Iphone saya berdering. Sebuah pesan singkat, -melalui whatsapp--,memberi
kabar eksekusi mati terpidana mati narkotika asal Spanyol, Rahim Agbaje akan
dilakukan pada Selasa, 28 April 2015. Benar atau tidaknya masih menunggu
konfirmasi. Kasus yang berbeda datang pada hari sebelumnya, 23 April 2015, pria
di Ciamis Jawa Barat meninggal dunia setelah mengkonsumsi oplosan. Kematian
pria berinisial R itu terus menambah korban jiwa meninggal akibat oplosan.Keduanya
merupakan korban dari kebijakan soal eksekusi mati yang dijalankan oleh
Presiden Joko Widodo dengan semangat Revolusi Mental-nya.
Tidak lama lagi, negara akan
melakukan pembunuhan yang dilegalkan. Gagal melindungi TKI dari hukuman mati
karena memang di dalam negeri yang “melegalkan” hukuman mati.
Sad but true, tulis salah satu rekan dalam Path.
Meskipun mendapatkan kecaman
dari dunia internasional, namun Presiden Joko Widodo tetap akan melanjutkan
eksekusi mati bagi terpidana narkotika tahap II.
Menteri Sosial (Mensos)
Khofifah Indar Parawansa, seperti yang dilansir okezone.com, mendukung rencana
eksekusi mati terhadap sepuluh narapidana narkoba,--termasuk Rahim Agbaje--.
Menurut dia, permasalahan eksekusi mati ini kita harus melihat dari sisi korban
yang jumlahnya banyak dan kondisinya yang memprihatinkan.
"Kalau kita melihat
korbannya sedemikian parah, jumlahnya banyak, secara ekonomi juga, jadi
dibanyak negara juga memberlakukan itu (hukuman mati). Hukum kita juga
memberikan ruang itu, apa salahnya sekarang," tutur Khofifah di Kantor PP
Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (25/4/2015).
Secara yuridis, kata dia,
eksekusi mati itu legal serta dipayungi oleh peraturan
perundang-undangan."Jadi secara yuridis itu ada legalitas karena memang
ada peraturan perundang-undangannya, keputusan hukumnya. Jaksa kan tinggal
eksekusi, lalu sekarang apa masalahnya," ujarnya.
Kabar lainnya datang dari
Hongkong. Menurut rencana, Minggu, 26 April 2015, buruh migran Indonesia (BMI)
di Hong Kong, Tiongkok, berencana menggelar aksi solidaritas terhadap Mary Jane
Fiesta Veloso, warga negara Filipina yang divonis hukuman mati di Indonesia. Selain bersolidaritas, tenaga kerja Indonesia
(TKI) juga mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk membatalkan eksekusi mati
terhadap Mary Jane yang merupakan korban perdagangan manusia (human
trafficking). Aksi tersebut, akan digelar di depan kantor Konsulat Jenderal
Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong, Minggu (26/4/2015).
Demonstrasi solidaritas itu
sendiri, diprakarsai dua organisasi massa BMI, yakni Asosiasi Tenaga Kerja
Indonesia (ATKI) dan Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) cabang Hong Kong. "Kami
akan menggelar aksi solidaritas, karena Mary Jane Veloso adalah korban
kemiskinan dan korban perdagangan manusia," tegas Muthi Hidayati, aktivis
ATKI Hong Kong, Sabtu (25/4/2015). Ia mengatakan, Mary Jane bukanlah bandar
atau pengedar obat-obatan terlarang seperti yang dituduhkan hakim-hakim di
pengadilan Indonesia.
Saat ini, Mari Jane mendekam di
LP Nusakambangan.
Di saat yang sama pula, Harian
Bangkok Post melaporkan penangkapan Jemani Ikhsan (63), Warga Negara Indonesia oleh
kepolisian Thailand di Bandar Udara Internasional Phuket atas tuduhan membawa barang
bukti 5,2 kilogram kokain. Atas kasus itu, Jemani terancam hukuman mati.
Tidak hanya Jemani, saat ini
ada 334 WNI di seluruh dunia yang terancam hukuman mati. Dari jumlah itu, 37
WNI terancam hukum qisas di Arab Saudi. Dari 37 TKI yang terancam qisas, ada
satu TKI atas nama Karni binti Medi Karsim, warga Brebes, Jawa Tengah, yang
waktu eksekusinya sudah dekat. Karni didakwa kasus pembunuhan sadis terhadap
anak berusia 4 tahun pada 2012.
Sebelumnya, Pemerintah
Indonesia melayangkan protes kepada pemerintah Arab Saudi terkait hukuman mati
terhadap dua WNi, yakni Siti Zainab binti Duhri Rupa dan Karni binti Medi
Karsim. Zainab dieksekusi di Madinah pada Selasa, 14 April 2015. Adapun Karni
dieksekusi mati di Kota Yanbu, Kamis, 16 April 2015. Menurut Kementerian Luar Negeri,
tidak ada pemberitahuan soal eksekusi mati itu kepada Indonesia.
Indonesia, melalui Kementerian
Luar Negeri, terus melakukan langkah perlindungan terhadap TKI dari ancaman
hukuman mati dari kasus beragam mulai dari pidana sihir, zinah, dan pembunuhan.
Dukungan di dalam negeri pun terus mengalir untuk para pahlawan devisa itu.
#
Di dalam negeri, korban
oplosan terus bertambah, meskipun pihak aparat sudah melakukan berbagai cara
melakukan razia penjualan minuman beralkohol di warung-warung pasca
pemberlakukan Peraturan
Menteri Perdagangan No
06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol. Inti dari
peraturan itu menyasar ke pelarangan penjualan bir di tingkat pedagang eceran.
Kebijakan pelarangan minuman beralkohol
(meskipun bir bukan menjadi pilihan pesta mabuk-mabukan) pastilah akan sangat populer di Indonesia dimana
jumlah ‘kaum pengharaman’ (orang-orang yang menganggap pelarangan sebuah
komoditas sebagai satu-satunya cara mengatasi persoalan) ditaksir cukup besar.
Padahal tidak ada kaitan langsung antara korban oplosan dengan larangan menjual
bir. Justru pelarangan menjual bir, yang tidak semua daerah di Indonesia
terdapat jaringan supermarket dan hipermarket, akan menimbulkan semakin
banyaknya korban tewas akibat oplosan.
Jadi hingga kini, belum ada
cara efektif menekan korban tewas akibat oplosan
Padahal telah terbukti bahwa perang terhadap
narkoba sejak 1971 belum juga bisa dimenangkan; hukuman matipun tidak
menyurutkan orang untuk berbisnis narkoba di berbagai pelosok dunia; pelarangan
alkohol di Amerika 1919-1933 justru meningkatkan angka pembunuhan dan maraknya
gangsterime di sana.
Nampaknya jalan inilah yang akan ditempuh oleh pemerintahan yang entah bagaimana seperti kehilangan kepercayaan dirinya padahal kepresidenannya disambut dengan kegembiraan dan suka cita oleh rakyat. Jika memang demikian, maka Bangsa Indonesia perlu bersiap untuk menyambut kelahiran Pablo Escobar dan Alcapone-Alcapone baru di negeri yang kita cintai ini.
Nampaknya jalan inilah yang akan ditempuh oleh pemerintahan yang entah bagaimana seperti kehilangan kepercayaan dirinya padahal kepresidenannya disambut dengan kegembiraan dan suka cita oleh rakyat. Jika memang demikian, maka Bangsa Indonesia perlu bersiap untuk menyambut kelahiran Pablo Escobar dan Alcapone-Alcapone baru di negeri yang kita cintai ini.
Dalam pidato diskusi publik di Universitas Nasional (Unas), Mantan Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudoyono mengomentari revolusi mental yang kerap diusung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) . Menurutnya, terdapat perbedaan makna yang diutarakan Jokowi dengan Karl Marx.
"Revolusi mental pernah
hidup pada masa Karl Marx, itu ajaran fundmental marxisme. Revolusi Marx
bertumpu pada perubahan mental kaum proletar menjadi kaum progresif. Sedangkan
yang dimaksud Pak Jokowi sebenarnya tidak sama dengan Marx, Pak Jokowi ingin
mengubah karakter building masyarakat Indonesia tanpa pertumpahan darah, dan
itu saya setuju," katanya seperti yang dikutip dalam okezone.com, Sabtu
(25/4/2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar