Selain dihidangkan dalam acara tertentu
dalam komunitas masyarakat China dan Batak di Batam, bir dikonsumsi tukang ojek
di Batam yang menjadi kota etalase perdagangan dan investasi di Indonesia, hanya
untuk menjaga kesehatan dan stamina untuk memberikan kontribusi pembangunan di
kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB/FTZ).
Batam
sebagai Bandar Dunia Madani memang tidak pernah tertidur lelap. Demikian juga
halnya dengan Gordon (45), salah satu tukang ojek yang setiap malam mangkal di
depan pusat perbelanjaan di kawasan shopping center Batam City Square di Komplek Baloi Kusuma Indah, Kepri.
Tingkat
pertumbuhan ekonomi di Batam tahun 2015, yang ditergetkan mencapai 6,3 persen
hingga 6,6 persen atau lebih tinggi dari
pertumbuhan ekonomi nasional memang menjadi “magnet” bagi pencari kerja di daerah
sekitarnya.
Perkembangan
Batam sebagai salah satu tumpuan ekonomi kawasan Sumatra bahkan nasional
merupakan buah pemikiran Baharuddin Jusuf Habibie ketika menjadi Kepala Otorita
Batam pada 1978-1998. Di masa kepemimpinannya, Batam diubah dari rencana semula
sebagai pulau yang mendukung usaha Pertamina menjadi daerah industri yang
bersaing dengan negara tetangga Singapura dan Malaysia.
Pada
tahun 1989, dengan bantuan investor asal Singapura, dibangun kawasan Industri
Batamindo seluas 6.000 hektar. Hingga kini kawasan industri ini menjadi yang
terbesar di Batam.
Bagaikan
madu dan lebah, pertumbuhan ekonomi “mentereng” di Batam, yang mencapai
17 persen pada masa kepemimpinan Presiden Habibie ini kemudian mengundang siapa
saja yang ingin mencicipi manisnya madu.
Selain
investor, ribuan tenaga kerja mulai beradu nasib di Batam. Pada akhir 1990-an,
penduduk Batam mencapai sekitar 400 ribu. Padahal sebelumnya pulau Batam hanya
dihuni 6.000 penduduk yang bekerja sebagai nelayan dan penyadap karet dan damar.
Sejak
tahun 2009, ketika pemerintah meresmikan Kawasan Batam sebagai kawasan
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (free trade zone), Gordon yang awalnya
bekerja sebagai buruh industri mulai beralih profesi sebagai tukang ojek. Uang dari
hasil keringatnya dikumpulkan hingga ia mampu membeli sepeda motor untuk modal
bekerja.
Jumlah
penduduk yang terus bertambah, kini lebih dari 1,3 juta jiwa penduduk, juga
sebanding dengan pertambahan kendaraan bermotor. Data Kantor Samsat Kepri
menyebutkan sebanyak 5.000 sepeda motor baru terdaftar setiap bulannya.
Sementara kendaraan roda empat bertambah 500-600 unit tiap bulannya. Sampai
pertengahan tahun 2013, Samsat mencatat ada 776.343 unit kendaraan roda dua dan
259.843 unit ken-daraan roda empat.
Kini,
Batam tidak hanya sebagai tempat bagi industri, namun juga wisatawan. Banyaknya
pekerja asing membuat bisnis hiburan berkembang yang memancing wisatawan
mancanegara datang ke Batam. Pemerintah
pun mentargetkan pada tahun 2020 mendatang Batam akan menjadi kota metropolitan
dengan jumlah investasi kumulatif mencapai Rp.91,4 Triliun.
“Saya
hanya berpikir bagaimana esok saya masih bisa bekerja untuk menghidupi keluarga
saya, “ kata Gordon yang selain menjadi tukang ojek juga sering menjadi guide
tamu asing dari Malaysia dan Singapura.
Para
tamu asing itu, kata Gordon, biasanya mengisi waktunya usai berbisnis untuk
mencari hiburan mulai dari panti pijat, pub dan karaoke di kawasan Paradise dan
Nagoya hingga sekedar mencari makanan khas Melayu dan masakan ala China.
“Mereka
biasanya ingin minuman bir yang harganya lebih murah dibandingkan di Singapura.
Banyak tamu saya yang ke Batam hanya untuk nge-bir saja karena di negeri
seberang mahal, “ katanya.
Bir,
kata Gordon, bukanlah minuman yang digemari oleh remaja di Batam. Para
anak-anak muda yang berkantong tebal lebih memilih beli minuman berakohol jenis
wiski di free duty. Sedangkan kalau anak muda yang berkantung minim lebih
memilih anggur merah dan arak putih yang dibeli eceran.
“Kalau
bir dianggap merusak generasi muda karena memabukkan itu salah kaprah. Anak muda
disini kalau mabuk ya pakai anggur merah dan arak putih yang kadar alkoholnya
lebih tinggi, “ katanya.
Bir
sendiri kata Gordon, banyak diminum oleh orang dewasa.
“Saya
sendiri minum bir untuk menjaga stamina dan kesehatan. Kita ini soalnya
kerjanya hampir 24 jam. Kalau bir membuat mabuk, wah saya tidak bisa bekerja, “
katanya.
Bir
juga biasanya disajikan dalam acara Pekkong dan Bona Taon yang sudah menjadi
tradisi di Kepulauan Riau.
Yekti
(27), salah satu terapis asal Subang di salah satu panti pijat refleksi mengatakan
biasanya tamu meminta satu botor bir untuk penghangat badan, bukan untuk
mabuk-mabukan.
“Saya
sendiri heran mengapa Pemerintah pusat membuat regulasi pelarangan menjual bir
di minimarket dan pedagang eceran dengan alasan bir memabukkan dan merusak
generasi muda. Seharusnya sebelum dibuat aturan turun dahulu di lapangan sambil
saya pijat, “ katanya.
Anggota
Komite IV DPD RI, Heripinto Tanuwidjaja meminta agar Menteri Perdagangan
Rachmad Gobel meninjau ulang Permenda no 6 tahun 2015.
“Jika
bir dilarang maka angka kriminalitas di Batam akan tinggi dan ini justru
membuat investor tidak nyaman, “ katanya.
Heripinto
mengatakan sebenarnya aturan yang lama, Permendag nomer 20 tahun 2014 sudah
efektif mengurangi impor minuman beralkohol secara illegal. Bahkan menurut
regulasi itu, pemerintah juga bisa memberikan pengawasan penjualan bir.
Sementara
itu, Anggota DPRD Batam, Hendra Asman seperti yang dikutip Koran Sindo mengatakan
penerapan regulasi Menteri Perdagangan itu akan mempengaruhi PAD Batam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar