Cari

Selasa, 26 Januari 2016

Arak Tape, andalan Kota Wisata Ledakan Lumpur

Selain dikenal sebagai kota wisata “ledakan lumpur” Bledug Kuwu, Grobogan juga dikenal sebagai kota pembuat arak tradisional berbahan dasar dari singkong yang rasanya tidak kalah dengan minuman beralkohol asal Korea, Soju.

Seorang rekan yang travellers dan juga penikmat kuliner asal Australia sering bertanya ; “Mengapa di Indonesia susah mendapatkan minuman beralkohol tradisional seperti halnya di Korea dengan soju sebagai cinderamata ? “

Saya enggan menjawab, bahkan  menyalahkan PKS, salah satu partai yang mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelarangan Minuman Beralkohol di Indonesia, yang rencananya akan diberlakukan Juni 2016 mendatang.

Sama halnya dengan Indonesia, dimana sejarah minuman beralkohol berkaitan erat dengan revolusi perjuangan bangsa, Soju minuman beralkohol khas Korea yang terbuat dari beras dan kentang dibuat pertama tahun 1300. Sejarah mencatat Soju dibuat ketika orang Mongol berperang melawan orang Korea. Orang Korea pun mempelajari tehnik fermentasi minuman beralkohol saat Mongol menginvasi Asia Tenggara dan Timur Tengah tahun 1256.

Hingga kini, Soju yang dikenal orang Kaesong dengan nama arak-ju itu menjadi minuman beralkohol paling dicari wisatawan asing. Soju sendiri telah mensejahterakan petani dan produsennya dari hasil penjualan minuman beralkohol. Perekonomian di Korea pun melesat sebagai negara yang siap bersaing dalam Masyarakat Ekonomi Asia.

Bahkan di Korea tidak ditemukan korban meninggal akibat oplosan seperti halnya di Indonesia, yang terdapat regulasi pelarangan minuman beralkohol di beberapa daerah, seperti Tasikmalaya dan beberapa daerah di Jawa Barat. Padahal tingkat konsumsi minuman beralkohol jenis bir di Indonesia hanya 1,1 liter per kapita lebih kecil dibandingkan di Korea yang menurut data dari Heineken Asia Pasific tercatat 39 liter per kapita.

Minuman beralkohol tradisional sendiri sebenarnya popular dan digemari oleh masyarakat di Indonesia dibandingkan minuman beralkohol pabrikan. Menurut data dari Riset Kesehatan Riskesdas menyebutkan minuman beralkohol tradisional menguasai 43,1 persen pasar minuman beralkohol di Indonesia. Di daerah Nangroe Aceh Darrusalam (NAD), pangsa pasar minuman beralkohol tradisional menguasai 55,7 persen dari pasar minuman beralkohol di bawah Bali yang tercatat 60 persen.

Di Sumatera Utara, minuman beralkohol tradisional menguasai 80,1 persen pasar minuman beralkohol. Jumlah ini  lebih tinggi dibandingkan dengan di Papua yang tercatat 32, 5 persen.

Lelah membaca data, saya pun segera mencium  aroma rendaman tape begitu memasuki Dusun Plumpungan, Desa Banjardowo, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah beberapa pekan lalu. Hampir seratus persen di tiap rumah di dusun tersebut, ada kegiatan membuat arak dengan bahan dasar tape, ragi, dan gula merah dari tebu.

Selintas dusun ini biasa-biasa saja, dibandingkan Bledug Kuwu yang memikat orang untuk berkunjung guna melihat semburan lumpur berwarna abu-abu tua dari perut bumi, dibarengi suara “bledug”, semacam ledakan terus menerus.

Berjarak kurang lebih 5Km sebelah timur Bledug Kuwu, Dusun Plumpungan menyimpan sejarah panjang, yang jarang dimiliki dusun-dusun lain. Nama Plumpungan hanya dikenal oleh beberapa penjual jamu, yang menggunakan bahan ramuan tambahan berupa arak putih dari para distributor minuman keras illegal, produksi rumahan di dusun ini. Hanya mereka yang mengenalnya, sedangkan masyarakat luar daerah kurang banyak yang tahu.

Nama Plumpungan baru akan naik daun di kalangan kepolisian, ketika sekarang ini marak minuman oplosan, atau saat para petinggi Kabupaten Grobogan sedang membahas peraturan daerah yang berkaitan dengan minuman beralkohol.

“Produk kami berupa arak putih. Berbeda dengan minuman oplosan,” kata salah seorang penduduk Plumpungan yang enggan disebut jati dirinya ketika diwawancara Phamaja dari Obyektif, belum lama ini.

Oplosan menurut penduduk, adalah minuman beralkohol yang sudah merupakan campuran dari berbagai bahan. Sedangkan arak Plumpungan tersebut diproduksi untuk kesehatan dan kebugaran. Produksinya digunakan untuk ramuan tambahan jamu yang diminum masyarakat secara terukur.

Ditambahkan, Dusun Plumpungan merupakan salah satu dusun yang memproduksi arak murni dengan latar belakang tradisi turun temurun.Tak beda jauh dengan Desa Bekonang di Solo yang terkenal dengan Ciu Bekonang-nya, Desa Gumayun di Tegal dengan Bir Gumayun, dan di Bali dengan istilah Tuak. Namun potensi adat yang khas di Plumpungan seperti ini, ternyata belum diangkat secara maksimal oleh Pemkab setempat. Sampai sekarang produk dari Plumpungan masih illegal secara hukum. Tidak ada satu pun penduduk di desa ini yang memiliki ijin produksi.

Menurut pengamatan, hanya seorang yang memiliki badan usaha berijin. Itupun sesungguhnya cuma SIUP sebagai penjual minuman beralkohol. Harapan masyarakat Plumpungan yg sampai kini belum tercapai, bisa memroduksi warisan leluhur secara legal formal, sebagai mata pencaharian tanpa harus berbenturan dengan hukum yang ada. Pihak Pemkab Grobogan, ketika diminta penjelasan soal itu, menurut salah seorang Humasnya, jika ada pengajuan dari masyarakat luas soal legalitas tersebut, akan dipertimbangkan.

Namun menurut tokoh masyarakat Grobogan, Sartono yang biasa dipanggil Mbah Gentong, seharusnya Pemkab peka dalam hal ini. “Tidak usah diminta oleh masyarakat, mereka harus membimbing, memfasilitasi, dan memberikan ijin. Sekarang kan jamannya sudah berubah. Masak Bupatinya tidak mau blusukan. Ketinggalan jaman dong, hehehe....” katanya terkekeh seperti yang dikutip obyektif.com


3 komentar: