Korban Minuman Keras (Miras)
oplosan masih saja terjadi. Malam menjelang hari raya, beberapa orang pesta
Miras oplosan di Cimahi, Jawa Barat. Akibatnya, delapan orang meninggal dunia
dan beberapa yang lain masih kritis. Oplosan menjadi tragedi di negeri ini.
Banyak korban berjatuhan namun tiada membuat penyadaran, senantiasa berulang.
Oleh Aris Setiawan
Etnomusikog
Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta
Bahkan, karena kejadian itu
menginspirasi terciptanya lagu berjudul Oplosan. Biasanya dinyanyikan oleh
Shoimah. Berharap masayarakat tak hanya mendengar sambil bergoyang, tapi juga
meresapi kandungan arti dari liriknya. Lagu tersebut mengandung misi dan pesan
penyadaran. Berikut nukilan liriknya: opo
ora eman duwite…/ opo ora mikir yen mendhem/ iku biso ngusak pikiran…/ coba
sawangen kae kanca-kancamu/ akeh seng pada glempangan/ uga akeh seng kleset/
ditumpake ambulan…/ (apa tidak eman pada uang/apa tidak berpikir bahwa mabuk
itu bisa merusak pikiran…/coba lihat teman-temanmu/ banyak yang bergelimpangan/
juga tidak sadar dinaikkan ambulan).
Disebut oplosan karena tak
lagi murni minuman. Namun telah dipadukan dengan pelbagai zat lain. Untuk
menambah “daya gedor,” minuman beralkohol itu dicampur dengan sepiritus, bensin
obat nyamuk, pembersih lantai, sabun cuci, dan lain sebagainya. Tak ada takaran
yang pasti, seberapa banyak-sedikitnya campuran itu harus dioplos. Oplosan
adalah wujud eksperimen lokal yang dikembangkan dari pemikiran lokal pula.
Mereka berusaha menghasilkan temuan berupa racikan baru (new invention) yang
khas dan nikmat. Namun, eksperimen tersebut belakangan ini banyak gagalnya
daripada suksesnya. Akibatnya, banyak manusia mampus gara-gara overdosis
minuman beroplos.
Kultural
Hampir semua korban adalah
masyarakat akar rumput, orang-orang jelata, kelas bawah yang miskin. Budaya
omben kini seolah menjadi pelarian dari himpitan dan tekanan hidup yang semakin
berat. Dengan mabuk, mereka berusaha melenakan diri, melupakan semua persoalan
yang dihadapi walaupun sekejap. Budaya oplosan mengingatkan kita tentang
tradisi mendem (mabuk) yang sudah mengakar di Nusantara. Kisah oplosan kemudian
tak hanya berhenti menjadi peristiwa hukum dan ekonomi, namun juga peristiwa
budaya.
Kitab lawas Negarakertagama
misalnya, yang dibuat pada zaman Kerajaan Majapahit menjelaskan, minuman keras
sudah menjadi bagian dari perjamuan agung di keraton. Apalagi setelah panen
raya tiba, raja akan membuka perayaan upacara dengan menyuguhkan arak (minuman
lokal) dari hasil fermentasi beras terbaik dengan dosis alkohol tinggi. Para
tamu undangan dan pejabat keraton menari tayub. Sebelum menari, mereka
diwajibkan menenggak arak terlebih dahulu. Adakalanya, arak yang dihadirkan
sudah dioplos dengan jenis arak lain (fermentasi nira kelapa, siwalan). Pesta
tersebut dapat berlangsung semalam suntuk. Bahkan para tamu undangan yang
datang dari pelbagai daerah membawa oleh-oleh berupa arak khas daerahnya. Hal
ini sekaligus menjadi ajang pamer arak siapa yang paling kuat atau besar kadar
alkoholnya.
Bagi orang pribumi, semakin
kuat ia minum dianggap sebagai jagoan yang tak terkalahkan. Dihormati dan
disegani. Pesta tersebut menjadi ajang unjuk kemampuan dan kekuatan minum.
Tradisi yang demikian, masih berlangsung di banyak daerah di Indonesia hingga
kini.
Budaya minum juga tampak dalam
narasi mitologi dan cerita rakyat kita. Sakerah misalnya, dalam lakon Ludruk di
Jawa Timur dikisahkan sebagai seorang pemberani penentang penjajah Belanda. Ia
adalah manusa asli Madura yang tinggal di Pasuruan dengan senjata khasnya
berupa clurit. Pasukan
Belanda dibuatnya kalang-kabut. Konon ia tak mempan
ditembak dan dihunus senjata tajam. Ia laksana belut, gesit dan sulit
ditangkap.
Namun pada sutu ketika,
dibuatlah pesta tayuban dengan tradisi omben. Sakerah datang, menari tayub
bersama si lengger sambil mendem. Belanda mendekati, ia ditangkap dan dihukum
mati. Tradisi “kumpul-kumpul” mengharuskan minuman keras disajikan. Bahkan, di
Keraton Yogyakarta terdapat tempat khusus untuk minum-minum (saat penjajahan
Belanda berlangsung) yang disebut Bangsal Sarangbaya. Hampir semua minuman
keras saat itu diproduksi secara lokal dan legal.
Minuman beralkohol yang
diproduksi oleh orang pribumi biasanya memiliki nama yang khas atau melokal,
seperti Ciu (Solo), Cap Tikus (Manado), Tuak (Tuban), Sopi (Maluku), Lapen
(Yogyakarya), Cukrik (Surabaya). Harga minuman lokal tersebut tentu saja
relatif lebih murah dibandingkan dengan minuman-minuman legal. Kasijanto
Sastrodinomo lewat artikelnya Mabuk-Mabukan dalam Sejarah (2007) mengisahkan
masyarakat pribumi sejak dahulu banyak mengalami kecanduan alkohol lokal.
Akibatnya, produksi arak lokal berkembang sebagai bisnis yang menguntungkan.
Setiap minuman lokal tersebut
memiliki keunikan oplosan tersendiri. Ciu di Solo (Bekonang) misalnya, wajib
dihidangkan dengan beberapa oplosan. Rosalia Justna Sus Nugrohoweti (2013),
menuliskan oplosan yang biasanya digunakan adalah minuman bersoda (Sprite,
Fanta, Coca-Cola), bir, air rendaman tanduk kijang, serta ciu yang direndam
dengan embrio bayi kijang. Sementara tuak di Tuban lebih nikmat jika diminum
tanpa oplosan dan hasil dari sadapan pertama dari pohon siwalan. Cukrik di
Surabaya dan sekitar kadang lebih gila lagi, dioplos dengan obat nyamuk cair
dan spiritus. Biasnya, untuk mengecek seberapa keras, cukrik yang sudah dioplos
kemudian dibakar. Jika nyala api merah berarti racikan oplosan masih kurang,
apabila biru maka dianggap ideal. Dapat dibayangkan, berapa persen alkohol yang
terkandung di dalamnya. Hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Kepolisian
Republik Indonesia Cabang Surabaya (medio Januari 2014), kandungan alkohol
dalam cukrik dapat melebihi 50 persen.
Kecanduan minuman beralkohol
tak hanya terjadi di masyarakat pribumi. Di rumah-rumah sakit Perancis pada
1899, 30 persen pasien adalah pecandu alkohol. Di Inggris pada rentang waktu
yang sama sekitar 10 persen tentara negeri itu adalah pemabuk. Di Jerman lebih
ironis lagi, penyebab gila sekitar seperempat bagian pasien rumah sakir adalah
alkohol. Kala itu, tak ada undang-undang yang mengatur secara resmi terkait
dengan besarnya kadar alkohol, serta racikan dan campuran –oplosan- yang harus
digunakan. Oleh karena itu, minuman oplosan adalah sarana pembunuh massal
paling efektif.
Layaknya candu, mereka dapat tertawa dan menangis tanpa
sebab. Ada ketakutan jika mereka sadar diri, kemudian menjalani kehidupan nyata
yang tak diharapkan. Tak jarang mereka adalah orang-orang yang putus asa
menjalani hidup. Oplosan seolah menjadi hadiah terindah. Oplosan memberi
pengaruh agar rasa sakau itu semakin lama dan awet. Oleh karena itu, untuk
menghasilkan rasa –awet- yang demikian, eksperimen oplosan senantiasa
diberlangsungkan setiap saat dengan memadukan bahan dan racikan “bumbu-bumbu”
baru, begitu seterusnya. Tak ada hasil akhir yang memuaskan, karena hasil akhir
hanya berisi ketidakpuasan. Dosis kemudian harus ditambah terus dan terus,
hingga akhirnya mendem yang sejatinya telah tiba, kematian!!!
(#sumber http://joglosemar.co/2014/08/opini-oplosan.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar