Cari

Minggu, 26 April 2015

Teler dan Mabuk Prasangka

JEAN COUTEAU

Aku biasanya paling benci orang mabuk, apa lagi ”bule” mabuk. Tetapi, lucu, kini justru akulah, he, he, yang mabuk. Apakah karena kembali ke ”jati diriku”, bule yang memang biasa mabuk. Bisa jadi demikian. Pokoknya, aku betul-betul teler, sampai jadi mabuk di tempat yang enggak pantas. Di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai!

Kenapa di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai? Karena aku baru menginjakkan kaki di Pulau Dewata! Di sini boleh minum tanpa harus merasa bersalah? Tapi alasanku yang sebenarnya adalah lain: aku orang ”merdeka”. Pada waktu kecil, setiap larangan konyol orangtua pasti aku langgar. Kalau dilarang, justru aku lakukan. Pemicunya tadi, di Yogya, pada saat sarapan, sebelum menuju bandara, aku haus. Lalu, apa yang paling cocok untuk mengatasi dahaga di negeri tropis? Ialah, bir. Cuma, aku sial! Pelayan warung menolak pesananku dengan berkata: ”Maaf Pak, kami tidak boleh menjual bir lagi. Melanggar peraturan.”

Aku kaget! ”Melanggar peraturan!” Baru mendengar kata itu, aku tahu harus melanggar. Terlalu konyol. Maka, baru mendarat di Bali, aku minum, minuuum. Tak mengherankan bila kini aku ngoceh enggak keru-keruan. Sambil menikmati pandangan iring-iringan orang ”baik-baik”, kadang berlagak saleh, yang terus lewat di depanku sambil melirik ”londo mabuk”—di dalam hal ini aku. Mereka tidak mengenal aku, aku tidak mengenal mereka, tetapi kita sama-sama berprasangka buruk: aku menganggap mereka sok suci, sedangkan mereka menduga aku maksiat. He... he... he.

Jangan-jangan keputusan melarang bir itu telah diambil secara gegabah oleh penentu kebijakan. Menurut aku, para wakil rakyat kita yang terhormat itu telah menggagas keputusan konyol ini seusai berpesta pora di hotel mewah Ibu Kota. Memang sudah rahasia umum: mereka tidak suka nongkrong di warung pinggir jalan. Dan kini larangan minum alkohol tidak berlaku di hotel-hotel bintang lima!!! He-he-he! Aman! Tapi munafik! Dan tidak adil: hanyalah orang bule, orang kaya, dan para wakil rakyat yang terhormat yang boleh minum. Begitulah! Apakah hal ini merupakan hak istimewa (privilese) atau penghinaan, tak jelas. Tapi bagiku, pantas dirayakan. Dengan meneguk sebotol lagi! Kata peraturan: ”Tak boleh dibawa pulang.” Maka, mendingan mabuk di bandara. Ayuk!!! He, he, he!

Katanya orang Bali telah siap protes seandainya larangan alkohol itu turut diberlakukan di pulau mereka. Pasti merugikan pariwisata, kata mereka. Tetapi, menurut aku, keliru. Belum tentu Bali bakal rugi. Orang bule akan berkurang, pasti! Tapi biarlah! Banyak di antaranya memang enggak tahu diri. Kalau enggak minum, kerjanya kawin melulu atau berbisnis liar!

Di lain pihak, kalau alkohol tidak dilarang, Bali pasti akan tambah populer. Bukan di luar negeri, tetapi di Indonesia. Para wakil rakyat akan semakin gemar kemari, apakah untuk rapat, kongres, musyawarah, pokoknya dengan alasan apa pun yang masuk akal. Apalagi, selain alkohol bebas, makanan di Bali juga lebih beraneka, kan? Jadi, Bali akan kelimpahan orang munafik luar pulau: mereka yang terus ngomong ”karakter bangsa” di pusat untuk mabuk dan mesum di daerah. Masalahnya, kalau sudah menyadari gelagat itu, aku tidak lagi yakin kalau masyarakat lokal akan terus setuju dengan izin mabuk ”khusus Bali” itu. Aku serius, lo!

Pikir-pikir, ada juga kemungkinan lain. Ingat Presiden JF Kennedy? Ayahnya adalah seorang miliarder yang konon menumpuk kekayaannya dengan memperdagangkan booze (alkohol) pada waktu prohibition ketika peredaran alkohol dilarang di Amerika (1920-1933) karena dipadankan dengan narkoba. Baru setelah itu, dia bisa membiayai anaknya menjadi presiden Amerika. Siapa tahu pelarangan alkohol di sini diberlakukan dengan harapan agar kelak terlahir seorang ”satria piningit” setaraf Kennedy di antara anak-anak para pemasok liar alkohol dan narkoba. Jadi belum bosan juga dengan satria ”piningit”!

Maaf, saya terpaksa berhenti ngelantur. Sang manajer bar telah memanggil polisi. Jangan-jangan aku kena denda, seperti di luar negeri. Tapi… bukankah justru cara itulah yang paling masuk akal untuk mengontrol para pemabuk? He, he, he. Ho,ho ho!

(Sumber : harian Kompas edisi 26 April 2015, di halaman 13 dengan judul "Teler dan Mabuk Prasangka")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar