Pesantren Hijau
Indonesia mendukung upaya pemberdayaan petani tradisional agar produk Indonesia
mampu diterima dan bersaing di pasar internasional. Pemerintah juga diminta
melindungi produk lokal agar mampu bersaing dalam era pasar bebas.
Demikian dikatakan oleh
Direktur Pesantren Hijau Indonesia , Muhamad Khoirul Rijal menanggapai pernyataan Forum
Petani dan Produsen Minuman Berfermentasi Indonesia (FPPMBI) agar pemerintah
membina produsen minuman beralkohol tradisional untuk pasar luar negeri. Ia mengatakan minuman Beralkohol Tradisional (MBT) asal
Indonesia, seperti arak dan sopi, layak diekspor
di Korea Selatan, sebuah negara di kawasan Asia yang telah menjalin hubungan
bilateral dengan Indonesia, termasuk program sister city dengan Walikota
Surabaya, Tri Rismaharini.
“Pemerintah harus
memberdayakan petani kepala, siwalan, singkong, tebu sebagai bahan pembuatan
etanol dengan cara melakukan pendataan hingga pembinaan terpadu agar
kualitasnya dapat bersaing dengan minuman beralalkohol tradisional luar negeri,
seperti soju, makgeolli, ginseng wine dan minuman alkohol lainnya, “ katanya
yang akrab dipanggil Gus Rijal.
Muhammad mengatakan selama
ini pemerintah dan aparatnya seringkali melakukan operasi pasar dan merazia
minuman beralkohol tradisional dalam operasi pekat. Namun hasilnya malah
memunculkan peredaran oplosan yang mengakibatkan ratusan korban meninggal
dunia.
“Razia pekat dan
operasi malam atau penertiban terhadap peredaran arak, cukrik, tuak, sopi dan
lainnya perlu dievaluasi karena tidak mendatangkan solusi, baik bagi petani
maupun masyarakat, “ kata Gus Rijal yang
juga Ketua Gerakan Penyelamat Nahdhlatul Ulama (GPNU)
Indonesia
Muhammad mengatakan
dengan pembinaan terpadu serta jaminan dari pemerintah daerah maka petani
pembuat minuman beralkohol tradisional dapat hidup sejahtera dan mendatangkan
devisa bagi negara Indonesia.
Sebelumnya, Ketua Forum
Petani dan Produsen Minuman Berfermentasi Indonesia (FPPMBI), Adi Chrisianto menyatakan
arak dan sopi tidak kalah citrarasanya dibandingkan soju dan wine ginseng asal
Korea Selatan yang banyak dijual dan digemari oleh masyarakat kelas menengah
keatas di Indonesia.
“Baik di Seoul, Jakarta
dan Surabaya, orang Indonesia mencari soju dengan harga Rp 150 ribu per 330
mililter (ml). Padahal rasanya tidak kalah dengan arak buatan petani Karangasem
Bali dan Sopi yang dijual dengan harga Rp 10 ribu – Rp 30 ribu per 330 ml, “
katanya.
Adi mengatakan
banyaknnya arak yang disita dalam razia kepolisian membuat perdagangan arak
dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga orang kelas menengah atas memilih
arak dari luar negeri dengan harga yang mahal.
“Di Korea Selatan, soju
dan minuman beralkohol tradisional banyak dijual di minimarket dan supermarket.
Sedangkan di Indonesia, arak, sopi dianggap musuh dan menjadi biang kerok dari
sejumlah kematian akibat oplosan. Padahal belum pernah ada orang mati setelah
minum arak, sopi atau soju, “ katanya.
Adi mengatakan
pembinaan itu meliputi standarisasi produksi dan kelayakan konsumsi hingga
mengawasi jalur distribusinya hingga perijinan agar tidak disalahgunakan yang
berakibat merugikan konsumen. Edukasi dan penegakan hukum pidana bagi pemabuk
dan penyalahgunaan minuman beralkohol diyakini mampu membawa arak dikenal
hingga Asia.
“Negara harus
melindungi hak atas petani mendapatkan pekerjaan yang layak. Selama ini, negara
belum memperhatikan hak – hak tersebut. Petani arak dianggap musuh dan pelaku criminal
karena dianggap menjual produk pangan illegal, “ katanya..
Padahal, kata Adi,
selama ini produsen minuman beralkohol tradisional sudah meminta agar arak,
tuak dan sopi dilegalkan penjualannya di Indonesia dan mereka mendapatkan
sertifikasi produk layak konsumsi.
nice info makasih sudah sharing yah
BalasHapusAXIS