Cari

Kamis, 18 Februari 2016

Oplosan Bukan Minuman Tapi Racun

Masih banyak yang salah sebut. Oplosan dituliis: MIRAS OPLOSAN. Padahal Oplosan yang menyebabkan kematian itu adalah RACUN yang tidak layak untuk dikonsumsi. Akibat penyebutan kata miras oplosan itu, setiap ada korban jiwa, petugas merazia berbagai minuman beralkohol berbagai jenis yang justru layak untuk dikonsumsi dan layak edar.

*Disampaikan oleh  Adi Chrisianto,  Ketua Forum Petani dan Produsen Minuman Berfermentasi Indonesia dalam Seminar Kajian Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelarangan Minuman Beralkohol di Universitas Gajah Mada, 11 Februari 2016 yang diadakan oleh Forum MBB dan Student Society.

Masih tercatat di memori kita akan tragedi 25 korban tewas akibat oplosan di Yogyakarta, awal Februari 2016 lalu. Hati tambah teriris mengetahui mayoritas korban ialah mahasiswa yang notabene dari kalangan intelektual. Jika dahulu racun oplosan dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah yang mengidentifikasi dirinya seperti masyarakat kelas atas dalam mengkonsumsi minuman beralkohol di bar, kini justru oplosan “naik kelas”.

Harga racun oplosan “Banyu Gendheng” yang dikonsumsi korban di Yogyakarta Rp 25 ribu per botol (330 mililiter). Harga ini jauh lebih mahal (naik) dibandingkan dengan oplosan “Cherrybelle” yang  beredar di Jawa Barat dan menewaskan puluhan korban akhir 2014 silam. Harga racun oplosan “Cherrybelle” Rp 10 ribu per 330 mililiter.

Harga Banyu Gendheng dan Cherrybelle ini sebenarnya juga mengalami kenaikan harga di pasaran. Sebelumnya harga oplosan di pasaran, seperti Lapen Sarjito (ciu dicampur obat antibiotik kadaluwarsa) hanya dijual Rp 5 ribu – 7 ribu per 330 mili liter.

Kenaikan harga oplosan yang beredar di pasaran sebenarnya sudah disampaikan Om Sagita dalam lirik lagu berjudul “Turunkan Harga Oplosan”. Dalam facebook, Om Sagita menyatakan bahwa lagu genre dangdut  itu dicekal oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Jatim.

Yen dilarang ora bakal ono sing dodolan (kalau dilarang tidak ada yang jualan), najan saiki oplosan regane larang (meskipun sekarang oplosan harganya mahal)”

Demikan lirik lagu itu.

Jika dibandingkan dengan harga minuman beralkohol tradisional, harga tuak dan arak yang terbuat dari proses fermentasi kelapa, siwalan dan singkong tidak pernah berubah (tidak pernah mengalami kenaikan tiap tahunnya seperti halnya oplosan). Harga tuak di Tuban misalnya, sejak lima tahun lalu hingga saat ini hanya Rp 5 ribu per 750 miili liter (ml).  Demikian pula dengan arak Bali, per tahun 2016 harga arak Bali dipatok Rp 10 ribu per 750 ml.

Merujuk pada perspektif pasar, dimana dalam hukum penawaran disebutkan “Semakin tinggi harga, semakin banyak jumlah barang yang bersedia ditawarkan. Sebaliknya semakin rendah tingkat harga, semakin sedikit jumlah barang yang bersedia ditawarkan “ maka dapat disimpulkan konsumen lebih memilih oplosan dibandingkan tuak dan arak, meskipun minuman beralkohol tradisional menawarkan harga yang lebih murah.

Minuman beralkohol sebenarnya sudah menjadi bagian dari masyarakat di Indonesia. Dalam kitab Negarakertagama, misalnya yang dibuat pada zaman Kerajaan Majapahit menjelaskan, minuman beralkohol sudah menjadi bagian dari perjamuan agung di keraton.  Apalagi setelah panen raya tiba, raja akan membuka perayaan upacara dengan menyuguhkan arak (minuman lokal) dari hasil fermentasi beras terbaik dengan dosis alkohol tinggi.

Pada awalnya minuman beralkohol dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat tetapi sekarang agak sedikit sulit bagi golongan bawah karena ada kenaikan harga akibat regulasi cukai terhadap minuman beralkohol pabrikan. Dampak kenaikan harga minuman beralkohol bermerek membuat konsumen strata sosial bawah mencari minuman beralkohol alternatif yang dapat dijangkau oleh ekonomi bawah, seperti ciu, arak dan tuak.

Maraknya sejumlah razia pekat yang dilakukan petugas terhadap tuak, arak dan ciu membuat produk ini semakin langka di pasaran. Padahal menurut UU nomer 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Bab I), minuman beralkohol tradisional merupakan makanan atau minuman hasil proses dengan cara dan metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.

Hanya karena terganjal kendala permodalan usaha untuk mengurus ijin  edar, termasuk uji labolatorium seperti yang diatur dalam UU nomer 7 Tahun 1996 tentang Pangan membuat arak, tuak dan ciu dirazia karena tergolong produk illegal, seperti halnya rokok tanpa cukai.

Minuman Beralkohol tradisional juga bukanlah produk minuman yang tercemar, sesuai dengan yang diatur dalam UU Pangan mengenai kandungan bahan beracun. Hingga kini, belum pernah ditemukan orang yang meninggal akibat keracunan minum tuak dan arak.

Dalam tesis berjudul Air Api di mulut Ciliwung : Sistem Produksi dan Perdagangan Minuman Beralkohol di Batavia tahun 1873 – 1898 yang dilakukan mahasiswa pasca sarjana jurusan Sejarah Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Yusana Susanti menyebutkan oplosan sendiri sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Kolonial Belanda tahun 1873. Pada tahun itu, Pemerintah Kolonial Belanda melakukan intervensi besar-besaran terhadap system produksi, distribusi, ekspor-impor dan seluruh aktifitas terkait konsumsi minuman beralkohol.

Namun pada tahun 1898, regulasi itu pun dicabut karena pengawasan yang ketat itu menyebabkan dampak perdagangan oplosan dan minuman beralkohol illegal. Beberapa tahun kemudian, di Amerika Serikat melahirkan Alcapone dan mafia sebagai akibat regulasi pelarangan minuman beralkohol.

Untuk menekan korban racun oplosan, edukasi memerankan peranan yang penting di masyarakat khususnya generasi muda. Pemerintah juga seharusnya memberikan pembinaan kepada produsen arak dan tuak serta minuman beralkohol tradisional lainnya agar mampu bersaing dengan minuman beralkohol tradisional dari negara lain dalam era perdagangan bebas, seperti Soju dari Korea dan Sake dari Jepang.   

Produk arak asal Indonesia, Arak Batavia yang diproduksi di Jakarta pernah menjadi lagenda di Asia hingga Karibia. Banyak bangsa-bangsa, termasuk Marcopolo belajar mengenai tehnik fermentasi dari masyarakat Indonesia.

Selain itu diperlukan adanya riset yang bisa menjadi dasar terhadap regulasi dalam menangani penyalahgunaan minuman beralkohol. Jangan sampai regulasi yang ada saat ini, seperti RUU Pelarangan Minuman Beralkohol justru meningkatkan konsumsi oplosan.

Dalam teori perilaku konsumen, Philip Kotler dan Garry Armstrong (1996) menyebutkan keputusan konsumen dalam memilih produk dipengaruhi oleh faktor kebudayaan, sosial, pribadi dan psikologi.

Dari sisi budaya, sejumlah peraturan daerah yang melarang penjualan minuman beralkohol membuat minimnya edukasi tentang pengurangan dampak buruk dari minuman beralkohol. Akibatnya banyak generasi muda “melarikan diri untuk mencari pelepasan” dari budaya asli yang ada di masyarakat.

Masalah sosial lainnya yang ada di masyarakat, seperti masalah pengangguran hingga kompleksitas tata ruang perkotaan mempengaruhi psikologis generasi muda ; untuk mengkonsumsi oplosan yang bahannya sulit diterima oleh akal sehat.

Bagaimana mungkin orang yang sehat mengkonsumsi bahan kimia berbahaya, seperti autan, obat serangga, dan lainnya jika tidak sedang mengalami gangguan kejiwaan ?


Mari Lawan Oplosan. Oplosan bukanlah Minuman. 

1 komentar: