Sepertiga dari jumlah
undang-undang yang disahkan DPR tiap tahunnya selalu memuat ketentuan pidana.
Jika dilihat lebih detail, dalam periode 1998-2014, Indonesia telah memiliki
1.601 tindak pidana yang tersebar di 154 undang-undang dengan ancaman pidana
yang cukup berat. Terminologi ‘efek jera’
selalu didengungkan sebagai alasan di balik penyusunan kebijakan pidana di
Indonesia.
Padahal seharusnya efek jera harus diukur
dengan menggunakan indikator ilmiah yang didasarkan pada cabang keilmuan yang
ada dan tidak berhenti pada tataran argumentatif. Kegagalan
menyusun regulasi justru berakibat pada menjamurnya tindak pidana, begitu
banyaknya pilihan hukuman, dan semuanya akan bermuara pada besarnya kemungkinan
penjatuhan hukuman yang tidak adil terhadap pelaku kejahatan.
Sebagai contohnya, karena dianggap
sebagai biang keladi kejahatan, hingga kini tiga Fraksi di DPR RI terus ngotot
agar Rancangan Undang-Undang Pelarangan Minuman Beralkohol segera disahkan. RUU
ini melarang
pembuat, pengedar, pembeli, penjual, bahkan peminum dan penyimpan minuman
beralkohol dengan ancaman hukuman penjara dan denda.
Padahal tidak semua penikmat minuman
beralkohol itu orang jahat. Juga tidak semua peminum kopi itu pelaku tindak
kejahatan korupsi.
Perkara hal minuman, yang jelas
bukan alkohol, saja juga bisa memicu tindak korupsi kok…
Mengasumsikan semua peminum
minuman beralkohol akan mengganggu ketertiban masyarakat adalah suatu
pemikiran yang sempit. Apabila pemabuk
telah mengganggu
ketertiban, misalnya berkelahi, maka tegakkan hukum hanya kepada mereka yang
mengganggu ketertiban.
Tidak hanya pemabuk, makan mie
instan saja bikin ribut ya harus
diproses
http://news.okezone.com/read/2016/05/31/18/1402110/ribut-masalah-mi-instan-pria-di-malaysia-ditembak
Apalagi kasus keributan bisa terjadi dimana saja, tak selalu
di bar penjual minuman beralkohol
Ketentuan pidana dalam
RUU Minuman Beralkohol itu jelas sangat tidak praktikal dan realistis untuk
diimplementasikan karena keterbatasan sumber daya (anggaran, manusia, atau
infrastruktur) yang dimiliki aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana
di Indonesia.
Pertama, polisi tiap
tahunnya selalu kewalahan untuk meyelidik dan menyidik tindak pidana. Tahun
2013, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) menangani sebanyak 305.708 tindak
pidana. Dari jumlah tersebut hanya 181.738 atau hanya 59 % yang berhasil
diselesaikan.
Kedua, setelah suatu
tindak pidana disidik, polisi akan meneruskan ke jaksa untuk dituntut dengan
anggaran yang sangat terbatas. Tahun 2013, jaksa hanya memiliki anggaran
sebesar Rp.3,3 juta untuk menuntut suatu perkara. Jumlah tersebut
dikeluhkan sebagian besar jaksa, terutama di daerah terpencil, karena tidak
cukup untuk membiayai tugas penuntutan. Minimnya anggaran
ini seringkali dijadikan alasan Kejaksaan
terjadinya praktik korupsi.
Ketiga, jika perkara
tersebut dituntut di pengadilan maka akan menjadi tambahan beban kerja bagi
pengadilan yang pada tahun 2013 menunggak 67.196 perkara pidana. Tumpukan
perkara ini mengakibatkan hakim terkadang mengabaikan hukum acara untuk
mempercepat persidangan. Pada akhirnya, kinerja dan profesionalitas hakim
sebagai suatu profesi mulia (officium nobile) akan menurun.
Keempat, lembaga
pemasyarakatan (Lapas) yang akan menampung terpidana berdasarkan RUU ini sudah
melebihi kapasitas. Tahun 2013, Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin,
menyatakan seluruh Lapas di Indonesia kelebihan kapasitas. Ironisnya, salah
satu Lapas memiliki kelebihan kapasitas hingga 900 %. Kelebihan kapasitas mengakibatkan
para terpidana hidup tidak layak di dalam Lapas sehingga menghambat proses
rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Memidanakan pembuat, pengedar, pembeli, penjual,
peminum dan penyimpan minuman beralkohol jelas akan menambah permasalahan
keempat aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana tersebut. Solusinya
tidak dapat dengan serta merta menaikan anggaran, menambah SDM, dan membangun
Lapas karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia sangat
terbatas.
Apabila DPR tetap memaksakan pengesahan RUU ini dengan
terbatasnya sumber daya, rule of law di Indonesia sebagai negara
hukum akan semakin lemah ketika suatu undang-undang tidak dapat
diimplementasikan dengan baik. Terlebih jika aparat penegak hukumnya melanggar
ketentuan acara pidana, tindak pidana korupsi, dan perlindungan HAM dalam
melaksanakan undang-undang larangan minuman beralkohol.
Pemerintah perlu memikirkan ulang pendekatan punitif
yang dijalankannya selama ini dan mulai mencari alternatif solusi yang lebih
efektif untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan di Indonesia, yang tidak
semata-mata karena minuman beralkohol
sangat menarik sekali untuk dibaca
BalasHapusAXIS