Masih
banyak yang salah sebut. Oplosan dituliis: MIRAS
OPLOSAN. Padahal Oplosan yang menyebabkan kematian itu adalah RACUN yang tidak layak untuk dikonsumsi.
Akibat penyebutan kata miras oplosan itu, setiap ada korban jiwa, petugas merazia
berbagai minuman beralkohol berbagai jenis yang justru layak untuk dikonsumsi
dan layak edar.
*Disampaikan
oleh Adi Chrisianto, Ketua Forum Petani dan Produsen Minuman
Berfermentasi Indonesia dalam Seminar Kajian Rancangan Undang-Undang (RUU)
Pelarangan Minuman Beralkohol di Universitas Gajah Mada, 11 Februari 2016 yang
diadakan oleh Forum MBB dan Student Society.
Masih
tercatat di memori kita akan tragedi 25 korban tewas akibat oplosan di
Yogyakarta, awal Februari 2016 lalu. Hati tambah teriris mengetahui mayoritas
korban ialah mahasiswa yang notabene dari kalangan intelektual. Jika dahulu
racun oplosan dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah yang mengidentifikasi
dirinya seperti masyarakat kelas atas dalam mengkonsumsi minuman beralkohol di
bar, kini justru oplosan “naik kelas”.
Harga
racun oplosan “Banyu Gendheng” yang
dikonsumsi korban di Yogyakarta Rp 25 ribu per botol (330 mililiter). Harga ini
jauh lebih mahal (naik) dibandingkan dengan oplosan “Cherrybelle” yang beredar di Jawa Barat dan menewaskan puluhan
korban akhir 2014 silam. Harga racun oplosan “Cherrybelle” Rp 10 ribu per 330 mililiter.
Harga
Banyu Gendheng dan Cherrybelle ini sebenarnya juga mengalami kenaikan harga di
pasaran. Sebelumnya harga oplosan di pasaran, seperti Lapen Sarjito (ciu
dicampur obat antibiotik kadaluwarsa) hanya dijual Rp 5 ribu – 7 ribu per 330
mili liter.
Kenaikan
harga oplosan yang beredar di pasaran sebenarnya sudah disampaikan Om Sagita
dalam lirik lagu berjudul “Turunkan Harga Oplosan”. Dalam facebook, Om Sagita
menyatakan bahwa lagu genre dangdut itu
dicekal oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Jatim.
“Yen dilarang ora bakal ono sing dodolan (kalau
dilarang tidak ada yang jualan), najan
saiki oplosan regane larang (meskipun sekarang oplosan harganya mahal)”
Demikan
lirik lagu itu.
Jika
dibandingkan dengan harga minuman beralkohol tradisional, harga tuak dan arak
yang terbuat dari proses fermentasi kelapa, siwalan dan singkong tidak pernah
berubah (tidak pernah mengalami kenaikan tiap tahunnya seperti halnya oplosan).
Harga tuak di Tuban misalnya, sejak lima tahun lalu hingga saat ini hanya Rp 5
ribu per 750 miili liter (ml). Demikian
pula dengan arak Bali, per tahun 2016 harga arak Bali dipatok Rp 10 ribu per
750 ml.
Merujuk
pada perspektif pasar, dimana dalam hukum penawaran disebutkan “Semakin
tinggi harga, semakin banyak jumlah barang yang bersedia ditawarkan. Sebaliknya
semakin rendah tingkat harga, semakin sedikit jumlah barang yang bersedia
ditawarkan “ maka dapat disimpulkan konsumen lebih memilih oplosan
dibandingkan tuak dan arak, meskipun minuman beralkohol tradisional menawarkan
harga yang lebih murah.
Minuman
beralkohol sebenarnya sudah menjadi bagian dari masyarakat di Indonesia. Dalam
kitab Negarakertagama, misalnya yang dibuat pada zaman Kerajaan Majapahit
menjelaskan, minuman beralkohol sudah menjadi bagian dari perjamuan agung di
keraton. Apalagi setelah panen raya
tiba, raja akan membuka perayaan upacara dengan menyuguhkan arak (minuman
lokal) dari hasil fermentasi beras terbaik dengan dosis alkohol tinggi.
Pada
awalnya minuman beralkohol dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat tetapi
sekarang agak sedikit sulit bagi golongan bawah karena ada kenaikan harga akibat
regulasi cukai terhadap minuman beralkohol pabrikan. Dampak kenaikan harga
minuman beralkohol bermerek membuat konsumen strata sosial bawah mencari
minuman beralkohol alternatif yang dapat dijangkau oleh ekonomi bawah, seperti
ciu, arak dan tuak.
Maraknya
sejumlah razia pekat yang dilakukan petugas terhadap tuak, arak dan ciu membuat
produk ini semakin langka di pasaran. Padahal menurut UU nomer 7 Tahun 1996
tentang Pangan (Bab I), minuman beralkohol tradisional merupakan makanan atau
minuman hasil proses dengan cara dan metode tertentu dengan atau tanpa bahan
tambahan.
Hanya
karena terganjal kendala permodalan usaha untuk mengurus ijin edar, termasuk uji labolatorium seperti yang
diatur dalam UU nomer 7 Tahun 1996 tentang Pangan membuat arak, tuak dan ciu
dirazia karena tergolong produk illegal, seperti halnya rokok tanpa cukai.
Minuman
Beralkohol tradisional juga bukanlah produk minuman yang tercemar, sesuai
dengan yang diatur dalam UU Pangan mengenai kandungan bahan beracun. Hingga
kini, belum pernah ditemukan orang yang meninggal akibat keracunan minum tuak
dan arak.
Dalam
tesis berjudul Air Api di mulut Ciliwung : Sistem Produksi dan Perdagangan
Minuman Beralkohol di Batavia tahun 1873 – 1898 yang dilakukan mahasiswa pasca
sarjana jurusan Sejarah Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Yusana Susanti
menyebutkan oplosan sendiri sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Kolonial
Belanda tahun 1873. Pada tahun itu, Pemerintah Kolonial Belanda melakukan
intervensi besar-besaran terhadap system produksi, distribusi, ekspor-impor dan
seluruh aktifitas terkait konsumsi minuman beralkohol.
Namun
pada tahun 1898, regulasi itu pun dicabut karena pengawasan yang ketat itu
menyebabkan dampak perdagangan oplosan dan minuman beralkohol illegal. Beberapa
tahun kemudian, di Amerika Serikat melahirkan Alcapone dan mafia sebagai akibat
regulasi pelarangan minuman beralkohol.
Untuk
menekan korban racun oplosan, edukasi memerankan peranan yang penting di
masyarakat khususnya generasi muda. Pemerintah juga seharusnya memberikan
pembinaan kepada produsen arak dan tuak serta minuman beralkohol tradisional
lainnya agar mampu bersaing dengan minuman beralkohol tradisional dari negara lain
dalam era perdagangan bebas, seperti Soju dari Korea dan Sake dari Jepang.
Produk
arak asal Indonesia, Arak Batavia yang diproduksi di Jakarta pernah menjadi
lagenda di Asia hingga Karibia. Banyak bangsa-bangsa, termasuk Marcopolo
belajar mengenai tehnik fermentasi dari masyarakat Indonesia.
Selain
itu diperlukan adanya riset yang bisa menjadi dasar terhadap regulasi dalam
menangani penyalahgunaan minuman beralkohol. Jangan sampai regulasi yang ada
saat ini, seperti RUU Pelarangan Minuman Beralkohol justru meningkatkan
konsumsi oplosan.
Dalam
teori perilaku konsumen, Philip Kotler dan Garry Armstrong (1996) menyebutkan
keputusan konsumen dalam memilih produk dipengaruhi oleh faktor kebudayaan,
sosial, pribadi dan psikologi.
Dari
sisi budaya, sejumlah peraturan daerah yang melarang penjualan minuman
beralkohol membuat minimnya edukasi tentang pengurangan dampak buruk dari
minuman beralkohol. Akibatnya banyak generasi muda “melarikan diri untuk
mencari pelepasan” dari budaya asli yang ada di masyarakat.
Masalah
sosial lainnya yang ada di masyarakat, seperti masalah pengangguran hingga
kompleksitas tata ruang perkotaan mempengaruhi psikologis generasi muda ; untuk
mengkonsumsi oplosan yang bahannya sulit diterima oleh akal sehat.
Bagaimana
mungkin orang yang sehat mengkonsumsi bahan kimia berbahaya, seperti autan, obat
serangga, dan lainnya jika tidak sedang mengalami gangguan kejiwaan ?
Mari
Lawan Oplosan. Oplosan bukanlah Minuman.
setuju oplosan tidak baik sekali
BalasHapusAXIS