Cari

Sabtu, 05 Maret 2016

Pesantren Hijau Indonesia Dukung Perlindungan Petani Minuman Tradisional Arak

Pesantren Hijau Indonesia mendukung upaya pemberdayaan petani tradisional agar produk Indonesia mampu diterima dan bersaing di pasar internasional. Pemerintah juga diminta melindungi produk lokal agar mampu bersaing dalam era pasar bebas.

Demikian dikatakan oleh Direktur Pesantren Hijau Indonesia , Muhamad Khoirul Rijal menanggapai pernyataan Forum Petani dan Produsen Minuman Berfermentasi Indonesia (FPPMBI) agar pemerintah membina produsen minuman beralkohol tradisional untuk pasar luar negeri. Ia mengatakan minuman Beralkohol Tradisional (MBT) asal Indonesia, seperti arak dan sopi, layak  diekspor di Korea Selatan, sebuah negara di kawasan Asia yang telah menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia, termasuk program sister city dengan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini.

“Pemerintah harus memberdayakan petani kepala, siwalan, singkong, tebu sebagai bahan pembuatan etanol dengan cara melakukan pendataan hingga pembinaan terpadu agar kualitasnya dapat bersaing dengan minuman beralalkohol tradisional luar negeri, seperti soju, makgeolli, ginseng wine dan minuman alkohol lainnya, “ katanya yang akrab dipanggil Gus Rijal.   

Muhammad mengatakan selama ini pemerintah dan aparatnya seringkali melakukan operasi pasar dan merazia minuman beralkohol tradisional dalam operasi pekat. Namun hasilnya malah memunculkan peredaran oplosan yang mengakibatkan ratusan korban meninggal dunia.

“Razia pekat dan operasi malam atau penertiban terhadap peredaran arak, cukrik, tuak, sopi dan lainnya perlu dievaluasi karena tidak mendatangkan solusi, baik bagi petani maupun masyarakat,  “ kata Gus Rijal yang juga Ketua Gerakan Penyelamat Nahdhlatul Ulama (GPNU) Indonesia

Muhammad mengatakan dengan pembinaan terpadu serta jaminan dari pemerintah daerah maka petani pembuat minuman beralkohol tradisional dapat hidup sejahtera dan mendatangkan devisa bagi negara Indonesia.

Sebelumnya, Ketua Forum Petani dan Produsen Minuman Berfermentasi Indonesia (FPPMBI), Adi Chrisianto menyatakan arak dan sopi tidak kalah citrarasanya dibandingkan soju dan wine ginseng asal Korea Selatan yang banyak dijual dan digemari oleh masyarakat kelas menengah keatas di Indonesia.

“Baik di Seoul, Jakarta dan Surabaya, orang Indonesia mencari soju dengan harga Rp 150 ribu per 330 mililter (ml). Padahal rasanya tidak kalah dengan arak buatan petani Karangasem Bali dan Sopi yang dijual dengan harga Rp 10 ribu – Rp 30 ribu per 330 ml, “ katanya.

Adi mengatakan banyaknnya arak yang disita dalam razia kepolisian membuat perdagangan arak dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga orang kelas menengah atas memilih arak dari luar negeri dengan harga yang mahal.

“Di Korea Selatan, soju dan minuman beralkohol tradisional banyak dijual di minimarket dan supermarket. Sedangkan di Indonesia, arak, sopi dianggap musuh dan menjadi biang kerok dari sejumlah kematian akibat oplosan. Padahal belum pernah ada orang mati setelah minum arak, sopi atau soju, “ katanya.

Adi mengatakan pembinaan itu meliputi standarisasi produksi dan kelayakan konsumsi hingga mengawasi jalur distribusinya hingga perijinan agar tidak disalahgunakan yang berakibat merugikan konsumen. Edukasi dan penegakan hukum pidana bagi pemabuk dan penyalahgunaan minuman beralkohol diyakini mampu membawa arak dikenal hingga Asia.

“Negara harus melindungi hak atas petani mendapatkan pekerjaan yang layak. Selama ini, negara belum memperhatikan hak – hak tersebut. Petani arak dianggap musuh dan pelaku criminal karena dianggap menjual produk pangan illegal, “ katanya..


Padahal, kata Adi, selama ini produsen minuman beralkohol tradisional sudah meminta agar arak, tuak dan sopi dilegalkan penjualannya di Indonesia dan mereka mendapatkan sertifikasi produk layak konsumsi. 

1 komentar: