Pada 9
Oktober lalu, dunia memperingati Hari Surat Menyurat Internasional.
Hari Surat
Menyurat Internasional diperingati setiap tahunnya, bertepatan dengan kelahiran
organisasi pos internasional (Universal Postal Union UPU)
tahun 1874 di Bern, Swiss. Perayaannya dilakukan untuk mengingatkan arti
persahabatan dengan sesama warga beragam suku, bahasa, budaya dan kepercayaan
di dunia.
Pentingnya
persahabatan diantara warga dunia itu diakui pun dalam pertemuan 95 negara
pada Agustus 2014 lalu di Bali Nusa Dua
Convention Centre (BNDCC) yang telah melahirkan Deklarasi Bali."Unity in
Diversity: Celebrating Diversity for Common Shared Values", yang dipilih
Indonesia sebagai tema dalam pertemuan Forum
global Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Aliansi Peradaban (UNAOC) itu.
Dalam
deklarasi tersebut terdapat 20 butir pernyataan damai dan pesan toleransi dari
para delegasi. Dua poin di antaranya mengakui adanya keragaman dan sifat budaya
di dunia yang dapat berkontribusi terhadap kelanjutan pembangunan. Sementara,
di poin selanjutnya tertulis, penekanan hubungan antara nilai dan tujuan
aliansi peradaban dengan proses demokrasi.
Tema dalam
pertemuan internasional Unity in
Diversity itu merujuk pada konsep Bhineka Tunggal Ika, yang menjadi
semboyan adiluhung Indonesia yang beragam pula suku, bahasa, budaya
dan agama. Makna “Berbeda-beda Tetapi Satu” tidak hanya bisa menginspirasi
dunia internasional, tentu seharusnya menjadi bagian seluruh masyarakat di
Indonesia, yang percaya bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika membawa perdamaian, kemakmuran dan kekuatan dalam berbagai
perbedaan.
Tetapi bukan berarti hidup dalam alam perbedaan
bebas dari konflik. Apalagi saat ini,
diakui atau tidak, sebagian khalayak—walau jumlahnya kecil namun amat vokal dan
agresif—tampaknya ingin melenyapkan Bhinneka Tunggal Ika, secara tak langsung
maupun tidak, lewat aksi-aksi pembungkaman keberagaman, hendak membawa
Nusantara menjadi negara monokultur.
Bukan cuma lewat hasutan-hasutan, kekerasan,
bahkan kekerasan verbal dan non verbal. Semua dihalalkan untuk mencapai tujuan
dari kelompok itu.
Korupsi menambah warna perjalanan keberagaman di
Indonesia. Korupsi menumbuhkan intoleransi. Merusak moral generasi muda.
Dunia internasional bilang negara ini masih tinggi
korupsinya. Begitu riset dari Transparency International. Revisi UU KPK menjadi
tema panas di sejumlah media massa. Ada yang usul larangan KPK menangani perkara yang merugikan
negara dibawah Rp 50 miliar.
Sejatinya,
istilah korupsi dan perilaku yang menyertainya, tidak dikenal dalam budaya
bangsa Indonesia. Coba saja tanyakan kepada masyarakat adat di Dayak. Atau
suku-suku lain di Papua, yang sangat menghargai kebersamaan dan gotong royong.
Masyarakat
asli Suroboyo, misalnnya, yang kental dalam budaya sinoman juga tidak mengenal
istilah itu. Sinoman dalam kamus Jawa atau “Bausastro Jawi”, karangan WJS
Poerwadarminta, berasal dari kata “Sinom”. Sinom artinya: pucuk daun, daun asam
muda, bentuk rumah limas yang tinggi dan lancip, nama tambang mocopat, dan nama
bentuk keris. Tetapi, jika kata Sinom mendapat tambahan akhiran “an”, menjadi
“Sinoman”, maka maknanya menjadi: anak muda yang menjadi peladen di kampung
saat acara hajatan, peladen pesta atau perhelatan, tolong menolong saat
mendirikan rumah, kerukunan dan gotong royong.
Sejak penjajahan Belanda, eksistensi arek-arek
Suroboyo tergabung dalam beberapa nama sinoman, seperti Raad Sinoman kampung
Plampitan, Peneleh, Pandean, jagalan, Undaan, Genteng, Bubutan, Maspati,
Kawatan, Koblen, Tembok dan sebagainya. Tidak kurang dari 20 Raad Sinoman waktu
itu di Kota Surabaya.
Kata “Raad” berasal dari bahasa Belanda, yang
artinya: dewan. Waktu itu, masyarakat Belanda di Kota Surabaya mendirikan “Gemeente
Raad”, yaitu “Dewan Kotapraja”. Gemeente Raad itu menentukan pajak-pajak yang
harus dibayar oleh rakyat di kampung-kampung yang disetorkan ke kantor Gemeente
atau Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Nah, agar rakyat Surabaya tidak diperlakukan
sewenang-wenang, maka Raad Sinoman dibentuk untuk mengimbangi dan melawan
Gemeente Raad.
Seiring perkembangan zaman, budaya sinoman memang
mulai terkikis. Anak-anak muda di Surabaya berubah gaya. Egoisme mengintip
perjalanan arek-arek Suroboyo yang berwatak kaku dan keras. John Naisbitt menyebut ini
sebagai “gaya hidup global” yang ditandai dengan keterpurukan dan
tersingkirnya budaya lokal.
Upaya melindungi budaya local, kalangan
legislative sibuk menggodog Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan. Regulasi
yang diharapkan ideal melindungi budaya local itu masih belum bisa diharapkan.
Salah satu pengamat menilai definisi
kebudayaan dalam RUU tersebut terlampau absurd dan secara legal tidak memiliki
makna. Kedua, RUU itu kurang memberi perhatian pada hak – hak komunal
masyarakat adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18 B dan 28 I UUD 1945.
Pasal –
pasal dalam RUU cenderung mengedepankan perspektif dan kewenangan negara dalam
mengelola serta mengontrol kegiatan budaya. Padahal menurut Antropologist dan
biologist asal Texas AS, Darrell Addison Posey
menyebut dengan punahnya
setiap masyarakat adat membuat dunia kehilangan ribuan tahun pengetahuan.
Tidak hanya
RUU Kebudayaan, kewenangan negara mengontrol budaya juga tampak pada Rancangan
Undang-Undang Minuman Beralkohol. Dalam RUU itu, semua orang yang membawa,
menjual dan mengkonsumsi minuman beralkohol bisa masuk bui.
Beberapa
riset menunjukkan minuman beralkohol lekat dalam kaitannya dengan
pengetahuan lokal dan kegunaan atau fungsi ritual tertentu. Dalam beberapa hal,
minuman beralkohol tradisional terkait dengan status dan kekuasaan, prestise
sosial, politik, bahkan isu gender. Minuman beralkohol
tradisional yang dibuat secara tradisional dan turun temurun. Kemasannya sederhana dan pembuatannya
dilakukan sewaktu-waktu, serta dipergunakan untuk kebutuhan adat istiadat atau
upacara keagamaan dan sangat terkait dengan kebudayaan (Mandelbaum 1965).
Kita semua,
saya yakin, tidak ingin generasi muda Indonesia menjadi bangsa pemabuk. Bangsa
yang melahirkan orang-orang yang mabuk kekuasaan dan harta. Kita juga tidak
ingin, bangsa ini kehilangan jati dirinya sebagai bangsa besar yang bersahabat.
Unity in diversity.
Selamat
memperingati Hari Surat Menyurat Internasional dalam balutan Bhineka Tunggal
Ika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar