Oplosan seperti halnya Rabhas dan Lyssa sudah memakan korban jiwa. Tidak
sedikit lagi jumlahnya. Itu faktanya yang menjadi dasar dari pengetahuan. Bisakah
pengetahuan mengalahkan kematian ?
Oleh : Indra Harsaputra
Tiga hari lalu diperingati
Hari Rabies se-dunia. Alliance for Rabies Control menetapkan Hari Rabies
se-dunia tiap 28 September. Rabies yang berasal dari bahasa Sansekerta kuno,
rabhas yang artinya melakukan kekerasan atau kejahatan. Dalam bahasa Yunani,
rabies disebut lyssa atau lytaa yang artinya kegilaan.
Di seluruh dunia, kasus
kematian akibat rabies cukup tinggi. Di Asia, tercatat 5000 kematian per
tahunnya, India 20 ribu sampai 30 ribu per tahunnya, China 2500 per tahunnya
dan di Indonesia selama empat tahun terakhir rata-rata 143 kematian per
tahunnya. Pemerintah Indonesia pun
rencananya akan memperingatinya pada 12 Oktober esok di Bali.
Cerita soal rabies ini tak
lepas dari Louis Pasteur. Berkatnya, sudah banyak dari korban yang diselamatkan
dari kematian akibat rabies. Pasteur wafat tahun 1895.
Dalam buku tetralogy Buru cetakan
tahun 2010 berjudul Anak Semua Bangsa
karya Pramoedya Ananta Toer, Kommer berkata “ Semua yang terjadi di bawah
kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir”.
Mari kita berpikir untuk Rabhas
dan Lyssa dalam konteks yang berbeda.
Di Tahun 2010, untuk mengatasi
permasalahan penyalahgunaan minuman beralkohol, Pemerintah Daerah Berau,
Kalimantan Timur menerbikan Peraturan Daerah (Perda) nomer 11 tahun 2010. Dalam
perda itu disebutkan bahwa semua jenis minuman beralkohol hanya boleh dijual di
hotel berbintang lima. Namun sampai saat ini belum ada satupun hotel berbintang
lima di daerah kaya tambang batubara itu.
Tidak hanya di Berau, sejak
tahun 2010 sampai sekarang ada 147 Peraturan Daerah yang melarang dan membatasi
penjualan minuman beralkohol untuk melindungi moral generasi muda dari bahaya
penyalahgunaan minuman beralkohol (oplosan). Namun ratusan perda itu belum
mampu menjawab masalah oplosan. Masih banyak korban jiwa berjatuhan akibat
oplosan.
Khouw Ah Soe, dalam karya
almarhum Mas Pram mengatakan “Dengan ilmu pengetahuan modern, binatang buas
akan menjadi lebih buas dan manusia keji akan semakin keji. Tetapi jangan
dilupakan, dengan ilmu pengetahuan modern, binatang-binatang yang
sebuas-buasnya juga bisa ditundukkan “
Menghapus minuman beralkohol
bukanlah urusan mudah karena akar tradisi dan kontribusi ekonomi yang besar (Li
dkk, 2013). Dalam penelitian jurusan
Sosiologi Universitas Indonesia, masyarakat di sejumlah daerah di Indonesia
erat berinteraksi dengan minuman beralkohol. Dalam masyarakat Dayak,mengkonsumsi minuman
beralkohol tidak bisa dilepaskan dari upacara adat tiwah, pesta perkawinan dan
kematian.
Mencemooh kegiatan mengkonsumsi minuman beralkohol artinya memberikan
cap buruk pada perilaku orang tua dan leluhurnya. Begitu salah satu laporan
penelitian diskriptif yang dilakukan salah satu peneliti dari Universitas Indonesia
dalam penelitian terbarunya tahun 2015.
Jenis minuman beralkohol yang
sering dikonsumsi masyarakat ialah minuman beralkohol tradisional
(baram,anggur, tuak dan sebagainya).
Orang-orang tua di Dayak di
Palangkaraya dan Katingan Hilir menyebut “minuman laut” untuk minuman
beralkohol pabrikan. Penyebutan kata itu karena minuman beralkohol pabrikan itu
didatangkan dari Jawa melalui laut. Sehingga harga pun mahal.
Sebagian masyarakat penikmat
tuak asal Tuban, Jamaah Tuakiyah memilih tuak (minuman tradisional)
dibandingkan minuman pabrikan (bir, whiskey) karena harganya lebih murah. Cukup
Rp 2.000 per liter untuk menikmati tuak sambil bersosialisasi antar desa dengan
guyup.
Adatrechtbundels XVII.1919 halaman 79
: minuman keras tradisional telah menyelamatkan orang Minahasa dari
ketergantungan candu dan opium di abad 18. Karena itu orang Minahasa sangat
mencintai minuman saguer dan Cap Tikus. Orang Minahasa tidak tertarik lagi
dengan candu dan opium walaupun harganya cukup murah. Selain harganya murah,
minuman beralkohol tradisional sering dikaitkan dengan tindak kekerasan atau
kejahatan. Begitu hasil riset (Munro 2014).
Sejumlah ahli menyebutkan aturan
yang ketat terhadap penjualan minuman beralkohol pabrikan ditengarai menjadi
penyebab peredaran oplosan. Apalagi harga oplosan jauh lebih murah dibandingkan minuman
beralkohol pabrikan dan minuman beralkohol tradisional.
Meskipun bahan yang dipakai
cukup gila (Lysaa).
Cipas yang ditemukan di
Tasikmalaya, Jawa Barat misalnya berbahan campuran air mineral, alcohol murni
90 persen, zat pewarna kain, obat tetes mata dan lotion anti nyamuk. Bahan-bahan
itu pun mudah didapatkan dimana saja. Apalagi penjualan bahan itu tidak
dilarang penjualannya di minimarket, seperti halnya bir.
Penikmat Lapen di Yogyakarta
mengenal jenis Lapen Sarjito. Lapen jenis ini dijual di kawasan sekitar Rumah
Sakit dr Sarjito Yogyakarta dengan bahan campuran alcohol murni, ciu, obat
nyamuk dan obat antibiotik kadaluwarsa. Lapen jenis lain bisa didapatkan di Pak
Janggut di Pajeksan. Tahun 1998, jenis lapen Pak Janggut dikenal lapen S.
Di Kalimantan Tengah dikenal
nama Aldo, singkatan dari alkohol doang. Minuman aldo biasanya diminum oleh konsumen
yang masih remaja bahkan anak-anak (peminum pemula). Bahannya alcohol 70 persen
dicampur dengan air mineral ukuran 600 mililiter dan ditambahkan minuman
bersoda. Ketika dewasa, mulai beralih ke jenis Birma dengan komposisi campuran
anggur putih dengan Kuku Bima Energi rasa anggur.
Masih banyak “kreasi-kreasi” Rabhas dan Lyssa lainnya yang antara satu daerah dengan daerah
lain berbeda. Apapun bentuk kreasi ini yang jelas berefek sangat mematikan.
Siapa yang menyelamatkan mereka
dari kematian itu ?
“Apa gunanya ilmu kalau tidak
memperluas jiwa seseorang sehingga ia berlaku seperti samudera yang menampung
sampah-sampah. Apa gunanya kepandaian kalau tidak memperbesar kepribadian
seseorang sehingga ia makin sanggup memahami orang lain ? “ --- Emha Ainun
Najib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar