Cari

Minggu, 10 Juli 2016

Efek Jera Untuk Siapa ?

Sepertiga dari jumlah undang-undang yang disahkan DPR tiap tahunnya selalu memuat ketentuan pidana. Jika dilihat lebih detail, dalam periode 1998-2014, Indonesia telah memiliki 1.601 tindak pidana yang tersebar di 154 undang-undang dengan ancaman pidana yang cukup berat. Terminologi ‘efek jera’ selalu didengungkan sebagai alasan di balik penyusunan kebijakan pidana di Indonesia.


Padahal seharusnya efek jera harus diukur dengan menggunakan indikator ilmiah yang didasarkan pada cabang keilmuan yang ada dan tidak berhenti pada tataran argumentatif. Kegagalan menyusun regulasi justru berakibat pada menjamurnya tindak pidana, begitu banyaknya pilihan hukuman, dan semuanya akan bermuara pada besarnya kemungkinan penjatuhan hukuman yang tidak adil terhadap pelaku kejahatan.

Sebagai contohnya, karena dianggap sebagai biang keladi kejahatan, hingga kini tiga Fraksi di DPR RI terus ngotot agar Rancangan Undang-Undang Pelarangan Minuman Beralkohol segera disahkan. RUU ini melarang pembuat, pengedar, pembeli, penjual, bahkan peminum dan penyimpan minuman beralkohol dengan ancaman hukuman penjara dan denda.

Padahal tidak semua penikmat minuman beralkohol itu orang jahat. Juga tidak semua peminum kopi itu pelaku tindak kejahatan korupsi.



Perkara hal minuman, yang jelas bukan alkohol, saja juga bisa memicu tindak korupsi kok…


Mengasumsikan semua peminum minuman beralkohol akan mengganggu ketertiban masyarakat adalah suatu pemikiran yang sempit. Apabila pemabuk telah mengganggu ketertiban, misalnya berkelahi, maka tegakkan hukum hanya kepada mereka yang mengganggu ketertiban.

Tidak hanya pemabuk, makan mie instan saja bikin ribut ya harus diproses


Apalagi kasus keributan bisa terjadi dimana saja, tak selalu di bar penjual minuman beralkohol



Ketentuan pidana dalam RUU Minuman Beralkohol itu jelas sangat tidak praktikal dan realistis untuk diimplementasikan karena keterbatasan sumber daya (anggaran, manusia, atau infrastruktur) yang dimiliki aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Pertama, polisi tiap tahunnya selalu kewalahan untuk meyelidik dan menyidik tindak pidana. Tahun 2013, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) menangani sebanyak 305.708 tindak pidana. Dari jumlah tersebut hanya 181.738 atau hanya 59 % yang berhasil diselesaikan.

Kedua, setelah suatu tindak pidana disidik, polisi akan meneruskan ke jaksa untuk dituntut dengan anggaran yang sangat terbatas. Tahun 2013, jaksa hanya memiliki anggaran sebesar Rp.3,3 juta untuk menuntut suatu perkara. Jumlah tersebut dikeluhkan sebagian besar jaksa, terutama di daerah terpencil, karena tidak cukup untuk membiayai tugas penuntutan.  Minimnya anggaran ini seringkali dijadikan alasan Kejaksaan terjadinya praktik korupsi.

Ketiga, jika perkara tersebut dituntut di pengadilan maka akan menjadi tambahan beban kerja bagi pengadilan yang pada tahun 2013 menunggak 67.196 perkara pidana. Tumpukan perkara ini mengakibatkan hakim terkadang mengabaikan hukum acara untuk mempercepat persidangan. Pada akhirnya, kinerja dan profesionalitas hakim sebagai suatu profesi mulia (officium nobile) akan menurun.

Keempat, lembaga pemasyarakatan (Lapas) yang akan menampung terpidana berdasarkan RUU ini sudah melebihi kapasitas. Tahun 2013, Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin, menyatakan seluruh Lapas di Indonesia kelebihan kapasitas. Ironisnya, salah satu Lapas memiliki kelebihan kapasitas hingga 900 %. Kelebihan kapasitas mengakibatkan para terpidana hidup tidak layak di dalam Lapas sehingga menghambat proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

Memidanakan pembuat, pengedar, pembeli, penjual, peminum dan penyimpan minuman beralkohol jelas akan menambah permasalahan keempat aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana tersebut. Solusinya tidak dapat dengan serta merta menaikan anggaran, menambah SDM, dan membangun Lapas karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia sangat terbatas.

Apabila DPR tetap memaksakan pengesahan RUU ini dengan terbatasnya sumber daya, rule of law di Indonesia sebagai negara hukum akan semakin lemah ketika suatu undang-undang tidak dapat diimplementasikan dengan baik. Terlebih jika aparat penegak hukumnya melanggar ketentuan acara pidana, tindak pidana korupsi, dan perlindungan HAM dalam melaksanakan undang-undang larangan minuman beralkohol.

Pemerintah perlu memikirkan ulang pendekatan punitif yang dijalankannya selama ini dan mulai mencari alternatif solusi yang lebih efektif untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan di Indonesia, yang tidak semata-mata karena minuman beralkohol


1 komentar: