Cari

Senin, 20 Juni 2016

Soldier of Fortune

Sudah sering kuceritakan padamu kisah : Manusia memang tidak pernah luput dari kesalahan. Begitu pula dengan Muhammad Nasir Djamil, politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Anggota Komisi III DPR RI kelahiran Medan Sumatera Utara itu menyebutkan Tito Karnavian, Calon Kapolri pilihan Presiden Jokowi seperti lagunya Scorpion “Soldier of Fortune”.  



Sebagai pria penggemar musik rock seperti halnya Presiden Jokowi seharusnya Nasir cukup menyebut lagu “Soldier Of Fortune” itu dinyanyikan oleh Deep Purple, bukanlah Scorpion. (http://profil.merdeka.com/indonesia/m/muhammad-nasir-djamil/ )

Sudahlah jangan ditertawakan. Semua orang bisa saja salah. 

Pada tahun 2008 silam, S, seorang pengajar di salah satu Universitas di Cirebon sedang menjalani Uji Kepatutan dan Kelayakan Calon Hakim Mahkamah Konstitusi di depan anggota Komisi III DPR RI.  Gara-gara kurang teliti menuliskan kata judicial (yang ditulisnya Yudiicial) dan salah menyebutkan salah satu pasal di UUD 1945,  S harus mengangkat tas dan keluar ruangan padahal tak sampai 15 menit ia mempresentasikan makalahnya di depan anggota Komisi III DPR RI.  

S dianggap oleh beberapa anggota Komisi III DPR melakukan kesalahan fatal menyebut pasal dalam Undang-Undang. Saran saja. Lebih baik tidak tertawa karena ini menyangkut persoalan Undang-Undang.

Dalam Undang-Undang (UU) Nomer 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 41 menyebutkan dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia. Pasal ini menunjukkan bahwa antara polisi dan tentara merupakan dua institusi yang berbeda. Ini seperti yang diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sedangkan peranan polisi dan tentara lebih lanjut diatur dalam Ketetapan MPR nomer VII tahun 2000.     

Lalu apakah maksud dari statement Nasir dari PKS yang menyebut Tito Karnavian, calon Kapolri sebagai “Soldier of Fortune” ?

Polisi adalah penjaga keamanan dan rasa aman masyarakat sebagaimana  tampil dari beragam motto polisi di dunia, seperti to combat crime (memerangi kejahatan), to protect and to serve (melindungi dan melayani) yang di Indonesia ditambah mengayomi.

Polisi bukan anggota tempur (combatant) sebagaimana militer. Polisi selama 24 jam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, termasuk dalam situasi perang. Tidak aneh bila saat televisi menayangkan berita perang di Timur Tengah, terlihat pula  polisi sedang mengatur lalu lintas. Norma kepolisian dunia memang menegaskan status polisi yang mirip anak-anak atau nenek-nenek. Mereka tak boleh ikut perang karena itu tidak boleh ditembak.

Tapi polisi dipersenjatai mengingat mereka aparat penegak hukum. Negara memberi kewenangan polisi untuk menggunakan kekerasan (termasuk senjata) secara sah. Sama seperti pegawai Bea dan Cukai, Kejaksaan, dan institusi lain yang diberi kewenangan serupa. Bedanya dari combatant seperti tentara, polisi menembak untuk melumpuhkan, sedangkan tentara menembak untuk membunuh (dalam situasi perang).

Dengan status itu saja, diklat kepolisian tidak boleh sama dengan diklat tentara. Polisi dilatih menggunakan peluru kosong, lalu peluru karet, baru peluru tajam, untuk mengatasi kerusuhan. Tentara tidak mungkin menembak musuh dengan peluru hampa.

Semoga ini bukan lelucon politik dari PKS....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar