Cari

Kamis, 07 Januari 2016

Jamaah Tuakiyah : Eksistensi Menjaga Keragaman Budaya

Nama Jamaah Tuakiyah ini tidak asing bagi masyarakat Tuban Jawa Timur. Nama ini menunjuk kegiatan mengkonsumsi tuak secara berkelompok. Budaya ngombe ( istilah dalam bahasa Jawa untuk menyebut konsumsi minuman beralkohol) tidak hanya di Tuban, namun telah bagian dari budaya masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, seperti Bali dan Medan. 
 
Meskipun kepala terasa berat dan mata berkunang-kunang setelah menghabiskan jamuan minuman tuak dalam sebuah gelas dari bambu di sebuah warung, Suhardi bersama delapan rekannya terus melanjutkan diskusi seputar pembangunan jalan desa yang tidak pernah terealisasi. Sementara, Sunarni, istri dari Suhardi terus memasak bebek bakar di dalam rumah untuk dihidangkan kepada tamu warungnya.
 
“Sebagian besar masyarakat di Tuban ialah muslim dan minuman beralkohol merupakan bagian dari budaya dan sejarah kebesaran Kerajaan Rongolawe mengalahkan pasukan Tar-Tar yang waktu itu akan menguasai Tuban, “ kata budayawan Tuban, Jarwoto Tjondronegoro.  
 
Jarwoto mengatakan tuak biasanya diminum secara berkelompok di pinggir jalan maupun di warung sekitar kebun siwalan. Kelompok penikmat tuak ini biasanya juga memperbincangkan masalah sosial di masyarakat, pembangunan desa hingga upaya penanganan konflik yang muncul diantara mereka.
 
“Minum tuak bukanlah untuk mabuk-mabukan, akan tetapi tempat mereka bersosialita seperti halnya di kota besar, tempat mereka berdiskusi masalah-masalah sosial dan politik yang terjadi di sekelilingnya, mulai dari kebijakan bupati hingga pemilihan kepala desa. Masyarakat menyebut tuak (toak) itu berati “noto awak” (mengatur badan/kesehatan),  “ kata Jarwoto.
 
Pola mengkonsumsi tuak secara berkelompok ini mengingatkan sejarah munculnya kedai kopi di Turki di era abad ke-16, dimana kedai kopi dikenal sebagai “sekolah kebijakan” karena banyak hal yang dipelajari bersama saat meminum kopi. Hingga kemudian tahun 1600, para pastor di Italia meminta Paus Clement VIII melarang penjualan kopi untuk dikonsumsi karena penjualan minuman kopi di Perancis banyak melahirkan perjuangan revolusi dan kaum oposan.
 
Tahun 1674 lahir Petisi Perempuan Menentang Kopi yang dibuat di London. Mereka mengeluhkan para pria tidak pernah ada di rumah dan memilih pergi ke kedai kopi. Setahun kemudian Raja Charles II menutup kedai-kedai kopi, namun aturan itu hanya bertahan selama 11 hari karena muncul aksi protes besar-besaran. Sebelumnya, tahun 1511, Gubenur Mekkah juga pernah melarang penjualan kopi karena masalah serupa.
 
Maraknya perdagangan gelap kopi (illegal market) pasca pelarangan dan aksi protes pelarangan pembukaan kedai kopi dan penjualan minuman kopi itulah yang membuat kini kedai kopi menjadi tempat favorit bagi sosialita di Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya di Indonesia.
 
Tuak sendiri berasal dari sadapan karangan bunga (terutama tongkol bunga betina) pohon siwalan, tanaman berbatang tunggal dengan tinggi 15-30 m dan diameter batang sekitar 60 cm keluarga palma (pinang-pinangan) yang banyak tumbuh di daerah kering kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan. Di Indonesia sendiri, pohon siwalan banyak tersebar di Jawa Timur, Madura, Bali, NTB, dan NTT, dan Sulawesi Selatan.
 
Jarwoto mengatakan pohon siwalan tidak hanya dimanfaatkan untuk membuat minuman beralkohol. Selain menjadi tumpuan bagi kehidupan bagi ekosistem, masyarakat di Tuban memanfaatkan kayu pohon siwalan yang berwarna kehitaman sebagai  bahan bangunan dan perkakas. Daunnya pun digunakan untuk media penulisan naskah lontar pada masa kerajaan Majapahit, Ronggolowe dan kerajaan-kerajaan lainnya.
 
“Daun juga dimanfaatkan sebagai kerajinan khas seperti kipas, tikar, topi, aneka keranjang, tenunan untuk pakaian dan sasando, alat musik tradisional di Timor. Sedangkan buahnya juga dijadikan sebagai bahan pangan berserat tinggi. Pohon siwalan merupakan salah satu sumber pendapatan bagi masyarakat, “ katanya.
 
Sejak tahun 2013, pasca pemberlakuan Peraturan Presiden (Perpres) 74/2013 mengenai minuman beralkohol dan penerapan 147 peraturan daerah (Perda) di beberapa daerah yang melarang dan membatasi penjualan Minuman Beralkohol, pemerintah setempat berencana merubah produksi tuak dari minuman konsumsi menjadi bioetanol.
 
“Namun upaya itu tidak membuahkan hasil merubah kebiasaan minum tuak. Tuak tetap dijual sebagai minuman beralkohol yang harganya lebih murah (Rp 2000,- per liter)  dibandingkan minuman beralkohol jenis lain misalnya bir seharga Rp 35 ribu, “ kata Jarwoto.
 
Jarwoto mengatakan mengatakan meskipun di bulan puasa namun aktifitas Jamaah Tuakiyah tetap jalan. Mengkonsumsi tuak sewaktu sahur dipercaya dapat melancarkan proses membuang racun tubuh dan kandungan kapur.
 
“Sejak nenek moyang masyarakat lokal di Tuban yang tinggal di daerah berkapur percaya bahwa dengan mengkonsumsi minuman tuak secara rutin setiap hari dapat meluruhkan kandungan kapur dalam tubuh dan menyembuhkan penyakit kencing batu, “ katanya.
 
Pengamat sosial masyarakat asal Yogyakarta, Paring Waluyo Utomo mengatakan minum tuak bagi masyarakat Tuban juga terkait tradisi seni Tayupan Tuban.
 
“Tidak hanya di Tuban, di beberapa daerah di Indonesia minuman beralkohol terkait dengan ritual, kesenian maupun pesta adat. Seperti di Bali dengan Arak Bali, pesta Panen di Karo dan Simalungun dan pesta Bona Taon, “ katanya.
 
Minuman beralkohol juga digunakan masyarakat saat merayakan Ceng Beng (sembayang kubur), Imlek dan Cap Go Meh. Sedangkan di Lombok, Arak juga dihidangkan untuk ritual adat penyambutan tamu. Juga halnya di Papua dengan sopi.
 
Bagi masyarakat di Lembata, Flores Timur, tuak juga tidak dapat dipisahkan dari pesta adat.
Sebelum tahun 2000, khususnya 1980-an, tuak bahkan menjadi minuman sehari-hari pengganti air putih di berbagai kampung di Ile Ape, Lembata. Khususnya kampung-kampung lama yang jauh dari pantai. Mereka mengkonsumsi tuak karena sulitnya air minum di daerah itu. Itu sebabnya warga yang tinggal di lereng gunung atau kampung lama ini mengandalkan tuak sebagai penawar haus.
 
Penyalahgunaan
Namun penyalahgunaan minuman beralkohol yang sering memakan korban jiwa membuat pemerintah dan aparat melakukan razia, hingga membuat sejumlah pelarangan dan pembatasan terhadap minuman beralkohol. 
 
Ketua Paguyuban Perajin Alkohol Bekonang Solo Jawa Tengah, Sabariyono mengatakan larangan serta razia membuat banyak minuman beralkohol tradisional harus menjual secara sembunyi-sembunyi. Padahal apabila tidak dicampur dengan bahan lainnya, mengkonsumsi minuman beralkohol tradisional tidak akan menyebabkan korban tewas.
 
“Minum ciu (sejenis arak) juga merupakan tradisi turun temurun. Ciu sendiri dahulu dibuat untuk menangkal masuknya minuman beralkohol impor asal Belanda, China dan Eropa. Dengan harga yang lebih murah, banyak tentara Belanda yang mengkonsumsinya sehingga akhirnya ciu sendiri dilarang penjualannya oleh Pemerintah Hindia Belanda karena dianggap ancaman bagi produk minuman beralkohol asal Eropa, “ katanya.
 
Ciu memiliki kadar alkohol antara 35-40 persen. Namun bisa menjadi 90 persen, setelah dua kali penyulingan. Ciu sendiri sering disalahgunakan dengan cara dicampur dengan bahan lain, seperti soft drink. Akibat pencampuran itulah membuat banyak pemuda tewas karenanya.
 
Hingga saat ini, ada 130 warga yang memproduksi ciu di Solo yang memproduksi rata-rata  25 liter alkohol per produsen setiap harinya. Satu liter alkohol berkadar 95 persen biasa dijual dengan harga Rp 20 ribu.
 
Ridwan (34), mantan penjual arak di Jakarta yang kini bekerja sebagai petugas security di salah satu perkantoran di Surabaya mengatakan meskipun arak hasil kiriman dari Medan ke Jakarta disita oleh kepolisian, namun ia berhasil menyelamatkan kayu raru, kayu asal Sibolga yang digunakan untuk meningkatkan citra rasa dan kadar alkohol pada tuak dan arak.
 
“Waktu ditangkap polisi, polisi hanya menyita arak. Sedangkan kayu raru tidak disita karena mereka tidak mengetahui manfaat kayu itu, “ katanya.
 
Kayu raru, sama halnya dengan pohon siwalan, memang banyak tumbuh di Medan yang tidak masuk dalam klasifikasi narkotika dan barang dilarang peredarannya setelah pohon ganja yang tumbuh di Aceh. Konon, kayu raru juga dipercaya bisa mengobati penyakit diabetes jika dicampurkan ke dalam air putih.
 
Warnadi (53), salah satu petani siwalan asal desa Tegalagung Kecamatan Semanding Tuban mengatakan saat ini jumlah pemanjat pohon siwalan berkurang karena generasi muda di Tuban enggan bekerja menjadi pemanjat siwalan.
 
“Resiko yang besar ketika memanjat pohon siwalan yang kerapkali menimbulkan korban jiwa membuat anak-anak muda Tuban memilih bekerja di perkotaan, “ katanya yang sejak berusia 17 tahun sudah menjadi pemanjat pohon siwalan itu.
 
Akibat semakin berkurangnya pemanjat pohon siwalan karena pemanjat sudah termakan usia, membuat pasokan tuak berkurang dan dikuatirkan akan memicu kenaikan harga tuak di pasaran.
 
“Yang paling mengkuatirkan ialah banyak anak-anak muda yang suka oplosan karena harganya lebih murah dibandingkan dengan membeli tuak. Disinilah peranan kami untuk mengingatkan agar anak muda mencintai warisan budaya nenek moyang, “ katanya.
 
Wanardi dan ratusan penikmat tuak juga pembuat tuak lainnya asal Tuban juga terancam akan dipidanakan dan terkena denda, jika Rancangan Undang-Undang Minuman Beralkohol yang saat ini sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI disahkan dan diberlakukan. Dalam RUU itu, seluruh pembuat, pengedar maupun konsumen minuman beralkohol bisa dikenakan hukuman penjara 2 tahun sampai 5 tahun beserta denda puluhan juta rupiah.
 
“Saya tidak setuju aturan itu karena membuat tuak merupakan upaya melestarikan kebudayaan nenek moyang. Tidak ada lagi ruang buat kami bersosial dengan masyarakat. Apalagi membuat tuak merupakan pekerjaan satu-satunya bagi kami untuk menyekolahkan anak-anak saya, “ katanya.
 
Jika aturan itu diberlakukan dikuatirkan akan ada larangan menanam pohon siwalan, dimana produktivitas pohon itu mencapai 22.000–23.000 buah atau setara 7.200–7.500 kg per hektar per tahun dan produksi tuak mencapai 5– 6 liter setiap pohon per harinya.
 
Rektor Universitas Udayana Bali, Made Suastika mengatakan untuk menanganai masalah penyalahgunaan tuak dan arak bukan dengan regulasi dan pembatasan menjual minuman beralkohol melainkan dengan edukasi.
 
"Sejumlah regulasi baik di tingkat Perda maupun pusat tidak akan efektif menekan korban oplosan dan penyalahgunaan minuman beralkohol. Selain melakukan pendampingan terhadap kelompok usaha minuman arak di Bali, kami juga menyusun standart operasional penanganan korban oplosan di rumah sakit dan puskesmas di Indonesia, " katanya.
 
Hingga saat ini di puskesmas dan rumah sakit di Indonesia, belum ada standart penanganan korban oplosan meskipun sejak tahun 2009 Hanoch - Victor dkk melaporkan ledakan kasus keracunan metanol di Bali. Dari 31 pasien yang dirujuk ke Rumah Sakit Sanglah 93,54 persen laki-laki dan sisanya perempuan.
 
Awal tahun 2013 lalu, Menteri Luar Negeri Australia, Bob Carr, mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan pengawasan atas oplosan. Desakan ini dilakukan setelah seorang pemuda Australia, Liam Davies meninggal dunia di rumah sakit Sir Charles Gardner, Perth Australia, setelah pemuda itu mengkonsumsi arak oplosan ketika merayakan tahun baru di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). 
 
Kematian Liam pun memicu reaksi keras masyarakat Internasional, terlebih lagi sebelumnya seorang pelajar putri asal Sydney mengalami kebutaan setelah mengkonsumsi oplosan di Bali, sementara wisatawan asal Swedia meninggal dunia di Lombok dalam kasus yang sama.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar