Cari

Senin, 11 Januari 2016

Melawan Politisasi Anti Alkohol

Minuman beralkohol memicu kriminalitas dan merusak moral bangsa. Begitu statmen salah satu anggota DPR di salah satu media massa beberapa hari lalu. Pagi ini, di tempat gym, salah satu rekan saya bertanya untuk kesekian kalinya ; “Apakah orang yang tidak minum arak dan tuak pasti berbadan langsing ? “

Dalam sebuah diskusi yang diikuti oleh mahasiswa perguruan tinggi Islam di Surabaya yang digelar oleh Yayasan Orbit, ada sebuah pertanyaan apakah orang yang tidak mengkonsumsi minuman beralkohol pasti tidak akan korupsi ?  

Riset Transparansi Internasional (TI) tahun 2007 menyebutkan agama tidak berhubungan dengan prevalansi praktik korupsi.  Penelitian yang melibatkan pengumpulan data tak kurang dari 185 negara dengan latar belakang agama yang sangat beragam ini termasuk Indonesia dan sejumlah Negara Timur Tengah, menunjukkan hasil bahwa dalam masyarakat dengan tingkat kepercayaan agama yang tinggi memiliki Corruption Perception Index (CPI) yang juga tinggi (S.Douglas Beets, 2007).

Hasil riset ini sepertinya hendak mengatakan bahwa nilai-nilai normative yang mulia yang di kandung dan diajarkan oleh sebuah agama terlihat tidak berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakatnya, terutama dalam hal perilaku korupsi.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan salah satu partai pendukung Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol. RUU itu nasibnya akan ditentukan dalam sidang DPR RI pada Juni 2016 mendatang.  Pelarangan penjualan dan konsumsi minuman beralkohol dianggap tidak sesuai dengan budaya dan moralitas bangsa.

Ahmad Fuad Fanani dari Maarif Institute for Culture and Humanity mengatakan isu formalisasi syariat Islam ini memang masih menjadi sesuatu yang sensitive tetapi tidak banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat lebih meminati dan tertarik pada isu-isu politik yang berkaitan langsung dengan kebutuhan dan perbaikan bangsa Indonesia ke depan.

Namun, perjuangan Perda Syariat ini bukan hanya menjadi monopoli partai-partai Islam. Banyak partai-partai nasionalis seperti Partai Golkar yang juga mendukung penerapan perda syariat. Menurut Robin Bush yang melalukan penelitian komprehensif tentang persoalan ini, dukungan partai-partai nasionalis banyak dikaitkan dengan pragmatisme politik untuk meraih dukungan dari pemilih dalam berbagai pemilihan kepala daerah. Mereka mendukung itu karena untuk menunjukkan identitas dan keberpihakannya pada umat Islam.

Padahal hasil Pemilu 2009, partai-partai Islam tidak banyak mendapatkan manfaat nyata dari dukungannya terhadap isu penegakan Syariat Islam secara formal. Dari situ nampak bahwa isu syariat Islam ternyata memang bukan hal yang strategis bagi partai Islam. Partai Islam mestinya harus memikirkan secara serius apa saja isu-isu strategis yang saat ini menarik minat dan perhatian rakyat.

Tampaknya, pemikiran Cak Nur pada tahun 1970-an yang menyatakan bahwa “Islam Yes, Partai Islam No!”, menemukan relevansi dan kontekstualisasinya pada masa kini. Dan menurut MC Ricklefs, kecenderungan pendirian sayap Islam dalam partai-partai nasionalis itu merupakan bentuk nyata dari Islamisasi yang terjadi di Indonesia yang tidak bisa dibendung.

Islamisasi dalam pengertian yang luas yang berarti semakin menguatnya simbol-simbol Islam dan pemakaian identitas Islam dalam politik ini, tentu memberikan dampak yang serius pada perolehan suara partai Islam ke depan. Mereka tentu harus memikirkan strategi agar identitas mereka sebagai partai Islam tetap menjadi daya jual yang bisa menarik para pemilih. Partai-partai Islam juga harus merumuskan jalan baru agar mereka bisa bersaing dengan partai-partai nasionalislainnya serta bisa berkontribusi pada masa depan bangsa ini.

Dalam konteks global, partai Islam tidak hanya  berorientasi  pada,meminjam istilah James Piscatori—imagining Pan Islamism- terus menerus. Namun Partai Islam harus mampu menatap tantangan globalisasi dan bagaimana memanfaatkan peluang globalisasi untuk kemajuan bangsa dan umat Islam. Pada konteks lokal Indonesia, Partai Islam tidak terus menerus terjebak pada isu massa tradisional Islam, isu syariat Islam, Piagam Jakarta, Negara Islam, dan isu-isu formalisme Islam lainnya.

Partai Islam harus mau bergerak pada perjuangan isu-isu kebijakan publik yang terkait dengan kepentingan rakyat kebanyakan. Partai Islam harus mengambil isu-isu populis yang terkait dengan kepentingan rakyat banyak seperti soal kemandirian pangan, subsidi pertanian, pendidikan murah, jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan sebagainya.

Isu-isu politik yang terkait dengan kaum miskin kota dan rakyat kebanyakan itu tentu lebih strategis dan kongkrit bagi pemilih di Indonesia dibandingkan isu-isu yang bersifat formalisme Islam dan kental dengan simbol Islam.

Untuk konteks Indonesia, dukungan partai Islam terhadap isu-isu publik ini bisa juga dijadikan alat negosiasi di tengah kondisi masih menguatnya trauma masyarakat akan tema-tema syariat Islam dan bayangan ancaman Negara Islam Indonesia terutama bagi kaum minoritas.

Masalah korupsi juga harus menjadi focus utama. Selain kejahatan besar, perilaku korup menyebabkan perubahan gaya hidup yang pada akhirnya bisa merubah pula pola konsumsi. Perubahan inilah yang menyebabkan semakin tingginya penderita  obesitas dan diabetes di Indonesia. Padahal dua penyakit inilah yang menyebabkan kualitas sumber daya manusia Indonesia tidak bisa bersaing di era pasar global.
  
Selamat berolahraga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar