Cari

Minggu, 29 Maret 2015

Oplosan

Korban Minuman Keras (Miras) oplosan masih saja terjadi. Malam menjelang hari raya, beberapa orang pesta Miras oplosan di Cimahi, Jawa Barat. Akibatnya, delapan orang meninggal dunia dan beberapa yang lain masih kritis. Oplosan menjadi tragedi di negeri ini. Banyak korban berjatuhan namun tiada membuat penyadaran, senantiasa berulang.

Oleh Aris Setiawan
Etnomusikog
Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta


Bahkan, karena kejadian itu menginspirasi terciptanya lagu berjudul Oplosan. Biasanya dinyanyikan oleh Shoimah. Berharap masayarakat tak hanya mendengar sambil bergoyang, tapi juga meresapi kandungan arti dari liriknya. Lagu tersebut mengandung misi dan pesan penyadaran. Berikut nukilan liriknya: opo ora eman duwite…/ opo ora mikir yen mendhem/ iku biso ngusak pikiran…/ coba sawangen kae kanca-kancamu/ akeh seng pada glempangan/ uga akeh seng kleset/ ditumpake ambulan…/ (apa tidak eman pada uang/apa tidak berpikir bahwa mabuk itu bisa merusak pikiran…/coba lihat teman-temanmu/ banyak yang bergelimpangan/ juga tidak sadar dinaikkan ambulan).


Disebut oplosan karena tak lagi murni minuman. Namun telah dipadukan dengan pelbagai zat lain. Untuk menambah “daya gedor,” minuman beralkohol itu dicampur dengan sepiritus, bensin obat nyamuk, pembersih lantai, sabun cuci, dan lain sebagainya. Tak ada takaran yang pasti, seberapa banyak-sedikitnya campuran itu harus dioplos. Oplosan adalah wujud eksperimen lokal yang dikembangkan dari pemikiran lokal pula. Mereka berusaha menghasilkan temuan berupa racikan baru (new invention) yang khas dan nikmat. Namun, eksperimen tersebut belakangan ini banyak gagalnya daripada suksesnya. Akibatnya, banyak manusia mampus gara-gara overdosis minuman beroplos.

Kultural
Hampir semua korban adalah masyarakat akar rumput, orang-orang jelata, kelas bawah yang miskin. Budaya omben kini seolah menjadi pelarian dari himpitan dan tekanan hidup yang semakin berat. Dengan mabuk, mereka berusaha melenakan diri, melupakan semua persoalan yang dihadapi walaupun sekejap. Budaya oplosan mengingatkan kita tentang tradisi mendem (mabuk) yang sudah mengakar di Nusantara. Kisah oplosan kemudian tak hanya berhenti menjadi peristiwa hukum dan ekonomi, namun juga peristiwa budaya.

Kitab lawas Negarakertagama misalnya, yang dibuat pada zaman Kerajaan Majapahit menjelaskan, minuman keras sudah menjadi bagian dari perjamuan agung di keraton. Apalagi setelah panen raya tiba, raja akan membuka perayaan upacara dengan menyuguhkan arak (minuman lokal) dari hasil fermentasi beras terbaik dengan dosis alkohol tinggi. Para tamu undangan dan pejabat keraton menari tayub. Sebelum menari, mereka diwajibkan menenggak arak terlebih dahulu. Adakalanya, arak yang dihadirkan sudah dioplos dengan jenis arak lain (fermentasi nira kelapa, siwalan). Pesta tersebut dapat berlangsung semalam suntuk. Bahkan para tamu undangan yang datang dari pelbagai daerah membawa oleh-oleh berupa arak khas daerahnya. Hal ini sekaligus menjadi ajang pamer arak siapa yang paling kuat atau besar kadar alkoholnya.

Bagi orang pribumi, semakin kuat ia minum dianggap sebagai jagoan yang tak terkalahkan. Dihormati dan disegani. Pesta tersebut menjadi ajang unjuk kemampuan dan kekuatan minum. Tradisi yang demikian, masih berlangsung di banyak daerah di Indonesia hingga kini.

Budaya minum juga tampak dalam narasi mitologi dan cerita rakyat kita. Sakerah misalnya, dalam lakon Ludruk di Jawa Timur dikisahkan sebagai seorang pemberani penentang penjajah Belanda. Ia adalah manusa asli Madura yang tinggal di Pasuruan dengan senjata khasnya berupa clurit. Pasukan
Belanda dibuatnya kalang-kabut. Konon ia tak mempan ditembak dan dihunus senjata tajam. Ia laksana belut, gesit dan sulit ditangkap.

Namun pada sutu ketika, dibuatlah pesta tayuban dengan tradisi omben. Sakerah datang, menari tayub bersama si lengger sambil mendem. Belanda mendekati, ia ditangkap dan dihukum mati. Tradisi “kumpul-kumpul” mengharuskan minuman keras disajikan. Bahkan, di Keraton Yogyakarta terdapat tempat khusus untuk minum-minum (saat penjajahan Belanda berlangsung) yang disebut Bangsal Sarangbaya. Hampir semua minuman keras saat itu diproduksi secara lokal dan legal.

Racikan
Minuman beralkohol yang diproduksi oleh orang pribumi biasanya memiliki nama yang khas atau melokal, seperti Ciu (Solo), Cap Tikus (Manado), Tuak (Tuban), Sopi (Maluku), Lapen (Yogyakarya), Cukrik (Surabaya). Harga minuman lokal tersebut tentu saja relatif lebih murah dibandingkan dengan minuman-minuman legal. Kasijanto Sastrodinomo lewat artikelnya Mabuk-Mabukan dalam Sejarah (2007) mengisahkan masyarakat pribumi sejak dahulu banyak mengalami kecanduan alkohol lokal. Akibatnya, produksi arak lokal berkembang sebagai bisnis yang menguntungkan.

Setiap minuman lokal tersebut memiliki keunikan oplosan tersendiri. Ciu di Solo (Bekonang) misalnya, wajib dihidangkan dengan beberapa oplosan. Rosalia Justna Sus Nugrohoweti (2013), menuliskan oplosan yang biasanya digunakan adalah minuman bersoda (Sprite, Fanta, Coca-Cola), bir, air rendaman tanduk kijang, serta ciu yang direndam dengan embrio bayi kijang. Sementara tuak di Tuban lebih nikmat jika diminum tanpa oplosan dan hasil dari sadapan pertama dari pohon siwalan. Cukrik di Surabaya dan sekitar kadang lebih gila lagi, dioplos dengan obat nyamuk cair dan spiritus. Biasnya, untuk mengecek seberapa keras, cukrik yang sudah dioplos kemudian dibakar. Jika nyala api merah berarti racikan oplosan masih kurang, apabila biru maka dianggap ideal. Dapat dibayangkan, berapa persen alkohol yang terkandung di dalamnya. Hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Kepolisian Republik Indonesia Cabang Surabaya (medio Januari 2014), kandungan alkohol dalam cukrik dapat melebihi 50 persen.

Kecanduan minuman beralkohol tak hanya terjadi di masyarakat pribumi. Di rumah-rumah sakit Perancis pada 1899, 30 persen pasien adalah pecandu alkohol. Di Inggris pada rentang waktu yang sama sekitar 10 persen tentara negeri itu adalah pemabuk. Di Jerman lebih ironis lagi, penyebab gila sekitar seperempat bagian pasien rumah sakir adalah alkohol. Kala itu, tak ada undang-undang yang mengatur secara resmi terkait dengan besarnya kadar alkohol, serta racikan dan campuran –oplosan- yang harus digunakan. Oleh karena itu, minuman oplosan adalah sarana pembunuh massal paling efektif.

Layaknya candu, mereka dapat tertawa dan menangis tanpa sebab. Ada ketakutan jika mereka sadar diri, kemudian menjalani kehidupan nyata yang tak diharapkan. Tak jarang mereka adalah orang-orang yang putus asa menjalani hidup. Oplosan seolah menjadi hadiah terindah. Oplosan memberi pengaruh agar rasa sakau itu semakin lama dan awet. Oleh karena itu, untuk menghasilkan rasa –awet- yang demikian, eksperimen oplosan senantiasa diberlangsungkan setiap saat dengan memadukan bahan dan racikan “bumbu-bumbu” baru, begitu seterusnya. Tak ada hasil akhir yang memuaskan, karena hasil akhir hanya berisi ketidakpuasan. Dosis kemudian harus ditambah terus dan terus, hingga akhirnya mendem yang sejatinya telah tiba, kematian!!!

(#sumber http://joglosemar.co/2014/08/opini-oplosan.html)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar