SIARAN PERS
Putusan Pansus Raperda
Minuman Beralkohol DPRD Kota Surabaya Berpotensi Melanggar UU dan HAM
Latar Belakang
Pada hari Kamis, 10 Maret 2016, Pansus
Raperda Minuman Beralkohol DPRD Kota Surabaya mengeluarkan diskresi pelarangan
total penjualan minuman beralkohol di berbagai tempat dan kawasan, termasuk
hotel dan tempat hiburan malam di kota Surabaya.
Keputusan
pansus tersebut dilakukan dengan cara voting. Voting dilakukan karena
pembahasan pansus berjalan alot. Sebagian meminta agar larangan peredaran
minuman beralkohol hanya berlaku di hypermat dan minimarket, sementara sebagian
lagi bersikukuh agar larangan peredaran mihol berlaku untuk semuanya.
Hasilnya,
enam anggota pansus sepakat agar larangan berlaku menyeluruh. Mereka adalah Edi
Rachmat (Fraksi Gabungan Handap/Hanura, Nasdem dan PPP), Mazlan Mansur (PKB),
Rio Pattisilano (Gerindra), Ahmad Zakaria (PKS), Saiful Aidi (PAN) dan Binti
Rohmah (Golkar).
Sedangkan
empat anggota lainnya membolehkan penjualan minuman beralkohol secara terbatas
seperti di hotel, bar dan restoran. Mereka adalah Baktiono (PDIP), Didik Adiono
(PDIP), Erwin Tjahyuadi (PDIP), serta Dini Riyanti (Demokrat).
Tinjauan Hukum
Keputusan (diskresi) dari pansus
Raperda Minol berpotensi melanggar Undang-Undang nomer 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (UU 30 tahun 2014).
a. Pasal 1 angka 9 UU 30/2014 disebutkan
diskresi merupakan keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi
dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau
adanya stagnasi pemerintahan. (terkait putusan final DPRD Kota Surabaya
itu patut dipertanyakan urgensi putusan itu terkait dengan perundangan
diatasnya seperti Permendag dan regulasi lain yang mengatur perdagangan minol.
Bahwa sudah ada regulasi diatasnya,--tidak terjadi kekosongan hukum--, yang
mengatur tata niaga minol dengan jelas sehingga tidak perlu mengambil keputusan
dibawahnya).
Pasal
24 UU 30/2014 yang mengatur soal kewenangan pejabat pemerintahan. Disebutkan
bahwa diskresi tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada dan
harus mendapatkan persetujuan dari atasan pejabat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Persetujuan dimaksud dilakukan apabila penggunaan
diskresi menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara [Pasal 25 ayat (1) dan (2)]
b. Putusan Pansus juga berpotensi melanggar Pasal 27
Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik; yang kemudian diratifikasi oleh Negara
Republik Indonesia melalui UU No 12 tahun 2005. Dalam UU itu, paragraf 5 ayat (1) dan 5 ayat
(2) pada Komentar Umum No.23 yang menjelaskan tentang Pasal 27 menjelaskan bahwa
mereka yang dilindungi ialah mereka yang dalam kelompok tertentu dan memiliki
kesamaan budaya, agama dan atau bahasa tidak boleh dilanggar haknya saat
bersama anggota kelompoknya mempraktikkan budaya, menjalankan agama dan bicara
dengan bahasannya. Lebih lanjut, dalam paragraf 6 ayat (2) pada Komentar Umum
juga menyatakan bahwa hak-hak minoritas harus dilindungi dari tindakan-tindakan
negara, baik itu legislative, yudikatif dan administratif, tidak terkecuali
juga orang-orang lain di dalam negara. (Surabaya merupakan kota bagi masyarakat
dengan berbagai suku dan agama, seperti Bali, Flores, dan suku lainnya)
c. Pelarangan untuk memproduksi, memperdagangkan dan
mengkonsumsi minuman beralkohol juga melanggar aspek-aspek hak asasi manusia
lainnya terutama hak atas kesehatan yang terkandung dalam Konvenan Hak-Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui UU no 11 tahun 2005. Komite PBB untuk Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam Komentar Umum nomer 14 tentang Hak atas
kesehatan menjelaskan bahwa : “ Hak atas kesehatan tidak dapat dipahami secara
sempit sebagai sebuah hak untuk sehat semata. Selain hak, hak atas kesehatan
juga melingkupi kebebasan. Kebebasan ini termasuk juga hak untuk mengendalikan
kesehatan dan tubuh sendiri…” Hal ini menunjukkan penghormatan kepada
setiap individu untuk mengkontrol tubuh dan kesehatannya sendiri, yang mana
tidak ditunjukkan dalam Raperda Pelarangan Minol di Kota Surabaya.
d.
Raperda Pelarangan
Minuman Beralkohol justru akan meningkatkan resiko kesehatan kepada masyarakat
dan mengancam nyawa seseorang akibat perdagangan oplosan. Dalam Pasal 12 ayat 2
huruf c Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengatur mengenai “pencegahan...
penyakit epidemi, endemik, akibat pekerjaan, dan lain-lain.” Dalam Komentar
Umum mensyaratkan “...pembentukan program pencegahan dan pendidikan untuk
masalah kesehatan berbasis perilaku... dan memajukan faktor-faktor sosial
daripada kesehatan yang baik...” bukannya pembentukan regulasi yang
justru memperburuk keadaan.
Oleh sebab itu kami meminta agar Walikota Surabaya, Ketua DPRD Kota Surabaya serta Pemerintah Propinsi Jawa Timur untuk meninjau ulang putusan tersebut agar tidak bertentangan dengan misi dan visi Walikota Surabaya Tri Rismaharini dalam menciptakan generasi muda kota Surabaya yang berkualitas (terlindungi dari peredaran bahaya oplosan) dan melindungi keberagaman masyarakat di kota Surabaya.
Oleh sebab itu kami meminta agar Walikota Surabaya, Ketua DPRD Kota Surabaya serta Pemerintah Propinsi Jawa Timur untuk meninjau ulang putusan tersebut agar tidak bertentangan dengan misi dan visi Walikota Surabaya Tri Rismaharini dalam menciptakan generasi muda kota Surabaya yang berkualitas (terlindungi dari peredaran bahaya oplosan) dan melindungi keberagaman masyarakat di kota Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar