Cari

Minggu, 13 Maret 2016

Putusan Pansus Raperda Minol DPRD Surabaya Berpotensi Langgar UU dan HAM

SIARAN PERS

Putusan Pansus Raperda Minuman Beralkohol DPRD Kota Surabaya  Berpotensi Melanggar UU dan HAM 


Latar Belakang
Pada hari Kamis, 10 Maret 2016, Pansus Raperda Minuman Beralkohol DPRD Kota Surabaya mengeluarkan diskresi pelarangan total penjualan minuman beralkohol di berbagai tempat dan kawasan, termasuk hotel dan tempat hiburan malam di kota Surabaya.  

Keputusan pansus tersebut dilakukan dengan cara voting. Voting dilakukan karena pembahasan pansus berjalan alot. Sebagian meminta agar larangan peredaran minuman beralkohol hanya berlaku di hypermat dan minimarket, sementara sebagian lagi bersikukuh agar larangan peredaran mihol berlaku untuk semuanya.
     
Hasilnya, enam anggota pansus sepakat agar larangan berlaku menyeluruh. Mereka adalah Edi Rachmat (Fraksi Gabungan Handap/Hanura, Nasdem dan PPP), Mazlan Mansur (PKB), Rio Pattisilano (Gerindra), Ahmad Zakaria (PKS), Saiful Aidi (PAN) dan Binti Rohmah (Golkar).
    
Sedangkan empat anggota lainnya membolehkan penjualan minuman beralkohol secara terbatas seperti di hotel, bar dan restoran. Mereka adalah Baktiono (PDIP), Didik Adiono (PDIP), Erwin Tjahyuadi (PDIP), serta Dini Riyanti (Demokrat).

Tinjauan Hukum
Keputusan (diskresi) dari pansus Raperda Minol berpotensi melanggar Undang-Undang nomer 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30 tahun 2014).
a.     Pasal 1 angka 9 UU 30/2014 disebutkan diskresi merupakan keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. (terkait putusan final DPRD Kota Surabaya itu patut dipertanyakan urgensi putusan itu terkait dengan perundangan diatasnya seperti Permendag dan regulasi lain yang mengatur perdagangan minol. Bahwa sudah ada regulasi diatasnya,--tidak terjadi kekosongan hukum--, yang mengatur tata niaga minol dengan jelas sehingga tidak perlu mengambil keputusan dibawahnya).
Pasal 24 UU 30/2014 yang mengatur soal kewenangan pejabat pemerintahan. Disebutkan bahwa diskresi tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada dan harus mendapatkan persetujuan dari atasan pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan dimaksud dilakukan apabila penggunaan diskresi menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara [Pasal 25 ayat (1) dan (2)]

b.     Putusan Pansus juga berpotensi melanggar Pasal 27 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik; yang kemudian diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia melalui UU No 12 tahun 2005.  Dalam UU itu, paragraf 5 ayat (1) dan 5 ayat (2) pada Komentar Umum No.23 yang menjelaskan tentang Pasal 27 menjelaskan bahwa mereka yang dilindungi ialah mereka yang dalam kelompok tertentu dan memiliki kesamaan budaya, agama dan atau bahasa tidak boleh dilanggar haknya saat bersama anggota kelompoknya mempraktikkan budaya, menjalankan agama dan bicara dengan bahasannya. Lebih lanjut, dalam paragraf 6 ayat (2) pada Komentar Umum juga menyatakan bahwa hak-hak minoritas harus dilindungi dari tindakan-tindakan negara, baik itu legislative, yudikatif dan administratif, tidak terkecuali juga orang-orang lain di dalam negara. (Surabaya merupakan kota bagi masyarakat dengan berbagai suku dan agama, seperti Bali, Flores, dan suku lainnya)

c.      Pelarangan untuk memproduksi, memperdagangkan dan mengkonsumsi minuman beralkohol juga melanggar aspek-aspek hak asasi manusia lainnya terutama hak atas kesehatan yang terkandung dalam Konvenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan  Budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU no 11 tahun 2005. Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam Komentar Umum nomer 14 tentang Hak atas kesehatan menjelaskan bahwa : “ Hak atas kesehatan tidak dapat dipahami secara sempit sebagai sebuah hak untuk sehat semata. Selain hak, hak atas kesehatan juga melingkupi kebebasan. Kebebasan ini termasuk juga hak untuk mengendalikan kesehatan dan tubuh sendiri…” Hal ini menunjukkan penghormatan kepada setiap individu untuk mengkontrol tubuh dan kesehatannya sendiri, yang mana tidak ditunjukkan dalam Raperda Pelarangan Minol di Kota Surabaya.

d.     Raperda Pelarangan Minuman Beralkohol justru akan meningkatkan resiko kesehatan kepada masyarakat dan mengancam nyawa seseorang akibat perdagangan oplosan. Dalam Pasal 12 ayat 2 huruf c Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengatur mengenai “pencegahan... penyakit epidemi, endemik, akibat pekerjaan, dan lain-lain.” Dalam Komentar Umum mensyaratkan “...pembentukan program pencegahan dan pendidikan untuk masalah kesehatan berbasis perilaku... dan memajukan faktor-faktor sosial daripada kesehatan yang baik...” bukannya pembentukan regulasi yang justru memperburuk keadaan. 

   Oleh sebab itu kami meminta agar Walikota Surabaya, Ketua DPRD Kota Surabaya serta Pemerintah Propinsi Jawa Timur untuk meninjau ulang putusan tersebut agar tidak bertentangan dengan misi dan visi Walikota Surabaya Tri Rismaharini dalam menciptakan generasi muda kota Surabaya yang berkualitas (terlindungi dari peredaran bahaya oplosan) dan melindungi keberagaman masyarakat di kota Surabaya. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar