Cari

Minggu, 17 Januari 2016

Meskipun Menganut Hukum Syariat, Malaysia Tak Melarang Penjualan Minuman Beralkohol

Untuk menyempurnakan draff Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelarangan Minuman Beralkohol, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan bercermin ke Malaysia. Demikian dikatakan Wakil Ketua Panitia Khusus Pelarangan Minuman Beralkohol, Aryo Djojohadikusumo. Ia mengatakan Malaysia tidak melarang penjualan minuman beralkohol meskipun negara itu menganut hukum syariat Islam.

Untuk melihat dari dekat penerapan regulasi mengenai minuman beralkohol, Komunitas Anti Oplosan berkeliling Malaysia beberapa pekan lalu. Berikut catatannya.

Untuk mengendalikan peredaran minuman beralkohol di negaranya, pemerintah Malaysia akan meningkatkan batas usia konsumsi minuman beralkohol dari 18 tahun menjadi 21 tahun. Channel News Asia melaporkan peraturan baru ini telah didaftarkan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada awal Januari 2016 lalu. HIngga kini, tidak disebutkan kapan peraturan baru itu akan diberlakukan di Malaysia.

“Indonesia telah lebih dahulu menerapkan batas usia 21 tahun untuk konsumsi minuman beralkohol. Dalam regulasi ini, saya setuju karena negara harus mengendalikan peredaran minuman beralkohol untuk meminimalkan korban oplosan dan perdagangan gelap minuman beralkohol yang dikuasai oleh mafia,“ kata Rudhy Wedhasmara, Dewan Penasehat edualkohol.blogspot.com.

Indonesia sendiri terlebih dahulu menerapkan batas konsumsi minuman beralkohol usia 21 tahun. Tahun 2014 silam, Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan bernomor 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalikan dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol. Dalam aturan itu disebutkan bahwa penjual minuman berakohol dapat memberikan minuman beralkohol kepada konsumen yang telah berusia 21 tahun dengan menunjukkan Kartu Identias Penduduk.

Rudhy mengatakan Malaysia juga berencana memberikan pelabelan tambahan untuk produk alkohol, termasuk peringatan konsumsi minuman beralkohol secara bertanggung jawab.

“Menurut saya Malaysia telah menerapkan prinsip alkohol dan demokrasi. Konsumsi minuman beralkohol sendiri merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan negara berhak untuk mengontrol perdagangan agar tidak dikuasai oleh mafia perdagangan yang diduga banyak mendukung pelarangan minuman beralkohol di Indonesia, “ katanya.  

Malaysia merupakan rumah bagi perusahaan pembuat bir seperti Carlsberg Brewery Malaysia Bhd yang keuntungan kuartal naik 11 persen. Ada juga Guiness Anchor Bhd.  Alkohol dijual di banyak tempat di Malaysia dan dikonsumsi sekitar 3,5 juta dari 30 juta jumlah total penduduk di Malaysia. Itu berdasarkan data dari Confederation of Malaysian Brewers Berhad.

“Malaysia memang negara dengan pajak alkohol tertinggi di Asia, namun konsumsi minuman beralkohol di negara ini tetap stabil. Ini berbeda dengan Indonesia, dimana justru masyarakatnya paling banyak konsumsi minuman beralkohol tradisional seperti arak, tuak, sopi yang tidak terkena pajak, “ kata Rudhy.

Rudhy mengatakan jika minuman tradisional dikenakan pajak maka konsumen dipastikan akan lari ke konsumsi oplosan dengan harga yang murah. Selain itu, selama ini pemerintah belum pernah melakukan pembinaan kepada para produsen minuman beralkohol tradisional layaknya UKM.

“Minuman beralkohol tradisional dianggap musuh dan sering terkena razia. Padahal semakin banyak dirazia semakin banyak pula korban oplosan yang meninggal di berbagai daerah, “ katanya.

Rudhy mengatakan regulasi di Indonesia perlu dirubah.

“Jika konsumsi minuman beralkohol tradisional paling banyak dikonsumsi, mengapa kok minuman beralkohol pabrikan dilarang dijual di minimarket ?. Ini kebijakan yang salah sasaran, “ katanya.  

Di Malaysia, kata Rudhy, nilai ekspor minuman beralkohol mencapai 269 juta dollar AS dengan tujuan Singapura, Vietnam dan Thailand.  

“Minuman beralkohol asal Malaysia juga banyak masuk ke pasar gelap di Nunukan karena sejumlah Peraturan Daerah di sejumlah daerah di Indonesia yang melarang penjualan alkohol, “ kata Rudhy.

Departemen Statistik Malaysia melaporkan kenaikan inflasi 3 persen pada bulan November, lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tercatat 2,8 persen. Nilai inflasi bulan Desember itu lebih tinggi dari perkiraan sejumlah ekonom di negara itu sebesar 2,7 persen.

Kenaikan bulan November tersebut merupakan kenaikan kedua berturut setelah sebelumnya terkoreksi dari inflasi yang tinggi di 3,3 persen. Kenaikan inflasi ini di kontribusi oleh kenaikan biaya minuman beralkohol, tembakau, transportasi dan utilitas.

Jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, tingkat inflasi Malaysia meningkat 0,5 persen, tingkat yang sama seperti pada bulan Oktober. Peningkatan juga disebabkan oleh inflasi minuman beralkohol dan tembakau (+ 10,3 persen); perumahan, air, listrik dan gas (+ 0,7 persen) dan makanan dan minuman non alkohol (0,3 persen).

“Kalau harga minuman beralkohol jenis pabrikan di Indonesia mengalami kenaikan bisa membuat konsumen lari untuk mengkonsumsi oplosan atau minuman beralkohol yang dijual di pasar gelap yang menawarkan harga lebih murah (dibawah harga pasar), “ katanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar