Sudah
sering kuceritakan padamu kisah : Manusia memang tidak pernah luput dari
kesalahan. Begitu pula dengan Muhammad Nasir Djamil, politisi dari Partai
Keadilan Sejahtera (PKS). Anggota Komisi III DPR RI kelahiran Medan Sumatera
Utara itu menyebutkan Tito Karnavian, Calon Kapolri pilihan Presiden Jokowi
seperti lagunya Scorpion “Soldier of Fortune”.
Sebagai
pria penggemar musik rock seperti halnya Presiden Jokowi seharusnya Nasir cukup
menyebut lagu “Soldier Of Fortune” itu dinyanyikan oleh Deep Purple, bukanlah
Scorpion. (http://profil.merdeka.com/indonesia/m/muhammad-nasir-djamil/
)
Sudahlah jangan ditertawakan. Semua orang bisa saja salah.
Pada
tahun 2008 silam, S, seorang pengajar di salah satu Universitas di Cirebon
sedang menjalani Uji Kepatutan dan Kelayakan Calon Hakim Mahkamah Konstitusi di
depan anggota Komisi III DPR RI. Gara-gara kurang teliti menuliskan kata judicial
(yang ditulisnya Yudiicial) dan salah menyebutkan salah satu pasal di UUD
1945, S harus mengangkat tas dan keluar
ruangan padahal tak sampai 15 menit ia mempresentasikan makalahnya di depan
anggota Komisi III DPR RI.
S
dianggap oleh beberapa anggota Komisi III DPR melakukan kesalahan fatal menyebut
pasal dalam Undang-Undang. Saran saja. Lebih baik tidak tertawa karena ini menyangkut
persoalan Undang-Undang.
Dalam
Undang-Undang (UU) Nomer 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia pasal 41 menyebutkan dalam rangka melaksanakan tugas keamanan,
Kepolisian dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia. Pasal ini
menunjukkan bahwa antara polisi dan tentara merupakan dua institusi yang
berbeda. Ini seperti yang diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sedangkan peranan polisi dan tentara
lebih lanjut diatur dalam Ketetapan MPR nomer VII tahun 2000.
Lalu
apakah maksud dari statement Nasir dari PKS yang menyebut Tito Karnavian, calon
Kapolri sebagai “Soldier of Fortune” ?
Polisi adalah penjaga keamanan dan rasa aman
masyarakat sebagaimana tampil dari beragam motto polisi di dunia, seperti
to combat crime (memerangi kejahatan), to protect and to serve (melindungi dan
melayani) yang di Indonesia ditambah mengayomi.
Polisi bukan anggota tempur (combatant)
sebagaimana militer. Polisi selama 24 jam menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat, termasuk dalam situasi perang. Tidak aneh bila saat televisi
menayangkan berita perang di Timur Tengah, terlihat pula polisi sedang
mengatur lalu lintas. Norma kepolisian dunia memang menegaskan status polisi yang
mirip anak-anak atau nenek-nenek. Mereka tak boleh ikut perang karena itu tidak
boleh ditembak.
Tapi polisi dipersenjatai mengingat mereka aparat
penegak hukum. Negara memberi kewenangan polisi untuk menggunakan kekerasan
(termasuk senjata) secara sah. Sama seperti pegawai Bea dan Cukai, Kejaksaan,
dan institusi lain yang diberi kewenangan serupa. Bedanya dari combatant
seperti tentara, polisi menembak untuk melumpuhkan, sedangkan tentara menembak
untuk membunuh (dalam situasi perang).
Dengan status itu saja, diklat
kepolisian tidak boleh sama dengan diklat tentara. Polisi dilatih menggunakan
peluru kosong, lalu peluru karet, baru peluru tajam, untuk mengatasi kerusuhan.
Tentara tidak mungkin menembak musuh dengan peluru hampa.
Semoga ini bukan lelucon politik dari PKS....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar