Ali
Munhanif
Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
Pemberitaan mengenai korban minuman beralkohol selalu menghiasi media massa. Selama satu dasawarsa, heboh mengenai desakan kuat
sebagian masyarakat untuk melarang bahkan memidanakan minuman beralkohol
mewarnai pemberitaan soal kehidupan kota-kota di tanah air, lantaran efek
negatif yang ditimbulkannya.
Oplosan dengan berbagai macam produksi dan tingkat kadar alcohol telah menewaskan
ratusan remaja di kota-kota besar Indonesia. Merespon fenomena ini, banyak
daerah, baik pada tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota, rame-rame menerbitkan
UU menganai pelarangan miras atau minuman keras. Kasus yang terakhir adalah
tewasnya 26 remaja—sebagian mahasiswa—di Yogyakarta akibat mengkonsumsi oplosan.
Kecenderungan masyarakat untuk melulu menampilkan sisi hitam dari miras ini
bisa dipahami. Tetapi hal itu tidak serta merta menghalangi kita untuk melihat
bagaimana persoalan miras ini dicarikikan solusinya dalam menyikapi berbagai
tuntutan masyarakat yang memang menghendaki pola hidup urban.
Sikap dan pandangan kita tentang kerumitan ini didasarkan pada jaminan UUD
bahwa, pada hakekatnya setiap warga negara berhak untuk mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Jaminan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat ini telah secara tegas
dinyatakan dalam ketentuan Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang berbunyi: ”Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Pengaturan Miras dalam UU
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat dilaksanakan dan dipenuhi
dengan jalan
pendidikan dan penyadaran tentang pembangunan
kesehatan yang berkesinambungan, menyeluruh, terarah, dan terpadu yang
merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional.
Pemerintah melalui program pembangunan kesehatan memiliki tujuan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi- tingginya. Salah satu upaya
untuk mencapai tujuan ini adalah melalui pengaturan, pengendalian, dan
pengawasan minuman beralkohol.
Sudah beberapa kali pemerintah menerbitkan UU atau Peraturan untuk
mengendalikan produksi, distribusi dan konsumsi minuman beralkohol. Pengaturan
mengenai minuman beralkohol saat ini telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, mulai dari tingkat undang-undang sampai pada tingkat
peraturan daerah. Di tingkat Undang-undang atau Peraturan Pemerintah,
pengaturan minuman beralkohol memang tidak disebutkan secara spesifik dan tidak
mendelegasikan pengaturan minuman beralkohol diatur lebih lanjut dengan
undang-undang, yakni hanya dikategorikan sebagai “minuman” atau “pangan
olahan”, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Pasal 111 dan 112), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Pasal
86, 89, 90, 91, 97, 99, dan 104), dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004
tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan.
Pada tingkat peraturan di bawah UU telah ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2013 tentang
Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol, Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 53/M DAG/ PER/12/2010 sebagai Perubahan Atas Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 43/M- DAG/PER/9/2009 tentang Ketentuan Pengadaan, Pengedaran,
Penjualan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, serta Peraturan
Menteri Perindustrian Nomor 71/M-IND/PER/7/2012 tentang Pengendalian dan
Pengawasan Industri Minuman Beralkohol (yang di dalamnya juga mengatur mengenai
minuman beralkohol tradisional).
Pengaturan spesifik mengenai minuman beralkohol diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.
Peraturan Presiden ini diterbitkan menyusul Putusan Mahkamah Agung Nomor
42P/HUM/2012 tanggal 18 Juni 2013 yang menyatakan Keputusan Presiden Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol sebagai tidak
sah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam Perpres ini Minuman Beralkohol
dikelompokkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu: a. Minuman Beralkohol Golongan A
adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanil (C2H5OH) dengan kadar
sampai dengan 5%; b. Minuman Beralkohol golongan B adalah minuman yang mengandung
etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 5% - 20%; dan c. Minuman
Beralkohol golongan C yaitu minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol
dengan kadar lebih dari 20% - 55%.
Menurut Pepres ini, Minuman Beralkohol yang berasal dari produksi dalam
negeri hanya dapat diproduksi oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin usaha
industry dari Menteri Perindustrian. Adapun Minuman Beralkohol yang berasal
dari impor hanya dapat diimpor dari pelaku usaha yang memiliki izin impor dari
Menteri Perdagangan. Peredararan Minuman Beralkohol itu hanya dapat dilakukan
setelah memiliki izin dari Kepala
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). “Minuman Beralkohol hanya dapat
diperdagangkan oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin memperdagangkan
Minuman Beralkohol dari Menteri Perdagangan,” bunyi Pasal 4 Ayat (4) Perpres
ini. Ditegaskan dalam Perpres ini, Minuman Beralkohol yang berasal dari
produksi dalam negeri atau asal impor harus memenuhi standar mutu produksi yang
ditetapkan oleh Menteri Perindustrian, serta standar keamanan dan mutu pangan
yang ditetapkan oleh Kepala BPOM.
Melalui Perpres ini, Presiden memerintahkan Bupati/Walikota dan Gubernur
untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta melakukan pengendalian dan pengawasan
terhadap produksi, peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol Tradisional untuk
kebutuhan adat istiadat atau upacara keagamaan di wilayah kerja masing-masing
Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian dan pengawasan Minuman
Beralkohol akan diatur oleh menteri/kepala lembaga sesuai dengan bidang tugas
masing-masing.
Yang paling mutakhir adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
06/M-DAG/PER/1/2015. Peraturan ini dibuat dengan tujuan mempersulit masyarakat terutama anak-anak
muda dalam menjangkau minuman keras. Namun demikian, peraturan tersebut tidak
menjawab realita atas keinginan anak-anak muda untuk mengonsumsi alkohol.
Sejumlah
Persoalan UU Miras
Satu hal yang harus disadari dalam proses perumusan UU itu adalah seberapa
jauh masyarakat melalui berbagai sarana kelembagaan terlibat dalam rumusan itu.
Satu hal: minuman beralkohol telah menjadi bagian budaya dan kehidupan dari
masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari keberadaan beberapa minuman
beralkohol lokal, baik untuk kepentingan rekreasional maupun ritual, seperti
tuak Batak, arak Bali, sopi dari Maluku, moke dari NTT, dan lain sebagainya.
Tentu fenomena ini tidak boleh kita ingkari, belum lagi mengingat bahwa cara
membuat dan penggunaan minuman beralkohol lokal tersebut telah diwariskan dari
generasi ke generasi.
Disadari bersama bahwa produksi, distribusi, dan konsumsi minuman
beralkohol dari dan oleh sekelompok masyarakat tertentu tidak dapat sepenuhnya
dilarang mengingat kondisi kebhinekaan Negara kita serta sebagai informasi pada 2012 lalu,
pendapatan negara dari tarif cukai minuman yang mengandung etil alkohol
mencapai Rp 3,2 triliun, sementara pendapatan dari etil alkohol dan etanol
sebesar Rp 123 miliar. Adapun cukai minuman yang mengandung alkohol memberikan
kontribusi 3,84 persen dan cukai etil alkohol menyumbang 0,14 persen (Setkab),
namun perlu diawasi dan dikendalikan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan
dari minuman beralkohol, baik kepada lingkungan maupun kelompok masyarakat
lainnya.
Pada tingkat inilah, semakin terlihat bahwa pertimbangan utama untuk menerbitkan
UU yang mengatur bahkan yang melarang minuman beralkohol tadi lebih didorong
oleh ketidak siapan kita menghadapi tantangan budaya kehidupan urban. Begitu
emosionilnya kita menghadapi serangan budaya urban ini, setiap kalai mendengan
kata alcohol, segera muncul desakan untuk melarangnya. Padahal, yang perlu
dilakukan adalah mengendalikan dan melakukan pengawasan atas berbagai dampak
negative minuman beralkohol.
Di sini, di satu sisi, kepentingan masyarakat untuk hidup sejahtera lahir dan bathin, tempat tinggal dan
lingkungan yang baik dan sehat yang terbebas dari dampak negative minuman
beralkohol, perlu diakui, dijamin, dilindungi, dan diberi kepastian hukum
melalui undang-undang. Tetapi di sisi
lain, sebagai bentuk keadilan dan perlakukan yang sama di hadapan hukum yang
diberikan oleh Negara, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Oleh karena itu, demi kepentingan bangsa yang lebih luas serta didasari
oleh pengetahuan bersama bahwa minuman beralkohol pada dasarnya merupakan suatu
bentuk gangguan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat, maka secara
filosofis, pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengendalian dan
Pengawasan Minuman Beralkohol, selain sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi
manusia Pasal 28H ayat (1), juga merupakan bagian dari pemenuhan tujuan
bernegara yang termaktub dalam UUD 1945.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 yang dibentuk
dengan tujuan mempersulit masyarakat
terutama anak-anak muda dalam menjangkau minuman keras tidak menjawab realita
atas keinginan anak-anak muda untuk mengonsumsi alkohol. Tampaknya langkah
pengendalian dan pengawasan tadi untuk mengurangi dampak negatifnya dalam
kehidupan masyarakat. Sehingga, pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol
dilakukan pada semua level mata rantainya, mulai dari produksi, distribusi,
hingga konsumsi. Pengaturan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) ini
didasari pemikiran bahwa dampak dari minuman beralkohol ternyata tidak hanya
disebabkan dari aspek penggunaan/ konsumsinya saja (hilir), tetapi terutama
adalah produksi dan distribusinya (hulu).
Pengaturan pengendalian dan pengawasan juga diterapkan terhadap semua jenis
minuman beralkohol baik import maupun local, baik local yang diproduksi secara
masal di pabrik modern maupun yang diproduksi secara tradisional. Pengaturan dari sisi produksi meliputi pengendalian
dan pengawasan terhadap perizinan, kuota produksi, kendali mutu sampai kepada
bahan baku dari minuman beralkohol itu sendiri. Pada pengaturan dari sisi
produksi ini diharapkan akan terjadi proses pengawasan yang ketat pada tahap
produksi, sehingga, selain akan
berdampak kepada unsur keamanan (safety), juga yang penting adalah dapat
dikendalikan dalam jumlah produksinya.
Pembatasan kuota produksi dinilai penting untuk diatur agar tidak terjadi
oversupply dan penggunaan produk akhir minuman beralkohol yang meluas guna
melindungi masyarakat. Demikian pula dalam konteks pembatasan perizinan baik
terhadap izin lama yang perlu dievaluasi maupun izin baru dengan syarat-syarat
yang ketat.
Misalnya, dengan mengarahkan produksi minuman beralkohol dalam
negeri kepada orientasi ekspor guna mengurangi impor dan peredaran minuman
beralkohol di dalam negeri. Hal ini juga
sebagai bentuk pengendalian dari sisi produksi.
Pengaturan dari sisi distribusi meliputi pengendalian dan pengawasan dalam
rantai distribusi minuman beralkohol yang meliputi pengaturan izin dan wilayah
distribusi, yang melibatkan pihak-pihak mulai dari distributor, sub-
distributor, sampai kepada pengecer. Pengaturan pada tahap distribusi merupakan
ruh dari RUU ini yang menjadi ujung tombak paling depan dalam pengendalian
peredaran minuman beralkohol yang merupakan tujuan dari dibuatnya UU ini. Hal
ini disebabkan karena pada tahap distribusi ini terdapat mata rantai yang dapat
melakukan penjualan langsung kepada konsumen yaitu pengecer. Dengan pengaturan
pengendalian dan pengawasan yang ketat terhadap pengecer diharapkan akan
efektif menangkal dampak negative minuman beralkohol, baik terhadap konsumen
itu sendiri maupun lingkungan sekitar.
Oleh karena itu dalam UU ini dibatasi secara ketat terhadap izin dan
cakupan wilayah peredaran minuman beralkohol. Demikian pula pengaturan dari
sisi konsumsi/penggunaan yang meliputi antara lain pengawasan dan pengendalian
bagi pembeli/konsumen maupun pembatasan jumlah/kuantiti produk dengan
pemberlakuan persyaratan yang ketat. Tak kalah pentingnya juga pengendalian dan
pengawasan terhadap promosi/iklan minuman beralkohol baik di media cetak maupun elektronik.
Untuk mengefektifkan pelaksanaan pengawasan dan pengendalian terhadap
minuman beralkohol juga diatur pembinaan dan pengawasan terhadap para pihak/stakeholder
yang terlibat dalam seluruh siklus/mata rantai minuman beralkohol. Juga ditetapkan sanksi administrative dan sanksi pidana
yang berat bagi yang melanggar ketentuan dalam UU ini sebagai efek penjeraan.
UU Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol ini memberikan kepastian
hukum tidak hanya bagi para pelaku industri minuman beralkohol dan otoritas
yang berwenang, tetapi juga kelompok masyarakat yang tidak terlibat sebagai
pengguna/konsumen dalam memperoleh hak-haknya untuk mendapatkan lingkungan yang
baik dan sehat.
Untuk mengatasi dampak negatif terhadap minuman beralkohol peranan negara dalam
menciptakan lingkungan yang bersih dari penyalahgunaan alkohol
menjadi sangat vital.
Bentuk peraturan/regulasi tentang minuman beralkohol, serta pelaksanaan
yang tegas, menjadi kunci utama
penanganan masalah alkohol ini. Pengaturan,
pengendalian, dan pengawasan
terhadap minuman beralkohol masih tersebar di banyak peraturan
perundang-undangan dan masih bersifat sektoral, dan parsial, sehingga untuk memberikan arah, landasan, dan
kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam produksi, distribusi,
pengendalian serta pengawasan minuman beralkohol diperlukan pengaturan yang
komprehensif dalam suatu Undang-Undang
yang mengatur mengenai Minuman Beralkohol.
Namun demikian, bila diamati secara seksama, peraturan ini justru
menimbulkan permasalahan tumbuhnya pasar gelap dan konsumen tang tak
terkendali, khususnya dalam bentuk produksi dan pengkonsumsian alkohol oplosan.
Karena dengan sulitnya alkohol untuk dijangkau di mini market, anak-anak muda
bahkan masyarakat pada umumnya akan beralih ke alkohol oplosan. Hal ini akan
meningkatkan risiko keracunan atau bahkan kematian.
Maka, Peraturan Menteri ini paling sedikit telah melanggar aspek-aspek hak
asasi manusia terutama hak atas kesehatan yang terkandung dalan Kovenan Hak-hak
Ekonomi, Sosial & Budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU
No. 11 tahun 2005. Komite PBB untuk Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Komite Ekosob)6, melalui Komentar Umumnya Nomor 14
tentang Hak atas Kesehatan, menjelaskan bahwa: “Hak atas kesehatan tidak dapat
dipahami secara sempit sebagai sebuah hak untuk menjadi sehat semata. Selain
hak, hak atas kesehatan juga melingkupi kebebasan. Kebebasan ini termasuk juga
hak untuk mengendalikan kesehatan dan tubuh sendiri…” Hal ini menunjukkan
penghormatan kepada setiap individu untuk mengontrol tubuh dan kesehatannya
sendiri, yang mana tidak ditunjukan oleh Peraturan Menteri ini.
Lebih dari itu, Komentar Umum No 14 tentang
Hak atas Kesehatan tersebut juga menyuratkan betapa pentingnya untuk
menciptakan kondisi yang mendukung perlindungan terhadap kesehatan untuk
mencapai standar kesehatan tertinggi. Keberadaan Peraturan Menteri ini justru
menciptakan situasi yang sebaliknya. Pasal 12 ayat 2 huruf c Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengatur mengenai
“pencegahan… penyakit epidemi, endemik, akibat pekerjaan, dan lain-lain.”
Komentar 14 mensyaratkan “…pembentukan program pencegahan dan pendidikan untuk
masalah kesehatan berbasis perilaku… dan memajukan faktor-faktor sosial
daripada kesehatan yang baik…” bukannya pembentukan regulasi yang justru
memperburuk keadaan.
Dengan demikian, Peraturan Menteri Perdagangan No 06/M-DAG/PER/1/ 2015
memiliki kerancuan berpikir yang mendasar mengenai menjauhkan anak-anak dari
alkohol dengan cara tidak lagi menjualnya di mini market. Padahal sebelumnya
sudah ada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M- DAG/PER/4/2014, yang
menyatakan bahwa pembelian minuman beralkohol hanya dapat diberikan kepada
konsumen yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih dengan
menunjukkan kartu identitas kepada petugas/pramuniaga.
Penjual Langsung yang melanggar aturan ini dikenakan sanksi administratif
berupa pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB),
Surat Keterangan Pengecer Minuman Beralkohol Golongan A (SKP-A), Surat
Keterangan Penjual Langsung Minuman Beralkohol Golongan A (SKPL-A) dan/atau
izin teknis.12 LBH Masyarakat memandang bahwa kebijakan pembatasan umur untuk
konsumsi lebih tepat karena tetap memberikan ruang bagi masyarakat – khususnya
mereka yang sudah dewasa - untuk mengakses alkohol.
menambah pengetahuan sekali infonya
BalasHapusAXIS