Selain
dikenal sebagai kota wisata “ledakan lumpur” Bledug Kuwu, Grobogan juga dikenal
sebagai kota pembuat arak tradisional berbahan dasar dari singkong yang rasanya
tidak kalah dengan minuman beralkohol asal Korea, Soju.
Seorang
rekan yang travellers dan juga penikmat kuliner asal Australia sering bertanya
; “Mengapa di Indonesia susah mendapatkan minuman beralkohol tradisional
seperti halnya di Korea dengan soju sebagai cinderamata ? “
Saya
enggan menjawab, bahkan menyalahkan PKS,
salah satu partai yang mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelarangan
Minuman Beralkohol di Indonesia, yang rencananya akan diberlakukan Juni 2016
mendatang.
Sama
halnya dengan Indonesia, dimana sejarah minuman beralkohol berkaitan erat
dengan revolusi perjuangan bangsa, Soju minuman beralkohol khas Korea yang
terbuat dari beras dan kentang dibuat pertama tahun 1300. Sejarah mencatat Soju
dibuat ketika orang Mongol berperang melawan orang Korea. Orang Korea pun
mempelajari tehnik fermentasi minuman beralkohol saat Mongol menginvasi Asia
Tenggara dan Timur Tengah tahun 1256.
Hingga
kini, Soju yang dikenal orang Kaesong dengan nama arak-ju itu menjadi minuman
beralkohol paling dicari wisatawan asing. Soju sendiri telah mensejahterakan
petani dan produsennya dari hasil penjualan minuman beralkohol. Perekonomian di
Korea pun melesat sebagai negara yang siap bersaing dalam Masyarakat Ekonomi
Asia.
Bahkan
di Korea tidak ditemukan korban meninggal akibat oplosan seperti halnya di
Indonesia, yang terdapat regulasi pelarangan minuman beralkohol di beberapa
daerah, seperti Tasikmalaya dan beberapa daerah di Jawa Barat. Padahal tingkat
konsumsi minuman beralkohol jenis bir di Indonesia hanya 1,1 liter per kapita
lebih kecil dibandingkan di Korea yang menurut data dari Heineken Asia Pasific tercatat
39 liter per kapita.
Minuman
beralkohol tradisional sendiri sebenarnya popular dan digemari oleh masyarakat
di Indonesia dibandingkan minuman beralkohol pabrikan. Menurut data dari Riset
Kesehatan Riskesdas menyebutkan minuman beralkohol tradisional menguasai 43,1
persen pasar minuman beralkohol di Indonesia. Di daerah Nangroe Aceh Darrusalam (NAD), pangsa pasar minuman
beralkohol tradisional menguasai 55,7 persen dari pasar minuman beralkohol di
bawah Bali yang tercatat 60 persen.
Di Sumatera Utara, minuman beralkohol
tradisional menguasai 80,1 persen pasar minuman beralkohol. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan di Papua
yang tercatat 32, 5 persen.
Lelah
membaca data, saya pun segera mencium aroma
rendaman tape begitu memasuki Dusun Plumpungan, Desa Banjardowo, Kecamatan
Kradenan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah beberapa pekan lalu. Hampir seratus
persen di tiap rumah di dusun tersebut, ada kegiatan membuat arak dengan bahan
dasar tape, ragi, dan gula merah dari tebu.
Selintas
dusun ini biasa-biasa saja, dibandingkan Bledug Kuwu yang memikat orang untuk
berkunjung guna melihat semburan lumpur berwarna abu-abu tua dari perut bumi,
dibarengi suara “bledug”, semacam ledakan terus menerus.
Berjarak
kurang lebih 5Km sebelah timur Bledug Kuwu, Dusun Plumpungan menyimpan sejarah
panjang, yang jarang dimiliki dusun-dusun lain. Nama Plumpungan hanya dikenal
oleh beberapa penjual jamu, yang menggunakan bahan ramuan tambahan berupa arak
putih dari para distributor minuman keras illegal, produksi rumahan di dusun
ini. Hanya mereka yang mengenalnya, sedangkan masyarakat luar daerah kurang
banyak yang tahu.
Nama
Plumpungan baru akan naik daun di kalangan kepolisian, ketika sekarang ini
marak minuman oplosan, atau saat para petinggi Kabupaten Grobogan sedang
membahas peraturan daerah yang berkaitan dengan minuman beralkohol.
“Produk
kami berupa arak putih. Berbeda dengan minuman oplosan,” kata salah seorang
penduduk Plumpungan yang enggan disebut jati dirinya ketika diwawancara Phamaja
dari Obyektif, belum lama ini.
Oplosan
menurut penduduk, adalah minuman beralkohol yang sudah merupakan campuran dari
berbagai bahan. Sedangkan arak Plumpungan tersebut diproduksi untuk kesehatan
dan kebugaran. Produksinya digunakan untuk ramuan tambahan jamu yang diminum
masyarakat secara terukur.
Ditambahkan,
Dusun Plumpungan merupakan salah satu dusun yang memproduksi arak murni dengan
latar belakang tradisi turun temurun.Tak beda jauh dengan Desa Bekonang di Solo
yang terkenal dengan Ciu Bekonang-nya, Desa Gumayun di Tegal dengan Bir
Gumayun, dan di Bali dengan istilah Tuak. Namun potensi adat yang khas di
Plumpungan seperti ini, ternyata belum diangkat secara maksimal oleh Pemkab
setempat. Sampai sekarang produk dari Plumpungan masih illegal secara hukum.
Tidak ada satu pun penduduk di desa ini yang memiliki ijin produksi.
Menurut
pengamatan, hanya seorang yang memiliki badan usaha berijin. Itupun
sesungguhnya cuma SIUP sebagai penjual minuman beralkohol. Harapan masyarakat
Plumpungan yg sampai kini belum tercapai, bisa memroduksi warisan leluhur
secara legal formal, sebagai mata pencaharian tanpa harus berbenturan dengan
hukum yang ada. Pihak Pemkab Grobogan, ketika diminta penjelasan soal itu,
menurut salah seorang Humasnya, jika ada pengajuan dari masyarakat luas soal
legalitas tersebut, akan dipertimbangkan.
Namun
menurut tokoh masyarakat Grobogan, Sartono yang biasa dipanggil Mbah Gentong,
seharusnya Pemkab peka dalam hal ini. “Tidak usah diminta oleh masyarakat,
mereka harus membimbing, memfasilitasi, dan memberikan ijin. Sekarang kan
jamannya sudah berubah. Masak Bupatinya tidak mau blusukan. Ketinggalan jaman
dong, hehehe....” katanya terkekeh seperti yang dikutip obyektif.com
wah ada arak tape juga yah
BalasHapusAXIS
Bagus sekali https://www.cekaja.com/info/cara-beli-emas-antam-di-pegadaian
BalasHapusCek di map aja arak plumpungan
BalasHapus