Untuk
menyempurnakan draff Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelarangan Minuman
Beralkohol, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan bercermin ke Malaysia. Demikian
dikatakan Wakil Ketua Panitia Khusus Pelarangan Minuman Beralkohol, Aryo
Djojohadikusumo. Ia mengatakan Malaysia tidak melarang penjualan minuman
beralkohol meskipun negara itu menganut hukum syariat Islam.
Untuk melihat dari dekat penerapan regulasi mengenai minuman
beralkohol, Komunitas Anti Oplosan berkeliling Malaysia beberapa pekan lalu.
Berikut catatannya.
Untuk
mengendalikan peredaran minuman beralkohol di negaranya, pemerintah Malaysia akan
meningkatkan batas usia konsumsi minuman beralkohol dari 18 tahun menjadi 21
tahun. Channel News Asia melaporkan peraturan baru ini telah didaftarkan ke
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada awal Januari 2016 lalu. HIngga kini,
tidak disebutkan kapan peraturan baru itu akan diberlakukan di Malaysia.
“Indonesia
telah lebih dahulu menerapkan batas usia 21 tahun untuk konsumsi minuman
beralkohol. Dalam regulasi ini, saya setuju karena negara harus mengendalikan
peredaran minuman beralkohol untuk meminimalkan korban oplosan dan perdagangan
gelap minuman beralkohol yang dikuasai oleh mafia,“ kata Rudhy Wedhasmara, Dewan
Penasehat edualkohol.blogspot.com.
Indonesia
sendiri terlebih dahulu menerapkan batas konsumsi minuman beralkohol usia 21
tahun. Tahun 2014 silam, Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan Peraturan
Menteri Perdagangan bernomor 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalikan dan
Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol. Dalam
aturan itu disebutkan bahwa penjual minuman berakohol dapat memberikan minuman
beralkohol kepada konsumen yang telah berusia 21 tahun dengan menunjukkan Kartu
Identias Penduduk.
Rudhy
mengatakan Malaysia juga berencana memberikan pelabelan tambahan untuk produk
alkohol, termasuk peringatan konsumsi minuman beralkohol secara bertanggung
jawab.
“Menurut saya
Malaysia telah menerapkan prinsip alkohol dan demokrasi. Konsumsi minuman
beralkohol sendiri merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan negara berhak
untuk mengontrol perdagangan agar tidak dikuasai oleh mafia perdagangan yang
diduga banyak mendukung pelarangan minuman beralkohol di Indonesia, “ katanya.
Malaysia
merupakan rumah bagi perusahaan pembuat bir seperti Carlsberg Brewery Malaysia
Bhd yang keuntungan kuartal naik 11 persen. Ada juga Guiness Anchor Bhd. Alkohol dijual di banyak tempat di Malaysia
dan dikonsumsi sekitar 3,5 juta dari 30 juta jumlah total penduduk di Malaysia.
Itu berdasarkan data dari Confederation of Malaysian Brewers Berhad.
“Malaysia
memang negara dengan pajak alkohol tertinggi di Asia, namun konsumsi minuman
beralkohol di negara ini tetap stabil. Ini berbeda dengan Indonesia, dimana justru
masyarakatnya paling banyak konsumsi minuman beralkohol tradisional seperti
arak, tuak, sopi yang tidak terkena pajak, “ kata Rudhy.
Rudhy
mengatakan jika minuman tradisional dikenakan pajak maka konsumen dipastikan
akan lari ke konsumsi oplosan dengan harga yang murah. Selain itu, selama ini
pemerintah belum pernah melakukan pembinaan kepada para produsen minuman
beralkohol tradisional layaknya UKM.
“Minuman
beralkohol tradisional dianggap musuh dan sering terkena razia. Padahal semakin
banyak dirazia semakin banyak pula korban oplosan yang meninggal di berbagai
daerah, “ katanya.
Rudhy
mengatakan regulasi di Indonesia perlu dirubah.
“Jika konsumsi
minuman beralkohol tradisional paling banyak dikonsumsi, mengapa kok minuman
beralkohol pabrikan dilarang dijual di minimarket ?. Ini kebijakan yang salah
sasaran, “ katanya.
Di Malaysia,
kata Rudhy, nilai ekspor minuman beralkohol mencapai 269 juta dollar AS dengan
tujuan Singapura, Vietnam dan Thailand.
“Minuman
beralkohol asal Malaysia juga banyak masuk ke pasar gelap di Nunukan karena
sejumlah Peraturan Daerah di sejumlah daerah di Indonesia yang melarang
penjualan alkohol, “ kata Rudhy.
Departemen
Statistik Malaysia melaporkan kenaikan inflasi 3 persen pada bulan November,
lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tercatat 2,8 persen. Nilai inflasi
bulan Desember itu lebih tinggi dari perkiraan sejumlah ekonom di negara itu
sebesar 2,7 persen.
Kenaikan bulan
November tersebut merupakan kenaikan kedua berturut setelah sebelumnya
terkoreksi dari inflasi yang tinggi di 3,3 persen. Kenaikan inflasi ini di
kontribusi oleh kenaikan biaya minuman beralkohol, tembakau, transportasi dan
utilitas.
Jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, tingkat inflasi Malaysia meningkat 0,5 persen, tingkat yang sama seperti pada bulan Oktober. Peningkatan juga disebabkan oleh inflasi minuman beralkohol dan tembakau (+ 10,3 persen); perumahan, air, listrik dan gas (+ 0,7 persen) dan makanan dan minuman non alkohol (0,3 persen).
Jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, tingkat inflasi Malaysia meningkat 0,5 persen, tingkat yang sama seperti pada bulan Oktober. Peningkatan juga disebabkan oleh inflasi minuman beralkohol dan tembakau (+ 10,3 persen); perumahan, air, listrik dan gas (+ 0,7 persen) dan makanan dan minuman non alkohol (0,3 persen).
“Kalau harga
minuman beralkohol jenis pabrikan di Indonesia mengalami kenaikan bisa membuat konsumen lari untuk
mengkonsumsi oplosan atau minuman beralkohol yang dijual di pasar gelap yang
menawarkan harga lebih murah (dibawah harga pasar), “ katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar