Usai talkshow di salah satu radio swasta di Surabaya bersama Melanie
Soebono, Steven “Jam” Nugraha Kaligis dan Sarah Sidharta dari Komunitas Anti
Oplosan, saya kembali teringat dengan sebuah kota di Inggris bernama Islington.
Ya kota ini menjadi inspirasi bagi saya
dan beberapa rekan saya, memulai “berkampanye” melawan oplosan.
Oleh : Rudhy Wedhasmara
*Pendiri organisasi nirlaba
untuk penanganan narkotika, psikotripika dan obat terlarang Empowerment and
Justice Action
Puluhan tahun silam, ketika
saya masih terperangkap dalam jerat narkotika, Charlie George, salah satu pemain
Arsenal tahun 1966 yang menjadi salah satu tokoh ikonik The Gunners bukan sosok yang saya kenal.
Nama Charlie, yang anak “asli” di Islington,
London dan dibesarkan di kawasan dekat stadion Highbury Arsenal itu mencuat di sebuah ulasan
majalah olahraga tepat ketika saya ingin meninggalkan dunia kelam saya, yang
tidaklah mudah tetapi butuh sebuah perjuangan keras.
Charlie sendiri bukanlah striker
bertipe bomber seperti Ian Wright atau Thierry Henry. Torehan golnya untuk
Arsenal ‘hanya’ 49 gol dari 179 pertandingan. Sebuah ukuran biasa dibanding
nama beken lainnya seperti Messi atau Christian Ronaldo. Apalagi Charlie pun tak
termasuk dalam laskar agung Arsenal Centurions, pemain-pemain yang berhasil
menorehkan 100 gol untuk Arsenal.
Tetapi, kala itu, Gooners, --sebutan
pendukung Arsenal--, Charlie dengan tubuh jangkung, rambut gondrong sebahu dan
jambang lebat itu jauh dikenal dengan julukan “The
King Highbury”. Meskipun aksi Charlie sering kontraversial di lapangan
hijau, namun julukan itu diberikan karena ia dianggap mewakili harapan
anak-anak muda, “raih cita-citamu setinggi langit”.
Memang Charlie bukan
satu-satunya alasan untuk saya lepas dari sebuah jerat, memulai mengejar mimpi
saya yang tertinggal. Banyak orang yang berjasa lainnya dalam kehidupan saya. Bagi
saya, apa yang diberikan oleh Charlie saat itu ialah sebuah harapan yang mampu
merubah kehidupan.
Menteri Perdagangan Rachmad
Gobel juga merupakan sosok yang memberikan harapan bagi generasi muda bangsa. Untuk
melindungi generasi muda bangsa dan moral bangsa karena dampak minuman
beralkohol, Menteri Gobel pada 16 Januari 2015 mengeluarkan Peraturan Menteri
Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan
Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Aturan itu melarang penjualan
minuman beralkohol dibawah 5 persen dijual di minimarket. Dengan keluarnya
aturan ini, pebisnis minimarket wajib menarik minuman beralkohol jenis bir dari
gerai minimarket miliknya paling lambat tiga bulan sejak aturan ini terbit.
Masalah minuman beralkohol, sama dengan masalah narkoba, adalah komoditas yang
‘diharamkan’ meskipun perdagangan minuman beralkohol diatur dalam Pasal
2 UU Perdagangan. Namun sekeras apapun pemberantasannya masih
tetap saja banyak orang yang mengonsumsinya. Sifat haram komoditas-komoditas
inilah yang kemudian dipertegas sebuah pemerintahan untuk memperkuat
legitimasinya. Kebijakan pelarangan minuman keras dan narkoba pastilah akan
sangat populer di Indonesia dimana jumlah ‘kaum pengharaman’ (orang-orang yang
menganggap pelarangan sebuah komoditas sebagai satu-satunya cara mengatasi
persoalan) ditaksir cukup besar.
Keluarnya Permendag ini ibaratnya
seorang sakit kepala tetapi diberikan obat sakit perut. Pembatasan dan
pelarangan yang diatur dalam sejumlah regulasi tidak berhubungan dengan upaya
menanggulangi bahaya oplosan yang sering memakan korban jiwa.
Padahal oplosan telah
merenggut puluhan korban jiwa. Setiap hari, tangisan keluarga korban oplosan
menjadi kisah tragis yang menghiasi koran dan televisi. Sementara banyak pihak
masih menyalah-tafsirkan antara oplosan dengan minuman beralkohol, sehingga kemudian
melahirkan sejumlah regulasi pelarangan dan pembatasan penjualan minuman
beralkohol legal di sejumlah daerah. Tercatat sejak tahun 2013 hingga saat ini
tercatat telah terbit 147 peraturan daerah baru yang melarang dan membatasi
penjualan minuman keras beralhokol, namun justru tidak menurunkan angka
kematian akibat konsumsi oplosan di Indonesia, yang menurut Gerakan Anti Miras
(Genam) mencapai 18 ribu kematian tiap tahunnya.
Seperti yang dilansir oleh Bloomberg,
dalam laporan berjudul Beer Today, Gone Tomorrow, Muslim Indonesia Curbs Ale
Sales, Muhammad Ali, profesor studi
Islam di University of California, mengaitkan munculnya larangan menjual bir di
minimarket tersebut dengan semakin nyaringnya suara kalangan konservatif yang
memberi kesempatan kepada para politisi populis Islam maupun politisi sekular
memperalatnya untuk meningkatkan legitimasi. Ia mengatakan Kebijakan itu ialah penerapan
hukum Syariah secara perlahan tetapi
stabil, dengan menggunakan cara-cara legal dan konstitusional.
Jadi apakah regulasi itu mampu
memberikan harapan yang lebih baik ?
Selain menjadi tempat yang
melahirkan harapan, Islington London juga menjadi harapan sekaligus tempat yang
membawa pengaruh dalam dunia kesenian di dunia. Di kota itu, lahir istilah
musik jalanan (streets singers) yang
juga banyak mempengaruhi seniman-seniman musik mulai dari The Beattles hingga
musisi di tanah air seperti Gombloh dan lain-lain.
Berbicara soal musik, selain
Melanie Soebono dan Steven “Jam” Nugraha Kaligis bersama Komunitas Anti Oplosan,
ada beberapa rekan musisi lain yang ikut berkampanye melalui sejumlah kegiatan
bermusik mereka. Doddy “Mr D” Hernanto, misalnya, gitaris yang mempopulerkan tehnik
open tuning guitar, juga berniat mengkampanyekan anti oplosan, di setiap
penampilan panggungnya dan di beberapa sekolah musik di Indonesia.
Dengan ketrampilannya
memainkan open tuning guitar, yang populer
sejak sekitar 1920 oleh musisi gitar asal Amerika dan Afrika (Tehnik yang memungkinkan
pemain gitar mampu menghasilkan satu nada dengan satu jari, tanpa susah
membentuk grap), ditambah kemampuan kreatifnya di bidang musik, Mr D juga
berencana membuat beberapa rekaman lagu anti oplosan. Untuk produksi rekaman
ini, Mr D tidak membutuhkan fasilitas studio musik yang mahal, melainkan hanya
cukup dengan peralatan tehnologi dan iphone. Rekamannya pun dapat dilakukan
dimana pun tempatnya.
Sebelum mengakhiri sesi
talkshow di salah satu radio swasta malam itu, Melanie menyanyikan sebuah lagu
berjudul “Dia Sahabat”.
“Ku bernyanyi disini
Lagu khusus untukmu sahabatku
Terkadang lebih dari kekasih
Lebih mengenal aku sahabatku
Dialah sahabatku
Ada kapanpun itu.....”
Sahabat, teman bagi saya
sendiri juga mampu memberikan harapan. Semoga...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar