Maraknya
razia terhadap minuman beralkohol yang dilakukan oleh pihak kepolisian
menjelang peringatan malam Tahun Baru di berbagai daerah ternyata tidak
menyurutkan permintaan konsumsi minuman beralkohol tradisional seperti arak dan
tuak.
“Permintaan
konsumen masih sangat tinggi. Untuk menghindari razia dari kepolisian,
pengiriman saya lakakan pada malam hari, “ kata salah satu produsen arak Bali asal
desa Desa Tri Eka Bhuana, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem Bali, Wayan
Lemes.
Wayan
mengatakan sebagai produsen saya sudah meminta kepada pembeli agar tidak
mencampur arak dengan bahan lain (mengoplos) karena bisa mengakibatkan kematian.
“Akibat
banyaknya korban jiwa akibat konsumsi oplosan (methanol) di berbagai daerah,
pendapatannya dari hasil menjual arak menurun lebih dari 50 persen dari
rata-rata produksi 500 liter per dua hari. Penurunan ini dikarenakan banyaknya
penjual arak yang tertangkap polisi, “ katanya.
Polisi
sendiri mengenakan pasal Tindak Pidana Ringan (Tipiring) bagi penjual minuman
beralkohol tanpa ijin. Bahkan di Surabaya, polisi pernah mengenakan berlapis (pasal 204 ayat 2 KUHP)
yang disebutkan seseorang yang menjual sesuatu yang sifatnya berbahaya dan
menyebabkan kematian akan dihukum penjara hingga 20 tahun. Polisi juga akan menambah jeratan pasal yaitu,
Undang-Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012 dengan sanksi maksimal 15 tahun
penjara.
“Kami
memang tidak mempunyai ijin produksi karena untuk mengurus ijin itu mahal. Belum
pernah ada kasus bahwa mengkonsumsi arak murni menyebabkan kematian. Banyak korban jiwa meninggal itu dikarenakan
arak dicampur dengan bahan kimia lain seperti autan, tinner dan obat antibiotik
yang sudah kadaluwarsa, “ katanya.
Wayan
mengatakan arak sendiri merupakan minuman beralkohol yang sudah dikenal dari
zaman nenek moyang di Bali. Selain untuk kesehatan, arak juga digunakan untuk
religi dan upacara adat metuakan.
“Saat
ini banyak yang disalahgunakan hingga menyebabkan kasus korban meninggal
dunia. Menurut saya bukan salah minuman
beralkohol akan tetapi banyak orang mengalami tekanan akibat kondisi ekonomi
dan sosial di daerah hingga mereka ingin melepaskan tekanan itu dengan meminum
oplosan, “ katanya.
Hal
senada juga dikatakan oleh Sumantri, salah satu produsen tuak di Tuban. Jumlah
permintaan tuak untuk kebutuhan berkumpul dengan sanak saudara, teman dan
kerabat untuk merayaka Tahun Baru masih sangat tinggi.
“Tuak
sendiri tidak hanya dikonsumsi setiap peringatan Tahun Baru. Setiap hari orang
di Tuban berbagai usia, stata sosial dan jenis kelamin juga meminum tuak untuk
kesehatan dan bersosialisasi. Hanya saja tuak dianggap tak berijin dan menjadi
biang keladi korban oplosan, “ katanya.
Sumantri
mengatakan pihaknya tidak pernah mengetahui dan membaca aturan larangan
penjualan dan pengiriman tuak di berbagai daerah di Jawa Timur.
“Saya
tidak mengerti aturan hukum. Kami dianggap menjual arak yang kami produksi
secara turun temurun seperti halnya Bandar narkoba. Jadi saya hari berhati-hati
dalam melakukan pengiriman agar tidak tertangkap polisi, “ katanya.
Sumantri
mengatakan legislative sendiri tidak pernah memikirkan nasib dari petani
tradisional siwalan dan kelapa untuk produksi arak dan tuak. Apabila regulasi
pelarangan minuman beralkohol diterapkan maka akan mematikan petani siwalan dan
kelapa di berbagai daerah.
“Petani
siwalan di Tuban tidak bisa beralih tanam karena kondisi tanah di Tuban hanya
bisa digunakan untuk menanam siwalan. Beberapa pembuat tuak pun sampai saat ini
terkendala masalah perijinan karena minimnya modal, “ katanya.
Seperti
diketahui, selain RUU Minuman Beralkohol, RUU Pertembakauan juga masuk dalam Legislasi Nasional 2015.
Sejumlah pengamat menilai RUU
Pertembakauan lebih banyak berpihak kepada
industri rokok dibandingkan dengan hak masyarakat dalam mendapatkan informasi da akses
kesehatan yang layak.
DPR
mengakui RUU Pertembakauan melindungi
petani tembakau, meskipun petani tembakau
sudah mendapatkan jaminan yang diatur dalam UU No 19 tahun 2013 tentang
perlindungan dan pemberdayaan petani, serta UU No 3 tahun 2014 tentang
perindustrian. Sementara ratusan petani
kelapa di Bali dan siwalan di Tuban
terancam kehilangan pekerjaan bahkan
terancam kurungan penjara jika RUU Minol diberlakukan .
Peneliti
minuman beralkohol tradisional yang juga Dosen Antropologi dan Budaya Univesitas Indonesia, Raymond mengatakan secara
budaya, mengkonsumsi minuman beralkohol sudah ada sejak lama sehingga
pemerintah tidak boleh memuat aturan pelarangannya.
“Beberapa
data yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan juga penelitian dari
Universitas Indonesia menyebutkan bahwa dibandingkan minuman beralkohol
pabrikan, minuman beralkohol tradisional lebih banyak dikonsumsi oleh
masyarakat di Indonesia, “ katanya.
Sementara
itu, aparat kepolisian dan satpol PP di berbagai daerah, seperti di Gresik Jawa
Timur dan Bandung Jawa Barat terus
melakukan razia minuman beralkohol di warung-warung dengan alasan menjaga
keamanan di malam Tahun Baru pasca oplosan kembali memakan korban jiwa di
Sumedang Jawa Barat dan di Bekasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar