelih ayam. Sebab, penyadap menyakini bahwa pohon enau memiliki ‘roh’.

Setiap peyadap mesti mengetahui akan sisi ‘gaib’ dari pohon ini. Oleh karena itu, pengiris memberikan sesajian. Biasanya, menyuguhkan bahan saji sebelum pekerjaan iris bunga aren. Doa-doa mantra mengiringi sesaji itu. Nenek moyang telah berpesan bahwa pohon enau sebagai bagian dari kehidupan. Pohon ini memberikan berkah untuk saat ini dan masa depan




Putusan Pansus Raperda Minol DPRD Surabaya Berpotensi Langgar UU dan HAM

SIARAN PERS

Putusan Pansus Raperda Minuman Beralkohol DPRD Kota Surabaya  Berpotensi Melanggar UU dan HAM 


Latar Belakang
Pada hari Kamis, 10 Maret 2016, Pansus Raperda Minuman Beralkohol DPRD Kota Surabaya mengeluarkan diskresi pelarangan total penjualan minuman beralkohol di berbagai tempat dan kawasan, termasuk hotel dan tempat hiburan malam di kota Surabaya.  

Keputusan pansus tersebut dilakukan dengan cara voting. Voting dilakukan karena pembahasan pansus berjalan alot. Sebagian meminta agar larangan peredaran minuman beralkohol hanya berlaku di hypermat dan minimarket, sementara sebagian lagi bersikukuh agar larangan peredaran mihol berlaku untuk semuanya.
     
Hasilnya, enam anggota pansus sepakat agar larangan berlaku menyeluruh. Mereka adalah Edi Rachmat (Fraksi Gabungan Handap/Hanura, Nasdem dan PPP), Mazlan Mansur (PKB), Rio Pattisilano (Gerindra), Ahmad Zakaria (PKS), Saiful Aidi (PAN) dan Binti Rohmah (Golkar).
    
Sedangkan empat anggota lainnya membolehkan penjualan minuman beralkohol secara terbatas seperti di hotel, bar dan restoran. Mereka adalah Baktiono (PDIP), Didik Adiono (PDIP), Erwin Tjahyuadi (PDIP), serta Dini Riyanti (Demokrat).

Tinjauan Hukum
Keputusan (diskresi) dari pansus Raperda Minol berpotensi melanggar Undang-Undang nomer 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30 tahun 2014).
a.     Pasal 1 angka 9 UU 30/2014 disebutkan diskresi merupakan keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. (terkait putusan final DPRD Kota Surabaya itu patut dipertanyakan urgensi putusan itu terkait dengan perundangan diatasnya seperti Permendag dan regulasi lain yang mengatur perdagangan minol. Bahwa sudah ada regulasi diatasnya,--tidak terjadi kekosongan hukum--, yang mengatur tata niaga minol dengan jelas sehingga tidak perlu mengambil keputusan dibawahnya).
Pasal 24 UU 30/2014 yang mengatur soal kewenangan pejabat pemerintahan. Disebutkan bahwa diskresi tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada dan harus mendapatkan persetujuan dari atasan pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan dimaksud dilakukan apabila penggunaan diskresi menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara [Pasal 25 ayat (1) dan (2)]

b.     Putusan Pansus juga berpotensi melanggar Pasal 27 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik; yang kemudian diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia melalui UU No 12 tahun 2005.  Dalam UU itu, paragraf 5 ayat (1) dan 5 ayat (2) pada Komentar Umum No.23 yang menjelaskan tentang Pasal 27 menjelaskan bahwa mereka yang dilindungi ialah mereka yang dalam kelompok tertentu dan memiliki kesamaan budaya, agama dan atau bahasa tidak boleh dilanggar haknya saat bersama anggota kelompoknya mempraktikkan budaya, menjalankan agama dan bicara dengan bahasannya. Lebih lanjut, dalam paragraf 6 ayat (2) pada Komentar Umum juga menyatakan bahwa hak-hak minoritas harus dilindungi dari tindakan-tindakan negara, baik itu legislative, yudikatif dan administratif, tidak terkecuali juga orang-orang lain di dalam negara. (Surabaya merupakan kota bagi masyarakat dengan berbagai suku dan agama, seperti Bali, Flores, dan suku lainnya)

c.      Pelarangan untuk memproduksi, memperdagangkan dan mengkonsumsi minuman beralkohol juga melanggar aspek-aspek hak asasi manusia lainnya terutama hak atas kesehatan yang terkandung dalam Konvenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan  Budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU no 11 tahun 2005. Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam Komentar Umum nomer 14 tentang Hak atas kesehatan menjelaskan bahwa : “ Hak atas kesehatan tidak dapat dipahami secara sempit sebagai sebuah hak untuk sehat semata. Selain hak, hak atas kesehatan juga melingkupi kebebasan. Kebebasan ini termasuk juga hak untuk mengendalikan kesehatan dan tubuh sendiri…” Hal ini menunjukkan penghormatan kepada setiap individu untuk mengkontrol tubuh dan kesehatannya sendiri, yang mana tidak ditunjukkan dalam Raperda Pelarangan Minol di Kota Surabaya.

d.     Raperda Pelarangan Minuman Beralkohol justru akan meningkatkan resiko kesehatan kepada masyarakat dan mengancam nyawa seseorang akibat perdagangan oplosan. Dalam Pasal 12 ayat 2 huruf c Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengatur mengenai “pencegahan... penyakit epidemi, endemik, akibat pekerjaan, dan lain-lain.” Dalam Komentar Umum mensyaratkan “...pembentukan program pencegahan dan pendidikan untuk masalah kesehatan berbasis perilaku... dan memajukan faktor-faktor sosial daripada kesehatan yang baik...” bukannya pembentukan regulasi yang justru memperburuk keadaan. 

   Oleh sebab itu kami meminta agar Walikota Surabaya, Ketua DPRD Kota Surabaya serta Pemerintah Propinsi Jawa Timur untuk meninjau ulang putusan tersebut agar tidak bertentangan dengan misi dan visi Walikota Surabaya Tri Rismaharini dalam menciptakan generasi muda kota Surabaya yang berkualitas (terlindungi dari peredaran bahaya oplosan) dan melindungi keberagaman masyarakat di kota Surabaya. 



Orang Flores di Surabaya Terancam Tak Bisa Minum Moke

Komunitas masyarakat Flores Manggarai yang bermukim di kota Pahlawan Surabaya, terancam kehilangan budaya mengkonsumsi minuman beralkohol tradisional moke yang diakui nenek moyangnya sebagai minuman adat dan kesehatan. Ini setelah Pansus Minuman Beralkohol Dewan Pimpinan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya memutuskan melarang total penjualan minuman beralkohol di Surabaya.

Bagi masyarakat Manggarai, minuman moke adalah minuman wajib dalam setiap pesta adat, seperti upcara tua kalok (upacara adat untuk beramai-ramai minum moke sebagai simbol pernyataan kesepakatan). Juga Roko Molas Poco (tradisi gotong royong pembangunan rumah adat atau rumah orang Flores). Moke atau arak Flores juga digunakan untuk menyambut kedatangan tamu dan kegiatan keagamaan, seperti upacara Teing Hang (ritual syukur kepada arwah nenek moyang yang telah meninggal dan memohon berkah pada tahun baru).

Moke juga biasanya dihidangkan pada saat Natal.  

Moke merupakan minuman tradisional asal Flores, yang terbuat dari hasil penyulingan buah dan bunga pohon lontar maupun enau. Pembuatan moke dilakukan di kebun-kebun masyarakat dengan menggunakan wadah-wadah tradisional seperti periuk tanah untuk memasaknya. Pembuatan moke memerlukan keuletan, kesabaran dan keahlian khusus untuk menghasilkan minuman yang berkualitas.

Tidak hanya komunitas Flores, masyarakat Bali yang bermukim di kota Surabaya yang dikenal sebagai miniatur Bhineka Tunggal Ika juga terancam tak bisa menjalankan ritual keagamaan.

Masyarakat Bali sangat percaya bahwa arak Bali dilindungi oleh kekuatan Dewa Arak Api atau biasa disebut Ida Bhatara Arak Api yang berstana di sebuah pura keluarga atau dadia yang bernama Njung Pura. Ada kepercayaan, Ida Bhatara Arak Api murka dan bisa menghukum si penghina dan pencela arak buatan warga Karangasem (Merita) Bali.

Arak Bali sering dipakai masyarakat Bali di Surabaya sebagai kebutuhan ritual keagamaan. Selain untuk keperluan ritual keagamaan, arak Bali juga dikenal sebagai minuman kesehatan masyarakat.

Keputusan Pansus Raperda Minuman Beralkohol DPRD Kota Surabaya yang melarang secara total penjualan minuman beralkohol di semua lokasi di kota Surabaya merupakan langkah mundur dari sikap perjuangan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini dalam melindungi keberagaman di kota Surabaya.

Tri Rismaharini, dalam debat Pemilihan Kepala Daerah Surabaya yang digelar di Hotel Shangri-la Surabaya pada 6 November 2015 lalu menyatakan Surabaya sebagai kota miniatur dunia, sebagai Indonesia kecil, juga sebagai kota yang mengayomi keberagaman kebhinnekaan etnis dan berbagai kelompok.

Komitmen Tri Rismaharini memperjuangkan dan menjaga keberagaman budaya dan adat suku di kota Surabaya juga tampak pada peringatan Hari Jadi Kota Surabaya tahun 2015 lalu. Saat itu, Risma memilih tema Semarak Surabaya Keberagaman Budaya' dalam Upacara Hari Jadi Kota Surabaya HJKS ke-722.

Senin, 07 Maret 2016

Membuat Minuman Alkohol sendiri di Rumah dari Gula Pasir

Pemerintah dan legislatif (DPR) seharusnya tidak perlu repot membuat aturan pelarangan dan pembatasan minuman beralkohol yang akan menghabiskan dana rakyat dan membebani APBN.  Sebab secara ilmu pengetahuan yang telah dipelajari siswa mulai tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga tingkat lanjutan, minuman beralkohol (etanol),--bukan oplosan (methanol)--, bisa dibuat sendiri.  

Pengetahuan membuat alkohol dengan gula pasir ini merupakan salah satu edukasi untuk menekan korban akibat oplosan. Bahkan menghindari berbagai pihak untuk membuat minuman beralkohol dengan cara dicampur dengan bahan-bahan kimia berbahaya, seperti shampoo, autan, minuman berenergi dan lain-lain.

Berikut cara pembuatan etanol dengan kadar 15 – 20 persen dari bahan gula pasir;  

1. Rebus sepanci air dalam kemasan. Masukkan ½ kilogram gula pasir. Sebaiknya jangan gula putih karena kadar gulanya lebih rendah. Jika terpaksa, juga boleh akan tetapi jauh lebih boros dalam pemakaiannya.

2. Jika gula pasir sudah terlarut, dinginkan sampai ke suhu ruangan. Kemudian tuangkan rebusan air gula kedalam panic stainless atau panci kaca. Cara ini untuk menghindari kontaminasi dengan logam.

3.  Setelah itu masukkan ragi roti ke dalam cairan air gula yang sudah didinginkan. Semakin banyak ragi roti yang dimasukkan ke dalam air gula maka semakin cepat proses fermentasinya. Untuk waktu fermentasi, juga tergantung banyaknya kadar gula. Biasanya proses fermentasi berlangsung dalam waktu 7 hari (1 Minggu). Tanda terjadinya proses fermentasi ialah keluarnya gelembung-gelembung kecil mengandung CO2.  

4. Jika menginginkan sedikit rasa karbonasi, maka selama proses fermentasi itu tutup dengan panci presto. Sekali lagi jangan campurkan jenis bahan kimia lainnya apapun. Jika anda menginginkan rasa khusus, lebih baik berkonsultasi pada ahlinya yang banyak mempelajari kimia ataupun brew master.  

5. Jika menginginkan kadar alkohol hingga mencapai 40 persen, maka dibutuhkn jenis ragi khusus yang banyak dibeli di toko kimia. Pembelian bahan kimia ini tentunya haruslah mendapatkan ijin dari pihak terkait. Proses membuat alkohol dengan kadar 40 persen dapat dilakukan dengan cara penyulingan. Rata-rata penyulingan sendiri adalah 20 persen sampai 30 peren dari volume aslinya.  



Sabtu, 05 Maret 2016

Pesantren Hijau Indonesia Dukung Perlindungan Petani Minuman Tradisional Arak

Pesantren Hijau Indonesia mendukung upaya pemberdayaan petani tradisional agar produk Indonesia mampu diterima dan bersaing di pasar internasional. Pemerintah juga diminta melindungi produk lokal agar mampu bersaing dalam era pasar bebas.

Demikian dikatakan oleh Direktur Pesantren Hijau Indonesia , Muhamad Khoirul Rijal menanggapai pernyataan Forum Petani dan Produsen Minuman Berfermentasi Indonesia (FPPMBI) agar pemerintah membina produsen minuman beralkohol tradisional untuk pasar luar negeri. Ia mengatakan minuman Beralkohol Tradisional (MBT) asal Indonesia, seperti arak dan sopi, layak  diekspor di Korea Selatan, sebuah negara di kawasan Asia yang telah menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia, termasuk program sister city dengan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini.

“Pemerintah harus memberdayakan petani kepala, siwalan, singkong, tebu sebagai bahan pembuatan etanol dengan cara melakukan pendataan hingga pembinaan terpadu agar kualitasnya dapat bersaing dengan minuman beralalkohol tradisional luar negeri, seperti soju, makgeolli, ginseng wine dan minuman alkohol lainnya, “ katanya yang akrab dipanggil Gus Rijal.   

Muhammad mengatakan selama ini pemerintah dan aparatnya seringkali melakukan operasi pasar dan merazia minuman beralkohol tradisional dalam operasi pekat. Namun hasilnya malah memunculkan peredaran oplosan yang mengakibatkan ratusan korban meninggal dunia.

“Razia pekat dan operasi malam atau penertiban terhadap peredaran arak, cukrik, tuak, sopi dan lainnya perlu dievaluasi karena tidak mendatangkan solusi, baik bagi petani maupun masyarakat,  “ kata Gus Rijal yang juga Ketua Gerakan Penyelamat Nahdhlatul Ulama (GPNU) Indonesia

Muhammad mengatakan dengan pembinaan terpadu serta jaminan dari pemerintah daerah maka petani pembuat minuman beralkohol tradisional dapat hidup sejahtera dan mendatangkan devisa bagi negara Indonesia.

Sebelumnya, Ketua Forum Petani dan Produsen Minuman Berfermentasi Indonesia (FPPMBI), Adi Chrisianto menyatakan arak dan sopi tidak kalah citrarasanya dibandingkan soju dan wine ginseng asal Korea Selatan yang banyak dijual dan digemari oleh masyarakat kelas menengah keatas di Indonesia.

“Baik di Seoul, Jakarta dan Surabaya, orang Indonesia mencari soju dengan harga Rp 150 ribu per 330 mililter (ml). Padahal rasanya tidak kalah dengan arak buatan petani Karangasem Bali dan Sopi yang dijual dengan harga Rp 10 ribu – Rp 30 ribu per 330 ml, “ katanya.

Adi mengatakan banyaknnya arak yang disita dalam razia kepolisian membuat perdagangan arak dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga orang kelas menengah atas memilih arak dari luar negeri dengan harga yang mahal.

“Di Korea Selatan, soju dan minuman beralkohol tradisional banyak dijual di minimarket dan supermarket. Sedangkan di Indonesia, arak, sopi dianggap musuh dan menjadi biang kerok dari sejumlah kematian akibat oplosan. Padahal belum pernah ada orang mati setelah minum arak, sopi atau soju, “ katanya.

Adi mengatakan pembinaan itu meliputi standarisasi produksi dan kelayakan konsumsi hingga mengawasi jalur distribusinya hingga perijinan agar tidak disalahgunakan yang berakibat merugikan konsumen. Edukasi dan penegakan hukum pidana bagi pemabuk dan penyalahgunaan minuman beralkohol diyakini mampu membawa arak dikenal hingga Asia.

“Negara harus melindungi hak atas petani mendapatkan pekerjaan yang layak. Selama ini, negara belum memperhatikan hak – hak tersebut. Petani arak dianggap musuh dan pelaku criminal karena dianggap menjual produk pangan illegal, “ katanya..


Padahal, kata Adi, selama ini produsen minuman beralkohol tradisional sudah meminta agar arak, tuak dan sopi dilegalkan penjualannya di Indonesia dan mereka mendapatkan sertifikasi produk layak konsumsi. 

Rabu, 02 Maret 2016

Peluang Ekspor Arak Indonesia ke Korea Selatan


Minuman Beralkohol Tradisional (MBT) asal Indonesia seperti arak dan sopi mempunyai peluang cukup tinggi untuk diekspor ke Korea Selatan. Oleh sebab itu, pemerintah perlu memperhatikan standarisasi industri rumahan pembuatan minuman beralkohol tradisional agar dapat bersaing dengan soju, makgeolli, ginseng wine dan minuman alkohol lainnya.

Demikian dikatakan oleh Ketua Forum Petani dan Produsen Minuman Berfermentasi Indonesia (FPPMBI), Adi Chrisianto  dalam siaran persnya, Rabu (3/3).  Ia mengatakan permintaan minuman beralkohol di Korea Selatan, yang menjalin hubungan sister city dengan Surabaya dan mempunyai hubungan erat diplomatik dan bisnis dengan Indonesia, cukup tinggi mengingat di negara ginseng itu mengenal empat musim.

“Sekarang di Korea Selatan memasuki akhir dari musim dingin dengan suhu hingga minus 10 derajat. Tidak sedikit orang Indonesia yang berkunjung kesana untuk bermain ski di Alpensia Resort di Propinsi Gangwon-Do. Untuk menahan dingin mereka mencari minuman beralkohol di minimarket dekat Holiday Inn, “ katanya.

Adi mengatakan minuman beralkohol sangat mudah didapatkan di Korea Selatan. Semua minimarket di semua sudut jalan propinsi di Korea Selatan menjual jenis bir lokal maupun bir merek lain, vodka hingga soju.

“Sama halnya dengan di Indonesia, penjualan minuman beralkohol dijual dalam rak terpisah dengan jenis minuman lainnya. Akan tetapi disana tidak ada peringatan (21 +) seperti halnya di Indonesia. Meskipun demikian anak dibawah umur tidak mengkonsumsi minuman beralkohol karena peranan besar pendidikan terhadap generasi muda, “ katanya.

Adi mengatakan peraturan kepada konsumen minuman beralkohol juga sangatlah ketat disana. Orang yang mabuk tidak akan mengendarai mobil karena bisa terkena sanksi pelanggaran lalu lintas. Demikian juga jika orang mabuk terlibat kriminalitas maka akan ditindak berdasarkan kejahatannya.

“Di jalanan kota Seoul saya menjumpai orang, ada perempuan dan lelaki yang berjalan sempoyongan dengan mulut berbau alkohol. Namun mereka tidak menganggu dan enggan mengendarai kendaraan bermotor. Angka kriminalitas di Korea Selatan sangat rendah meskipun minuman beralkohol dijual bebas, “ katanya.

Dalam artikel yang diterbitkan oleh kantor berita CNN tanggal 15 Maret 2013, lanjut Adi, menuliskan laporannya bahwa Korea Selatan menempati peringkat nomor 7 dari 10 negara yang mereka pilih sebagai  “World‟s best drinking nations‟.

Laporan market penjualan bir versi Lotte Mart mengutarakan bahwa penjualan bir impor di Korea sejak tanggal 1 Juni hingga 27 Juni 2013 lalu mencapai 1,6 miliar won, yaitu mengalami kenaikan sebesar 41% dari tahun sebelumnya, mengalahkan penjualan wine bahkan soju, yang hanya mencapai 1,5 miliar won dan 1,45 miliar won. Ini adalah pertama kalinya bir impor terjual lebih banyak dari wine dan soju dalam basis hitungan bulan.

“Korea Selatan juga menempati peringkat ke 27 tahun 2012 sebagai negara importir bir di dunia. Penyebabnya adalah karena pengusaha bir lokal mendominasi pasar bir di Korea Selatan, yaitu sekitar 94% dari nilai yang terjual di pasar, “ kata Adi.

Dua perusahaan pondominasi pasar bir Korea Selatan adalah Oriental Brewery Company Co. Ltd. (O.B.) yang menguasai 55,7% pasar bir lokal dan Hite-Jinro Co. yang menguasai 44,3% pasar bir lokal pada tahun 2012 lalu. Eksportir bir terbesar ke Korea Selatan adalah Jepang di peringkat teratas, kemudian Belanda, Irlandia, Amerika Serikat, dan China di peringkat selanjutnya.

“Bir Jepang banyak digemari karena konon masyarakat Korea menyukai “dry” taste yang disuguhkan oleh bir Jepang. Selisih nilai peringkat pertama dan kedua sangat besar, menunjukkan betapa diminatinya bir asal negara Jepang di Korea Selatan. Indonesia berada jauh tertinggal, yaitu di peringkat ke 24 sebagai negara eksportir bir ke Korea Selatan,  “ katanya.

Indonesia berada di peringkat 55 sebagai eksportir bir di dunia pada tahun 2012 lalu, bisa dibilang tidak termasuk “pemain” dalam bidang ekspor bir ini. Salah satu penyebabnya adalah karena adanya peraturan dari pemerintah yang membatasi jumlah produksi dan distribusi bir dalam negeri, sehingga akan sulit bagi Indonesia untuk merangkak naik dalam peringkat ini

“Saya tidak pernah menemui produk minuman beralkohol asal Indonesia disana. Padahal Indonesia memiliki kekayaan dan keaneragaman pengolahan minuman beralkohol secara tradisional di tiap-tiap daerahnya. Kemampuan mengolah minuman itu didapatkan secara turun temurun. Bahkan menurut kitab Negarakertagama pembuatan minuman beralkohol sudah dikenal zaman Majapahit, “ katanya.

Padahal abad 17, arak asal Indonesia bernama Batavia Arrack menjadi lagenda di Asia hingga kepulauan Karibia mengalahkan rum dan scotch. Merek itu sempat diulas koran The New York Times edisi minggu. Judulnya "Out of the Blue : Batavia Arrack Comes Back".

“Agar minuman beralkohol tradisional asal Indonesia dapat diterima oleh pasar Internasional dan mendatangkan devisa dan kesejahteraan petani, maka pemerintah harus melakukan pembinaan dan membantu permodalan. Bukan hanya dirazia dan dibunuh berlahan lantaran diangggap menjadi biang kerok kasus kematian akibat oplosan, “ katanya.

Adi mengatakan pembinaan itu meliputi standarisasi produksi dan kelayakan konsumsi hingga mengawasi jalur distribusinya hingga perijinan agar tidak disalahgunakan yang berakibat merugikan konsumen. Edukasi dan penegakan hukum pidana bagi pemabuk dan penyalahgunaan minuman beralkohol diyakini mampu membawa arak dikenal hingga Asia.

“Arak yang disadap masyarakat Karangasem Bali maupun arak yang dibuat di Surabaya dan Tuban tidak kalah dengan Soju ataupun Bokbunja ju, fermentasi dari black raspherries. Harga arak Bali juga lebih murah dibandingkan wine ginseng yang dijual dengan harga 40 ribu won (1 won = Rp 10,-), soju 1.500 won dan tradisional wine Korea seharga 4.500 won, “ katanya.

Soju, kata Adi, juga dijual di restoran Korea Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan harga Rp 150 ribu per botolnya (330 ml). Padahal harga arak Bali hanya Rp 10 ribu per 330 ml.

“Meskipun mahal, Soju banyak dicari di Indonesia. Sedangkan produk asli Indonesia terus terkena razia dan sulit berkembang. Dengan pembinaan yang baik, saya yakin produk asli Indonesia dapat bersaing dan mendatangkan kemakmuran, “ katanya.