Cari

Jumat, 17 April 2015

Bir di “Bandar Dunia Madani” Bukan Jadi Minuman Memabukkan

Selain dihidangkan dalam acara tertentu dalam komunitas masyarakat China dan Batak di Batam, bir dikonsumsi tukang ojek di Batam yang menjadi kota etalase perdagangan dan investasi di Indonesia, hanya untuk menjaga kesehatan dan stamina untuk memberikan kontribusi pembangunan di kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB/FTZ).

Batam sebagai Bandar Dunia Madani memang tidak pernah tertidur lelap. Demikian juga halnya dengan Gordon (45), salah satu tukang ojek yang setiap malam mangkal di depan pusat perbelanjaan di kawasan shopping center Batam City  Square di  Komplek Baloi Kusuma Indah, Kepri.

“Biasanya kalau malam begini, banyak pendatang yang menginap di hotel ingin diantar ke tempat hiburan atau mencari makan, “ kata Gordon asal Medan yang lebih dari sepuluh tahun lamanya bekerja di Batam yang konon surga bagi pencari nafkah.

Tingkat pertumbuhan ekonomi di Batam tahun 2015, yang ditergetkan mencapai 6,3 persen hingga 6,6 persen  atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional memang menjadi “magnet” bagi pencari kerja di daerah sekitarnya.  

Perkembangan Batam sebagai salah satu tumpuan ekonomi kawasan Sumatra bahkan nasional merupakan buah pemikiran Baharuddin Jusuf Habibie ketika menjadi Kepala Otorita Batam pada 1978-1998. Di masa kepemimpinannya, Batam diubah dari rencana semula sebagai pulau yang mendukung usaha Pertamina menjadi daerah industri yang bersaing dengan negara tetangga Singapura dan Malaysia.

Pada tahun 1989, dengan bantuan investor asal Singapura, dibangun kawasan Industri Batamindo seluas 6.000 hektar. Hingga kini kawasan industri ini menjadi yang terbesar di Batam.

Bagaikan madu dan lebah, pertumbuhan ekonomi “mentereng” di Batam, yang mencapai 17 persen pada masa kepemimpinan Presiden Habibie ini kemudian mengundang siapa saja yang ingin mencicipi manisnya madu.

Selain investor, ribuan tenaga kerja mulai beradu nasib di Batam. Pada akhir 1990-an, penduduk Batam mencapai sekitar 400 ribu. Padahal sebelumnya pulau Batam hanya dihuni 6.000 penduduk yang bekerja sebagai nelayan dan penyadap karet dan damar.

Sejak tahun 2009, ketika pemerintah meresmikan Kawasan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (free trade zone), Gordon yang awalnya bekerja sebagai buruh industri mulai beralih profesi sebagai tukang ojek. Uang dari hasil keringatnya dikumpulkan hingga ia mampu membeli sepeda motor untuk modal bekerja.

Jumlah penduduk yang terus bertambah, kini lebih dari 1,3 juta jiwa penduduk, juga sebanding dengan pertambahan kendaraan bermotor. Data Kantor Samsat Kepri menyebutkan sebanyak 5.000 sepeda motor baru terdaftar setiap bulannya. Sementara kendaraan roda empat bertambah 500-600 unit tiap bulannya. Sampai pertengahan tahun 2013, Samsat mencatat ada 776.343 unit kendaraan roda dua dan 259.843 unit ken-daraan roda empat.

Kini, Batam tidak hanya sebagai tempat bagi industri, namun juga wisatawan. Banyaknya pekerja asing membuat bisnis hiburan berkembang yang memancing wisatawan mancanegara datang ke Batam.  Pemerintah pun mentargetkan pada tahun 2020 mendatang Batam akan menjadi kota metropolitan dengan jumlah investasi kumulatif mencapai Rp.91,4 Triliun.

“Saya hanya berpikir bagaimana esok saya masih bisa bekerja untuk menghidupi keluarga saya, “ kata Gordon yang selain menjadi tukang ojek juga sering menjadi guide tamu asing dari Malaysia dan Singapura.

Para tamu asing itu, kata Gordon, biasanya mengisi waktunya usai berbisnis untuk mencari hiburan mulai dari panti pijat, pub dan karaoke di kawasan Paradise dan Nagoya hingga sekedar mencari makanan khas Melayu dan masakan ala China.

“Mereka biasanya ingin minuman bir yang harganya lebih murah dibandingkan di Singapura. Banyak tamu saya yang ke Batam hanya untuk nge-bir saja karena di negeri seberang mahal, “ katanya.

Bir, kata Gordon, bukanlah minuman yang digemari oleh remaja di Batam. Para anak-anak muda yang berkantong tebal lebih memilih beli minuman berakohol jenis wiski di free duty. Sedangkan kalau anak muda yang berkantung minim lebih memilih anggur merah dan arak putih yang dibeli eceran.

“Kalau bir dianggap merusak generasi muda karena memabukkan itu salah kaprah. Anak muda disini kalau mabuk ya pakai anggur merah dan arak putih yang kadar alkoholnya lebih tinggi, “ katanya.

Bir sendiri kata Gordon, banyak diminum oleh orang dewasa.

“Saya sendiri minum bir untuk menjaga stamina dan kesehatan. Kita ini soalnya kerjanya hampir 24 jam. Kalau bir membuat mabuk, wah saya tidak bisa bekerja, “ katanya.

Bir juga biasanya disajikan dalam acara Pekkong dan Bona Taon yang sudah menjadi tradisi di Kepulauan Riau.

Yekti (27), salah satu terapis asal Subang di salah satu panti pijat refleksi mengatakan biasanya tamu meminta satu botor bir untuk penghangat badan, bukan untuk mabuk-mabukan.

“Saya sendiri heran mengapa Pemerintah pusat membuat regulasi pelarangan menjual bir di minimarket dan pedagang eceran dengan alasan bir memabukkan dan merusak generasi muda. Seharusnya sebelum dibuat aturan turun dahulu di lapangan sambil saya pijat, “ katanya.

Anggota Komite IV DPD RI, Heripinto Tanuwidjaja meminta agar Menteri Perdagangan Rachmad Gobel meninjau ulang Permenda no 6 tahun 2015.

“Jika bir dilarang maka angka kriminalitas di Batam akan tinggi dan ini justru membuat investor tidak nyaman, “ katanya.

Heripinto mengatakan sebenarnya aturan yang lama, Permendag nomer 20 tahun 2014 sudah efektif mengurangi impor minuman beralkohol secara illegal. Bahkan menurut regulasi itu, pemerintah juga bisa memberikan pengawasan penjualan bir.


Sementara itu, Anggota DPRD Batam, Hendra Asman seperti yang dikutip Koran Sindo mengatakan penerapan regulasi Menteri Perdagangan itu akan mempengaruhi PAD Batam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar