Cari

Jumat, 01 Januari 2016

Razia Miras Tak Menyurutkan Permintaan Kosumen akan Arak dan Tuak


Maraknya razia terhadap minuman beralkohol yang dilakukan oleh pihak kepolisian menjelang peringatan malam Tahun Baru di berbagai daerah ternyata tidak menyurutkan permintaan konsumsi minuman beralkohol tradisional seperti arak dan tuak.

“Permintaan konsumen masih sangat tinggi. Untuk menghindari razia dari kepolisian, pengiriman saya lakakan pada malam hari, “ kata salah satu produsen arak Bali asal desa Desa Tri Eka Bhuana, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem Bali, Wayan Lemes.

Wayan mengatakan sebagai produsen saya sudah meminta kepada pembeli agar tidak mencampur arak dengan bahan lain (mengoplos) karena bisa mengakibatkan kematian.

“Akibat banyaknya korban jiwa akibat konsumsi oplosan (methanol) di berbagai daerah, pendapatannya dari hasil menjual arak menurun lebih dari 50 persen dari rata-rata produksi 500 liter per dua hari. Penurunan ini dikarenakan banyaknya penjual arak yang tertangkap polisi, “ katanya.  

Polisi sendiri mengenakan pasal Tindak Pidana Ringan (Tipiring) bagi penjual minuman beralkohol tanpa ijin. Bahkan di Surabaya, polisi pernah mengenakan berlapis (pasal 204  ayat 2 KUHP) yang disebutkan seseorang yang menjual sesuatu yang sifatnya berbahaya dan menyebabkan kematian akan dihukum penjara hingga 20 tahun.  Polisi juga akan menambah jeratan pasal yaitu, Undang-Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012 dengan sanksi maksimal 15 tahun penjara.

“Kami memang tidak mempunyai ijin produksi karena untuk mengurus ijin itu mahal. Belum pernah ada kasus bahwa mengkonsumsi arak murni menyebabkan kematian.  Banyak korban jiwa meninggal itu dikarenakan arak dicampur dengan bahan kimia lain seperti autan, tinner dan obat antibiotik yang sudah kadaluwarsa, “ katanya.

Wayan mengatakan arak sendiri merupakan minuman beralkohol yang sudah dikenal dari zaman nenek moyang di Bali. Selain untuk kesehatan, arak juga digunakan untuk religi dan upacara adat metuakan.

“Saat ini banyak yang disalahgunakan hingga menyebabkan kasus korban meninggal dunia.  Menurut saya bukan salah minuman beralkohol akan tetapi banyak orang mengalami tekanan akibat kondisi ekonomi dan sosial di daerah hingga mereka ingin melepaskan tekanan itu dengan meminum oplosan, “ katanya.

Hal senada juga dikatakan oleh Sumantri, salah satu produsen tuak di Tuban. Jumlah permintaan tuak untuk kebutuhan berkumpul dengan sanak saudara, teman dan kerabat untuk merayaka Tahun Baru masih sangat tinggi.

“Tuak sendiri tidak hanya dikonsumsi setiap peringatan Tahun Baru. Setiap hari orang di Tuban berbagai usia, stata sosial dan jenis kelamin juga meminum tuak untuk kesehatan dan bersosialisasi. Hanya saja tuak dianggap tak berijin dan menjadi biang keladi korban oplosan, “  katanya.

Sumantri mengatakan pihaknya tidak pernah mengetahui dan membaca aturan larangan penjualan dan pengiriman tuak di berbagai daerah di Jawa Timur.

“Saya tidak mengerti aturan hukum. Kami dianggap menjual arak yang kami produksi secara turun temurun seperti halnya Bandar narkoba. Jadi saya hari berhati-hati dalam melakukan pengiriman agar tidak tertangkap polisi, “ katanya.

Sumantri mengatakan legislative sendiri tidak pernah memikirkan nasib dari petani tradisional siwalan dan kelapa untuk produksi arak dan tuak. Apabila regulasi pelarangan minuman beralkohol diterapkan maka akan mematikan petani siwalan dan kelapa di berbagai daerah.

“Petani siwalan di Tuban tidak bisa beralih tanam karena kondisi tanah di Tuban hanya bisa digunakan untuk menanam siwalan. Beberapa pembuat tuak pun sampai saat ini terkendala masalah perijinan karena minimnya modal, “ katanya.

Seperti diketahui, selain RUU Minuman Beralkohol, RUU Pertembakauan  juga masuk dalam Legislasi Nasional 2015. Sejumlah pengamat  menilai RUU Pertembakauan lebih banyak berpihak kepada  industri rokok dibandingkan dengan hak masyarakat  dalam mendapatkan informasi da akses kesehatan yang layak.

DPR mengakui  RUU Pertembakauan melindungi petani tembakau, meskipun petani tembakau  sudah mendapatkan jaminan yang diatur dalam UU No 19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani, serta UU No 3 tahun 2014 tentang perindustrian.  Sementara ratusan petani kelapa di Bali dan siwalan di Tuban  terancam kehilangan pekerjaan bahkan  terancam kurungan penjara jika RUU Minol diberlakukan .

Peneliti minuman beralkohol tradisional yang juga Dosen Antropologi dan Budaya Univesitas Indonesia, Raymond mengatakan secara budaya, mengkonsumsi minuman beralkohol sudah ada sejak lama sehingga pemerintah tidak boleh memuat aturan pelarangannya.

“Beberapa data yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan juga penelitian dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa dibandingkan minuman beralkohol pabrikan, minuman beralkohol tradisional lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia, “ katanya.

Sementara itu, aparat kepolisian dan satpol PP di berbagai daerah, seperti di Gresik Jawa Timur dan Bandung Jawa Barat  terus melakukan razia minuman beralkohol di warung-warung dengan alasan menjaga keamanan di malam Tahun Baru pasca oplosan kembali memakan korban jiwa di Sumedang Jawa Barat dan di Bekasi. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar