Moke
merupakan minuman tradisional asal Flores, yang terbuat dari hasil penyulingan
buah dan bunga pohon lontar maupun enau. Pembuatan moke dilakukan di
kebun-kebun masyarakat dengan menggunakan wadah-wadah tradisional seperti
periuk tanah untuk memasaknya. Pembuatan moke memerlukan keuletan, kesabaran
dan keahlian khusus untuk menghasilkan minuman yang berkualitas.
Satu botol moke berukuran
330 mililiter, membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam proses menunggu tetesan demi tetesan dari alat penyulingan
yang menggunakan wadah yang terbuat dari batang bambu. Moke
dengan kualitas terbaik sering disebut masyarakat dengan BM atau bakar menyala.
Moke tersebut memiliki khasiat untuk kesehatan.
Moke dengan kwalitas terbaik biasanya hanya
disajikan pada akhir pekan dan acara-acara adat seperti pesta pernikahan
sebagai pendamping hidangan utama dan disajikan juga sirih dan pinang yang
biasa dikonsumsi para wanita. Walaupun moke merupakan minuman yang
beralkohol, untuk mendapatkannya sangat mudah, diberbagai sudut kota maupun di
pelosok desa moke selalu tersedia. Di luar Kupang, moke dapat ditemukan di warung pinggir jalan. Harganya
antara Rp 15-20 ribu per botol air kemasan sedang.
Arak tradisional ini
merupakan minuman masyarakat luas di Flores termasuk di kalangan para pejabat
daerah. Masyarakat di
Flores sering mengonsumsi Moke beramai-ramai atau dalam istilah daerah disebut
dengan cara melingkar.
Konsumsi moke sering dilakukan bersama dengan
aneka cemilan atau lepeng dalam bahasa daerah. Moke juga dikonsumsi bersama dengan
makanan khas flores seperti lepeng ikan kuah asam, ikan bakar, sop kambing,
pisang bakar/rebus dan sambal lemon atau sambal tomat balik. Perjamuan tersebut sering dilakukan di
luar rungan seperti di pinggir pantai, di halaman rumah dan di bawah pepohonan.
Moke juga digunakan dalam
upacara adat, seperti upacara tua kalok (upacara adat untuk beramai-ramai
meminum moke sebagai simbol pernyataan suatu kesepakatan), Roko Molas
Poco (suatu tradisi adat awal pembangunan rumah adat masyarakat Manggarai).
Sayangnya kenikmatan
moke akhir-akhir ini diganggu dengan ulah oknum yang meminumnya dengan
serampangan dan tidak bertanggungjawab, salah satu akibatnya tingkat kecelakaan
sangat tinggi terjadi di jalan raya akibat mabuk moke. Selain itu pemerintah
daerah juga kurang mendukung keberadaan moke sebagai salah satu ‘aset’ daerah,
Pemda justru mengeluarkan perda tentang perizinan, pengawasan, dan pengendalian
minuman beralkohol, perda tersebut mendapat penolakan keras dari masyarakat.
Pembuatan Moke
Proses pembuatan
penyadapan dimulai dengan menampung air bunga tandan dari pohon moke, atau
dikenal dengan moke putih.
Peralatan yang digunakan adalah pisau atau golok, bambu berbentuk tabung
berdiameter 15 cm, panjang 1 meter, dan sabuk pengaman.Pemilihan bunga
adalah bagian yang paling menentukan untuk dapat menghasilkan air mike yang
bermutu baik dan jumlahnya banyak. Kuncup bunga enau dibuka dengan menggunakan pisau atau golok
secara hati-hati. Setelah
semua tandan terbuka, lalu tandan dirundukkan dengan menggunakan tali yang
diikatkan pada pelepah daun bawah, dan dibiarkan selama 3-4 hari. Penampungan atau
penderasan air mike dapat dilakukan dengan mengiris ujung tandan bunga.Setiap
kali air diambil, bunga diiris kira-kira 0,5 cm dan air yang keluar
ditampung dengan bambu.
Penampungan atau
penderasan air mike dapat dilakukan dengan mengiris ujung tandan bunga. Sebelumnya bambu diisi dengan kapur
sirih atau daun-daun khusus untuk mencegah air agar tidak menjadi asam. Penampungan air
dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari yakni pagi dan sore hari. Dua kali
sehari mesti memanjat pohon enau dengan tinggi sekitar 19 meter. Umur pohon kira-kira
15 tahun. Setiap
pohon mikedapat menghasilkan 8-10 liter.
Air moke yang telah dikumpulkan selama
kurang lebih satu hari, kemudian diberi bawang merah yang diiris, daun kemangi,
dan daun. Sesudah
itu, moke sudah siap suguh menjadi minuman. Minuman ini memiliki aroma yang khas, dan
rasa asam sedikit bercampur agak pahit saat diminum. Jika pohon tidak menghasilkan banyak buah,
ada cara tradisi nenek moyang yang dapat memberikan hasil yang banyak. Persoalan ini
diatasi dengan penyadap tidak hanya dengan keahlian teknis namun juga dengan
cara upacara pemberian sesaji, seperti sembelih ayam. Sebab, penyadap
menyakini bahwa pohon enau memiliki ‘roh’.
Setiap peyadap mesti mengetahui akan
sisi ‘gaib’ dari pohon ini. Oleh
karena itu, pengiris memberikan sesajian. Biasanya, menyuguhkan bahan saji sebelum
pekerjaan iris bunga aren. Doa-doa mantra mengiringi sesaji itu. Nenek moyang telah
berpesan bahwa pohon enau sebagai bagian dari kehidupan. Pohon ini memberikan
berkah untuk saat ini dan masa depan
menarik sekali baru dengar minuman ini
BalasHapusAXIS