Cari

Minggu, 13 Maret 2016

Mengenal Moke Minuman Adat Flores

Moke merupakan minuman tradisional asal Flores, yang terbuat dari hasil penyulingan buah dan bunga pohon lontar maupun enau. Pembuatan moke dilakukan di kebun-kebun masyarakat dengan menggunakan wadah-wadah tradisional seperti periuk tanah untuk memasaknya. Pembuatan moke memerlukan keuletan, kesabaran dan keahlian khusus untuk menghasilkan minuman yang berkualitas.

Satu botol moke berukuran 330 mililiter, membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam proses  menunggu tetesan demi tetesan dari alat penyulingan yang menggunakan wadah yang terbuat dari batang bambu. Moke dengan kualitas terbaik sering disebut masyarakat dengan BM atau bakar menyala. Moke tersebut memiliki khasiat untuk kesehatan.

 Moke dengan kwalitas terbaik biasanya hanya disajikan pada akhir pekan dan acara-acara adat seperti pesta pernikahan sebagai pendamping hidangan utama dan disajikan juga sirih dan pinang yang biasa dikonsumsi para wanita. Walaupun moke merupakan minuman yang beralkohol, untuk mendapatkannya sangat mudah, diberbagai sudut kota maupun di pelosok desa moke selalu tersedia. Di luar Kupang, moke dapat ditemukan di warung pinggir jalan. Harganya antara Rp 15-20 ribu per botol air kemasan sedang.

Arak tradisional ini merupakan minuman masyarakat luas di Flores termasuk di kalangan para pejabat daerah. Masyarakat di Flores sering mengonsumsi Moke beramai-ramai atau dalam istilah daerah disebut dengan cara melingkar.

Konsumsi moke sering dilakukan bersama dengan aneka cemilan atau lepeng dalam bahasa daerah. Moke juga dikonsumsi bersama dengan makanan khas flores seperti lepeng ikan kuah asam, ikan bakar, sop kambing, pisang bakar/rebus dan sambal lemon atau sambal tomat balik. Perjamuan tersebut sering dilakukan di luar rungan seperti di pinggir pantai, di halaman rumah dan di bawah pepohonan.

Moke juga digunakan dalam upacara adat, seperti upacara tua kalok (upacara adat untuk beramai-ramai meminum moke sebagai simbol pernyataan suatu kesepakatan), Roko Molas Poco (suatu tradisi adat awal pembangunan  rumah adat masyarakat Manggarai). 

Sayangnya kenikmatan moke akhir-akhir ini diganggu dengan ulah oknum yang meminumnya dengan serampangan dan tidak bertanggungjawab, salah satu akibatnya tingkat kecelakaan sangat tinggi terjadi di jalan raya akibat mabuk moke. Selain itu pemerintah daerah juga kurang mendukung keberadaan moke sebagai salah satu ‘aset’ daerah, Pemda justru mengeluarkan perda tentang perizinan, pengawasan, dan pengendalian minuman beralkohol, perda tersebut mendapat penolakan keras dari masyarakat.

Pembuatan Moke

Proses pembuatan penyadapan dimulai dengan menampung air bunga tandan dari pohon moke, atau dikenal dengan moke putih. Peralatan yang digunakan adalah pisau atau golok, bambu berbentuk tabung berdiameter 15 cm, panjang 1 meter, dan sabuk pengaman.Pemilihan bunga adalah bagian yang paling menentukan untuk dapat menghasilkan air mike yang bermutu baik dan jumlahnya banyak. Kuncup bunga enau dibuka dengan menggunakan pisau atau golok secara hati-hati. Setelah semua tandan terbuka, lalu tandan dirundukkan dengan menggunakan tali yang diikatkan pada pelepah daun bawah, dan dibiarkan selama 3-4 hari. Penampungan atau penderasan air mike dapat dilakukan dengan mengiris ujung tandan bunga.Setiap kali air diambil, bunga diiris kira-kira 0,5 cm dan air yang keluar ditampung dengan bambu.

Penampungan atau penderasan air mike dapat dilakukan dengan mengiris ujung tandan bunga.  Sebelumnya bambu diisi dengan kapur sirih atau daun-daun khusus untuk mencegah air agar tidak menjadi asam. Penampungan air dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari yakni pagi dan sore hari. Dua kali sehari mesti memanjat pohon enau dengan tinggi sekitar 19 meter. Umur pohon kira-kira 15 tahun. Setiap pohon mikedapat menghasilkan 8-10 liter.

Air moke yang telah dikumpulkan selama kurang lebih satu hari, kemudian diberi bawang merah yang diiris, daun kemangi, dan daun. Sesudah itu, moke sudah siap suguh menjadi minuman. Minuman ini memiliki aroma yang khas, dan rasa asam sedikit bercampur agak pahit saat diminum. Jika pohon tidak menghasilkan banyak buah, ada cara tradisi nenek moyang yang dapat memberikan hasil yang banyak. Persoalan ini diatasi dengan penyadap tidak hanya dengan keahlian teknis namun juga dengan cara upacara pemberian sesaji, seperti sembelih ayam. Sebab, penyadap menyakini bahwa pohon enau memiliki ‘roh’.

Setiap peyadap mesti mengetahui akan sisi ‘gaib’ dari pohon ini. Oleh karena itu, pengiris memberikan sesajian. Biasanya, menyuguhkan bahan saji sebelum pekerjaan iris bunga aren. Doa-doa mantra mengiringi sesaji itu. Nenek moyang telah berpesan bahwa pohon enau sebagai bagian dari kehidupan. Pohon ini memberikan berkah untuk saat ini dan masa depan




1 komentar: