Minuman
beralkohol memicu kriminalitas dan merusak moral bangsa. Begitu statmen salah
satu anggota DPR di salah satu media massa beberapa hari lalu. Pagi ini, di
tempat gym, salah satu rekan saya bertanya untuk kesekian kalinya ; “Apakah orang
yang tidak minum arak dan tuak pasti berbadan langsing ? “
Dalam sebuah diskusi yang diikuti oleh mahasiswa
perguruan tinggi Islam di Surabaya yang digelar oleh Yayasan Orbit, ada sebuah
pertanyaan apakah orang yang tidak mengkonsumsi minuman beralkohol pasti tidak
akan korupsi ?
Riset Transparansi Internasional (TI) tahun 2007
menyebutkan agama tidak berhubungan dengan prevalansi praktik korupsi. Penelitian yang melibatkan pengumpulan data
tak kurang dari 185 negara dengan latar belakang agama yang sangat beragam ini
termasuk Indonesia dan sejumlah Negara Timur Tengah, menunjukkan hasil bahwa
dalam masyarakat dengan tingkat kepercayaan agama yang tinggi memiliki
Corruption Perception Index (CPI) yang juga tinggi (S.Douglas Beets, 2007).
Hasil riset ini sepertinya hendak mengatakan
bahwa nilai-nilai normative yang mulia yang di kandung dan diajarkan oleh
sebuah agama terlihat tidak berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakatnya,
terutama dalam hal perilaku korupsi.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan salah
satu partai pendukung Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman
Beralkohol. RUU itu nasibnya akan ditentukan dalam sidang DPR RI pada Juni 2016
mendatang. Pelarangan penjualan dan
konsumsi minuman beralkohol dianggap tidak sesuai dengan budaya dan moralitas
bangsa.
Ahmad Fuad Fanani dari Maarif Institute for
Culture and Humanity mengatakan isu formalisasi syariat Islam ini memang masih
menjadi sesuatu yang sensitive tetapi tidak banyak diminati oleh masyarakat
Indonesia. Masyarakat lebih meminati dan tertarik pada isu-isu politik yang
berkaitan langsung dengan kebutuhan dan perbaikan bangsa Indonesia ke depan.
Namun, perjuangan Perda Syariat ini bukan
hanya menjadi monopoli partai-partai Islam.
Banyak partai-partai nasionalis seperti Partai Golkar yang juga mendukung
penerapan perda syariat. Menurut Robin Bush yang melalukan penelitian
komprehensif tentang persoalan ini, dukungan partai-partai nasionalis banyak
dikaitkan dengan pragmatisme politik untuk meraih dukungan dari pemilih dalam berbagai
pemilihan kepala daerah. Mereka mendukung itu karena untuk menunjukkan
identitas dan keberpihakannya pada umat Islam.
Padahal hasil Pemilu 2009, partai-partai Islam tidak banyak mendapatkan
manfaat nyata dari dukungannya terhadap isu penegakan Syariat Islam secara
formal. Dari situ nampak bahwa isu syariat Islam ternyata memang bukan hal yang
strategis bagi partai Islam. Partai Islam mestinya harus memikirkan secara
serius apa saja isu-isu strategis yang saat ini menarik minat dan
perhatian rakyat.
Tampaknya, pemikiran Cak Nur pada tahun 1970-an yang
menyatakan bahwa “Islam Yes, Partai Islam No!”, menemukan relevansi dan kontekstualisasinya pada masa kini. Dan
menurut MC Ricklefs, kecenderungan pendirian sayap Islam dalam
partai-partai nasionalis itu merupakan bentuk nyata dari Islamisasi yang
terjadi di Indonesia yang tidak bisa dibendung.
Islamisasi dalam pengertian
yang luas yang berarti semakin menguatnya simbol-simbol Islam dan pemakaian
identitas Islam dalam politik ini, tentu memberikan dampak yang serius pada
perolehan suara partai Islam ke depan. Mereka tentu harus memikirkan strategi agar
identitas mereka sebagai partai Islam tetap menjadi daya jual yang bisa menarik
para pemilih. Partai-partai Islam juga harus merumuskan jalan baru agar mereka
bisa bersaing dengan partai-partai nasionalislainnya serta bisa berkontribusi
pada masa depan bangsa ini.
Dalam konteks global, partai
Islam tidak hanya berorientasi pada,meminjam istilah James Piscatori—imagining Pan Islamism- terus menerus. Namun Partai Islam harus mampu
menatap tantangan globalisasi dan bagaimana memanfaatkan peluang globalisasi
untuk kemajuan bangsa dan umat Islam. Pada konteks lokal Indonesia, Partai
Islam tidak terus menerus terjebak pada isu massa tradisional Islam, isu
syariat Islam, Piagam Jakarta, Negara Islam, dan isu-isu formalisme Islam
lainnya.
Partai Islam harus mau bergerak
pada perjuangan isu-isu kebijakan publik yang terkait dengan kepentingan rakyat
kebanyakan. Partai Islam harus mengambil isu-isu populis yang terkait dengan
kepentingan rakyat banyak seperti soal kemandirian pangan, subsidi pertanian,
pendidikan murah, jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan sebagainya.
Isu-isu politik yang terkait dengan
kaum miskin kota dan rakyat kebanyakan itu tentu lebih strategis dan
kongkrit bagi pemilih di Indonesia dibandingkan isu-isu yang bersifat
formalisme Islam dan kental dengan simbol Islam.
Untuk konteks Indonesia, dukungan partai Islam terhadap isu-isu
publik ini bisa juga dijadikan alat negosiasi di tengah kondisi masih
menguatnya trauma masyarakat akan tema-tema syariat Islam dan bayangan ancaman
Negara Islam Indonesia terutama bagi kaum minoritas.
Masalah korupsi juga harus menjadi focus utama. Selain
kejahatan besar, perilaku korup menyebabkan perubahan gaya hidup yang pada
akhirnya bisa merubah pula pola konsumsi. Perubahan inilah yang menyebabkan
semakin tingginya penderita obesitas dan
diabetes di Indonesia. Padahal dua penyakit inilah yang menyebabkan kualitas sumber daya manusia Indonesia tidak
bisa bersaing di era pasar global.
Selamat berolahraga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar