Cari

Minggu, 21 Februari 2016

Dimensi Hukum dan Kebijakan Publik Pelarangan Minuman Beralkohol

Ali Munhanif
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri  Syarif Hidayatullah Jakarta


Pemberitaan mengenai korban minuman beralkohol selalu menghiasi media massa. Selama satu dasawarsa, heboh mengenai desakan kuat sebagian masyarakat untuk melarang bahkan memidanakan minuman beralkohol mewarnai pemberitaan soal kehidupan kota-kota di tanah air, lantaran efek negatif yang ditimbulkannya.

Oplosan dengan berbagai macam produksi dan tingkat kadar alcohol telah menewaskan ratusan remaja di kota-kota besar Indonesia. Merespon fenomena ini, banyak daerah, baik pada tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota, rame-rame menerbitkan UU menganai pelarangan miras atau minuman keras. Kasus yang terakhir adalah tewasnya 26 remaja—sebagian mahasiswa—di Yogyakarta akibat mengkonsumsi oplosan.

Kecenderungan masyarakat untuk melulu menampilkan sisi hitam dari miras ini bisa dipahami. Tetapi hal itu tidak serta merta menghalangi kita untuk melihat bagaimana persoalan miras ini dicarikikan solusinya dalam menyikapi berbagai tuntutan masyarakat yang memang menghendaki pola hidup urban.

Sikap dan pandangan kita tentang kerumitan ini didasarkan pada jaminan UUD bahwa, pada hakekatnya setiap warga negara berhak untuk mendapatkan lingkungan  hidup yang baik dan sehat. Jaminan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat ini telah secara tegas dinyatakan dalam ketentuan Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang berbunyi: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Pengaturan Miras dalam UU
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat dilaksanakan dan dipenuhi dengan jalan pendidikan dan penyadaran tentang pembangunan kesehatan yang berkesinambungan, menyeluruh, terarah, dan terpadu yang merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Pemerintah melalui program pembangunan kesehatan memiliki tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi- tingginya. Salah satu upaya untuk mencapai tujuan ini adalah melalui pengaturan, pengendalian, dan pengawasan minuman beralkohol. 

Sudah beberapa kali pemerintah menerbitkan UU atau Peraturan untuk mengendalikan produksi, distribusi dan konsumsi minuman beralkohol. Pengaturan mengenai minuman beralkohol saat ini telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari tingkat undang-undang sampai pada tingkat peraturan daerah. Di tingkat Undang-undang atau Peraturan Pemerintah, pengaturan minuman beralkohol memang tidak disebutkan secara spesifik dan tidak mendelegasikan pengaturan minuman beralkohol diatur lebih lanjut dengan undang-undang, yakni hanya dikategorikan sebagai “minuman” atau “pangan olahan”, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Pasal 111 dan 112), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Pasal 86, 89, 90, 91, 97, 99, dan 104), dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan.

Pada tingkat peraturan di bawah UU telah ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M DAG/ PER/12/2010 sebagai Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 43/M- DAG/PER/9/2009 tentang Ketentuan Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, serta Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 71/M-IND/PER/7/2012 tentang Pengendalian dan Pengawasan Industri Minuman Beralkohol (yang di dalamnya juga mengatur mengenai minuman beralkohol tradisional).  Pengaturan spesifik mengenai minuman beralkohol diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.

Peraturan Presiden ini diterbitkan menyusul Putusan Mahkamah Agung Nomor 42P/HUM/2012 tanggal 18 Juni 2013 yang menyatakan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol sebagai tidak sah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam Perpres ini Minuman Beralkohol dikelompokkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu: a. Minuman Beralkohol Golongan A adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanil (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan 5%; b. Minuman Beralkohol golongan B adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 5% - 20%; dan c. Minuman Beralkohol golongan C yaitu minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 20% - 55%.

Menurut Pepres ini, Minuman Beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri hanya dapat diproduksi oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin usaha industry dari Menteri Perindustrian. Adapun Minuman Beralkohol yang berasal dari impor hanya dapat diimpor dari pelaku usaha yang memiliki izin impor dari Menteri Perdagangan. Peredararan Minuman Beralkohol itu hanya dapat dilakukan setelah memiliki izin dari Kepala

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). “Minuman Beralkohol hanya dapat diperdagangkan oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin memperdagangkan Minuman Beralkohol dari Menteri Perdagangan,” bunyi Pasal 4 Ayat (4) Perpres ini. Ditegaskan dalam Perpres ini, Minuman Beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri atau asal impor harus memenuhi standar mutu produksi yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian, serta standar keamanan dan mutu pangan yang ditetapkan oleh Kepala BPOM.

Melalui Perpres ini, Presiden memerintahkan Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap produksi, peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol Tradisional untuk kebutuhan adat istiadat atau upacara keagamaan di wilayah kerja masing-masing Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian dan pengawasan Minuman Beralkohol akan diatur oleh menteri/kepala lembaga sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

Yang paling mutakhir adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015. Peraturan ini dibuat dengan tujuan  mempersulit masyarakat terutama anak-anak muda dalam menjangkau minuman keras. Namun demikian, peraturan tersebut tidak menjawab realita atas keinginan anak-anak muda untuk mengonsumsi alkohol.

Sejumlah Persoalan UU Miras 
Satu hal yang harus disadari dalam proses perumusan UU itu adalah seberapa jauh masyarakat melalui berbagai sarana kelembagaan terlibat dalam rumusan itu. Satu hal: minuman beralkohol telah menjadi bagian budaya dan kehidupan dari masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari keberadaan beberapa minuman beralkohol lokal, baik untuk kepentingan rekreasional maupun ritual, seperti tuak Batak, arak Bali, sopi dari Maluku, moke dari NTT, dan lain sebagainya. Tentu fenomena ini tidak boleh kita ingkari, belum lagi mengingat bahwa cara membuat dan penggunaan minuman beralkohol lokal tersebut telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Disadari bersama bahwa produksi, distribusi, dan konsumsi minuman beralkohol dari dan oleh sekelompok masyarakat tertentu tidak dapat sepenuhnya dilarang mengingat kondisi kebhinekaan Negara kita  serta sebagai informasi pada 2012 lalu, pendapatan negara dari tarif cukai minuman yang mengandung etil alkohol mencapai Rp 3,2 triliun, sementara pendapatan dari etil alkohol dan etanol sebesar Rp 123 miliar. Adapun cukai minuman yang mengandung alkohol memberikan kontribusi 3,84 persen dan cukai etil alkohol menyumbang 0,14 persen (Setkab), namun perlu diawasi dan dikendalikan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan dari minuman beralkohol, baik kepada lingkungan maupun kelompok masyarakat lainnya.

Pada tingkat inilah, semakin terlihat bahwa pertimbangan utama untuk menerbitkan UU yang mengatur bahkan yang melarang minuman beralkohol tadi lebih didorong oleh ketidak siapan kita menghadapi tantangan budaya kehidupan urban. Begitu emosionilnya kita menghadapi serangan budaya urban ini, setiap kalai mendengan kata alcohol, segera muncul desakan untuk melarangnya. Padahal, yang perlu dilakukan adalah mengendalikan dan melakukan pengawasan atas berbagai dampak negative minuman beralkohol.

Di sini, di satu sisi, kepentingan masyarakat untuk hidup sejahtera lahir dan bathin, tempat tinggal dan lingkungan yang baik dan sehat yang terbebas dari dampak negative minuman beralkohol, perlu diakui, dijamin, dilindungi, dan diberi kepastian hukum melalui undang-undang.  Tetapi di sisi lain, sebagai bentuk keadilan dan perlakukan yang sama di hadapan hukum yang diberikan oleh Negara, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 

Oleh karena itu, demi kepentingan bangsa yang lebih luas serta didasari oleh pengetahuan bersama bahwa minuman beralkohol pada dasarnya merupakan suatu bentuk gangguan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat, maka secara filosofis, pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol, selain sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia Pasal 28H ayat (1), juga merupakan bagian dari pemenuhan tujuan bernegara yang termaktub dalam UUD 1945.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 yang dibentuk dengan tujuan  mempersulit masyarakat terutama anak-anak muda dalam menjangkau minuman keras tidak menjawab realita atas keinginan anak-anak muda untuk mengonsumsi alkohol. Tampaknya langkah pengendalian dan pengawasan tadi untuk mengurangi dampak negatifnya dalam kehidupan masyarakat. Sehingga, pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol dilakukan pada semua level mata rantainya, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. Pengaturan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) ini didasari pemikiran bahwa dampak dari minuman beralkohol ternyata tidak hanya disebabkan dari aspek penggunaan/ konsumsinya saja (hilir), tetapi terutama adalah produksi dan distribusinya (hulu).

Pengaturan pengendalian dan pengawasan juga diterapkan terhadap semua jenis minuman beralkohol baik import maupun local, baik local yang diproduksi secara masal di pabrik modern maupun yang diproduksi secara tradisional.  Pengaturan dari sisi produksi meliputi pengendalian dan pengawasan terhadap perizinan, kuota produksi, kendali mutu sampai kepada bahan baku dari minuman beralkohol itu sendiri. Pada pengaturan dari sisi produksi ini diharapkan akan terjadi proses pengawasan yang ketat pada tahap produksi, sehingga,  selain akan berdampak kepada unsur keamanan (safety), juga yang penting adalah dapat dikendalikan dalam jumlah produksinya.

Pembatasan kuota produksi dinilai penting untuk diatur agar tidak terjadi oversupply dan penggunaan produk akhir minuman beralkohol yang meluas guna melindungi masyarakat. Demikian pula dalam konteks pembatasan perizinan baik terhadap izin lama yang perlu dievaluasi maupun izin baru dengan syarat-syarat yang ketat. Misalnya, dengan mengarahkan produksi minuman beralkohol dalam negeri kepada orientasi ekspor guna mengurangi impor dan peredaran minuman beralkohol di dalam negeri. Hal ini juga sebagai bentuk pengendalian dari sisi produksi.

Pengaturan dari sisi distribusi meliputi pengendalian dan pengawasan dalam rantai distribusi minuman beralkohol yang meliputi pengaturan izin dan wilayah distribusi, yang melibatkan pihak-pihak mulai dari distributor, sub- distributor, sampai kepada pengecer. Pengaturan pada tahap distribusi merupakan ruh dari RUU ini yang menjadi ujung tombak paling depan dalam pengendalian peredaran minuman beralkohol yang merupakan tujuan dari dibuatnya UU ini. Hal ini disebabkan karena pada tahap distribusi ini terdapat mata rantai yang dapat melakukan penjualan langsung kepada konsumen yaitu pengecer. Dengan pengaturan pengendalian dan pengawasan yang ketat terhadap pengecer diharapkan akan efektif menangkal dampak negative minuman beralkohol, baik terhadap konsumen itu sendiri maupun lingkungan sekitar.

Oleh karena itu dalam UU ini dibatasi secara ketat terhadap izin dan cakupan wilayah peredaran minuman beralkohol. Demikian pula pengaturan dari sisi konsumsi/penggunaan yang meliputi antara lain pengawasan dan pengendalian bagi pembeli/konsumen maupun pembatasan jumlah/kuantiti produk dengan pemberlakuan persyaratan yang ketat. Tak kalah pentingnya juga pengendalian dan pengawasan terhadap promosi/iklan minuman beralkohol  baik di media cetak maupun elektronik.

Untuk mengefektifkan pelaksanaan pengawasan dan pengendalian terhadap minuman beralkohol juga diatur pembinaan dan pengawasan terhadap para pihak/stakeholder yang terlibat dalam seluruh siklus/mata rantai minuman beralkohol. Juga ditetapkan sanksi administrative dan sanksi pidana yang berat bagi yang melanggar ketentuan dalam UU ini sebagai efek penjeraan. UU Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol ini memberikan kepastian hukum tidak hanya bagi para pelaku industri minuman beralkohol dan otoritas yang berwenang, tetapi juga kelompok masyarakat yang tidak terlibat sebagai pengguna/konsumen dalam memperoleh hak-haknya untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. 

Untuk mengatasi dampak negatif terhadap minuman beralkohol peranan  negara dalam  menciptakan  lingkungan yang  bersih dari penyalahgunaan   alkohol   menjadi   sangat   vital.   Bentuk   peraturan/regulasi tentang minuman beralkohol, serta pelaksanaan yang   tegas, menjadi kunci utama penanganan masalah alkohol ini. Pengaturan,  pengendalian,  dan pengawasan terhadap minuman beralkohol masih tersebar di banyak peraturan perundang-undangan dan masih bersifat sektoral, dan parsial, sehingga  untuk memberikan arah, landasan, dan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam produksi, distribusi, pengendalian serta pengawasan minuman beralkohol diperlukan pengaturan yang komprehensif  dalam suatu Undang-Undang yang mengatur mengenai Minuman Beralkohol.

Namun demikian, bila diamati secara seksama, peraturan ini justru menimbulkan permasalahan tumbuhnya pasar gelap dan konsumen tang tak terkendali, khususnya dalam bentuk produksi dan pengkonsumsian alkohol oplosan. Karena dengan sulitnya alkohol untuk dijangkau di mini market, anak-anak muda bahkan masyarakat pada umumnya akan beralih ke alkohol oplosan. Hal ini akan meningkatkan risiko keracunan atau bahkan kematian.  

Maka, Peraturan Menteri ini paling sedikit telah melanggar aspek-aspek hak asasi manusia terutama hak atas kesehatan yang terkandung dalan Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial & Budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005.  Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Komite Ekosob)6, melalui Komentar Umumnya Nomor 14 tentang Hak atas Kesehatan, menjelaskan bahwa: “Hak atas kesehatan tidak dapat dipahami secara sempit sebagai sebuah hak untuk menjadi sehat semata. Selain hak, hak atas kesehatan juga melingkupi kebebasan. Kebebasan ini termasuk juga hak untuk mengendalikan kesehatan dan tubuh sendiri…” Hal ini menunjukkan penghormatan kepada setiap individu untuk mengontrol tubuh dan kesehatannya sendiri, yang mana tidak ditunjukan oleh Peraturan Menteri ini. 

Lebih dari itu, Komentar Umum No 14 tentang Hak atas Kesehatan tersebut juga menyuratkan betapa pentingnya untuk menciptakan kondisi yang mendukung perlindungan terhadap kesehatan untuk mencapai standar kesehatan tertinggi. Keberadaan Peraturan Menteri ini justru menciptakan situasi yang sebaliknya. Pasal 12 ayat 2 huruf c Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengatur mengenai “pencegahan… penyakit epidemi, endemik, akibat pekerjaan, dan lain-lain.” Komentar 14 mensyaratkan “…pembentukan program pencegahan dan pendidikan untuk masalah kesehatan berbasis perilaku… dan memajukan faktor-faktor sosial daripada kesehatan yang baik…” bukannya pembentukan regulasi yang justru memperburuk keadaan. 

Dengan demikian, Peraturan Menteri Perdagangan No 06/M-DAG/PER/1/ 2015 memiliki kerancuan berpikir yang mendasar mengenai menjauhkan anak-anak dari alkohol dengan cara tidak lagi menjualnya di mini market. Padahal sebelumnya sudah ada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M- DAG/PER/4/2014, yang menyatakan bahwa pembelian minuman beralkohol hanya dapat diberikan kepada konsumen yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih dengan menunjukkan kartu identitas kepada petugas/pramuniaga.


Penjual Langsung yang melanggar aturan ini dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB), Surat Keterangan Pengecer Minuman Beralkohol Golongan A (SKP-A), Surat Keterangan Penjual Langsung Minuman Beralkohol Golongan A (SKPL-A) dan/atau izin teknis.12 LBH Masyarakat memandang bahwa kebijakan pembatasan umur untuk konsumsi lebih tepat karena tetap memberikan ruang bagi masyarakat – khususnya mereka yang sudah dewasa - untuk mengakses alkohol.

Kamis, 18 Februari 2016

Oplosan Bukan Minuman Tapi Racun

Masih banyak yang salah sebut. Oplosan dituliis: MIRAS OPLOSAN. Padahal Oplosan yang menyebabkan kematian itu adalah RACUN yang tidak layak untuk dikonsumsi. Akibat penyebutan kata miras oplosan itu, setiap ada korban jiwa, petugas merazia berbagai minuman beralkohol berbagai jenis yang justru layak untuk dikonsumsi dan layak edar.

*Disampaikan oleh  Adi Chrisianto,  Ketua Forum Petani dan Produsen Minuman Berfermentasi Indonesia dalam Seminar Kajian Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelarangan Minuman Beralkohol di Universitas Gajah Mada, 11 Februari 2016 yang diadakan oleh Forum MBB dan Student Society.

Masih tercatat di memori kita akan tragedi 25 korban tewas akibat oplosan di Yogyakarta, awal Februari 2016 lalu. Hati tambah teriris mengetahui mayoritas korban ialah mahasiswa yang notabene dari kalangan intelektual. Jika dahulu racun oplosan dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah yang mengidentifikasi dirinya seperti masyarakat kelas atas dalam mengkonsumsi minuman beralkohol di bar, kini justru oplosan “naik kelas”.

Harga racun oplosan “Banyu Gendheng” yang dikonsumsi korban di Yogyakarta Rp 25 ribu per botol (330 mililiter). Harga ini jauh lebih mahal (naik) dibandingkan dengan oplosan “Cherrybelle” yang  beredar di Jawa Barat dan menewaskan puluhan korban akhir 2014 silam. Harga racun oplosan “Cherrybelle” Rp 10 ribu per 330 mililiter.

Harga Banyu Gendheng dan Cherrybelle ini sebenarnya juga mengalami kenaikan harga di pasaran. Sebelumnya harga oplosan di pasaran, seperti Lapen Sarjito (ciu dicampur obat antibiotik kadaluwarsa) hanya dijual Rp 5 ribu – 7 ribu per 330 mili liter.

Kenaikan harga oplosan yang beredar di pasaran sebenarnya sudah disampaikan Om Sagita dalam lirik lagu berjudul “Turunkan Harga Oplosan”. Dalam facebook, Om Sagita menyatakan bahwa lagu genre dangdut  itu dicekal oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Jatim.

Yen dilarang ora bakal ono sing dodolan (kalau dilarang tidak ada yang jualan), najan saiki oplosan regane larang (meskipun sekarang oplosan harganya mahal)”

Demikan lirik lagu itu.

Jika dibandingkan dengan harga minuman beralkohol tradisional, harga tuak dan arak yang terbuat dari proses fermentasi kelapa, siwalan dan singkong tidak pernah berubah (tidak pernah mengalami kenaikan tiap tahunnya seperti halnya oplosan). Harga tuak di Tuban misalnya, sejak lima tahun lalu hingga saat ini hanya Rp 5 ribu per 750 miili liter (ml).  Demikian pula dengan arak Bali, per tahun 2016 harga arak Bali dipatok Rp 10 ribu per 750 ml.

Merujuk pada perspektif pasar, dimana dalam hukum penawaran disebutkan “Semakin tinggi harga, semakin banyak jumlah barang yang bersedia ditawarkan. Sebaliknya semakin rendah tingkat harga, semakin sedikit jumlah barang yang bersedia ditawarkan “ maka dapat disimpulkan konsumen lebih memilih oplosan dibandingkan tuak dan arak, meskipun minuman beralkohol tradisional menawarkan harga yang lebih murah.

Minuman beralkohol sebenarnya sudah menjadi bagian dari masyarakat di Indonesia. Dalam kitab Negarakertagama, misalnya yang dibuat pada zaman Kerajaan Majapahit menjelaskan, minuman beralkohol sudah menjadi bagian dari perjamuan agung di keraton.  Apalagi setelah panen raya tiba, raja akan membuka perayaan upacara dengan menyuguhkan arak (minuman lokal) dari hasil fermentasi beras terbaik dengan dosis alkohol tinggi.

Pada awalnya minuman beralkohol dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat tetapi sekarang agak sedikit sulit bagi golongan bawah karena ada kenaikan harga akibat regulasi cukai terhadap minuman beralkohol pabrikan. Dampak kenaikan harga minuman beralkohol bermerek membuat konsumen strata sosial bawah mencari minuman beralkohol alternatif yang dapat dijangkau oleh ekonomi bawah, seperti ciu, arak dan tuak.

Maraknya sejumlah razia pekat yang dilakukan petugas terhadap tuak, arak dan ciu membuat produk ini semakin langka di pasaran. Padahal menurut UU nomer 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Bab I), minuman beralkohol tradisional merupakan makanan atau minuman hasil proses dengan cara dan metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.

Hanya karena terganjal kendala permodalan usaha untuk mengurus ijin  edar, termasuk uji labolatorium seperti yang diatur dalam UU nomer 7 Tahun 1996 tentang Pangan membuat arak, tuak dan ciu dirazia karena tergolong produk illegal, seperti halnya rokok tanpa cukai.

Minuman Beralkohol tradisional juga bukanlah produk minuman yang tercemar, sesuai dengan yang diatur dalam UU Pangan mengenai kandungan bahan beracun. Hingga kini, belum pernah ditemukan orang yang meninggal akibat keracunan minum tuak dan arak.

Dalam tesis berjudul Air Api di mulut Ciliwung : Sistem Produksi dan Perdagangan Minuman Beralkohol di Batavia tahun 1873 – 1898 yang dilakukan mahasiswa pasca sarjana jurusan Sejarah Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Yusana Susanti menyebutkan oplosan sendiri sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Kolonial Belanda tahun 1873. Pada tahun itu, Pemerintah Kolonial Belanda melakukan intervensi besar-besaran terhadap system produksi, distribusi, ekspor-impor dan seluruh aktifitas terkait konsumsi minuman beralkohol.

Namun pada tahun 1898, regulasi itu pun dicabut karena pengawasan yang ketat itu menyebabkan dampak perdagangan oplosan dan minuman beralkohol illegal. Beberapa tahun kemudian, di Amerika Serikat melahirkan Alcapone dan mafia sebagai akibat regulasi pelarangan minuman beralkohol.

Untuk menekan korban racun oplosan, edukasi memerankan peranan yang penting di masyarakat khususnya generasi muda. Pemerintah juga seharusnya memberikan pembinaan kepada produsen arak dan tuak serta minuman beralkohol tradisional lainnya agar mampu bersaing dengan minuman beralkohol tradisional dari negara lain dalam era perdagangan bebas, seperti Soju dari Korea dan Sake dari Jepang.   

Produk arak asal Indonesia, Arak Batavia yang diproduksi di Jakarta pernah menjadi lagenda di Asia hingga Karibia. Banyak bangsa-bangsa, termasuk Marcopolo belajar mengenai tehnik fermentasi dari masyarakat Indonesia.

Selain itu diperlukan adanya riset yang bisa menjadi dasar terhadap regulasi dalam menangani penyalahgunaan minuman beralkohol. Jangan sampai regulasi yang ada saat ini, seperti RUU Pelarangan Minuman Beralkohol justru meningkatkan konsumsi oplosan.

Dalam teori perilaku konsumen, Philip Kotler dan Garry Armstrong (1996) menyebutkan keputusan konsumen dalam memilih produk dipengaruhi oleh faktor kebudayaan, sosial, pribadi dan psikologi.

Dari sisi budaya, sejumlah peraturan daerah yang melarang penjualan minuman beralkohol membuat minimnya edukasi tentang pengurangan dampak buruk dari minuman beralkohol. Akibatnya banyak generasi muda “melarikan diri untuk mencari pelepasan” dari budaya asli yang ada di masyarakat.

Masalah sosial lainnya yang ada di masyarakat, seperti masalah pengangguran hingga kompleksitas tata ruang perkotaan mempengaruhi psikologis generasi muda ; untuk mengkonsumsi oplosan yang bahannya sulit diterima oleh akal sehat.

Bagaimana mungkin orang yang sehat mengkonsumsi bahan kimia berbahaya, seperti autan, obat serangga, dan lainnya jika tidak sedang mengalami gangguan kejiwaan ?


Mari Lawan Oplosan. Oplosan bukanlah Minuman.