Cari

Minggu, 05 April 2015

Islington dan Kampanye Stop Mabok

Usai talkshow di salah satu radio swasta di Surabaya bersama Melanie Soebono, Steven “Jam” Nugraha Kaligis dan Sarah Sidharta dari Komunitas Anti Oplosan, saya kembali teringat dengan sebuah kota di Inggris bernama Islington.  Ya kota ini menjadi inspirasi bagi saya dan beberapa rekan saya, memulai “berkampanye” melawan oplosan.

Oleh : Rudhy Wedhasmara
*Pendiri organisasi nirlaba untuk penanganan narkotika, psikotripika dan obat terlarang Empowerment and Justice Action


Puluhan tahun silam, ketika saya masih terperangkap dalam jerat narkotika, Charlie George, salah satu pemain Arsenal tahun 1966 yang menjadi salah satu tokoh ikonik The Gunners bukan sosok yang saya kenal. Nama Charlie, yang anak “asli” di Islington, London dan dibesarkan di kawasan dekat stadion Highbury Arsenal itu mencuat di sebuah ulasan majalah olahraga tepat ketika saya ingin meninggalkan dunia kelam saya, yang tidaklah mudah tetapi butuh sebuah perjuangan keras.

Charlie sendiri bukanlah striker bertipe bomber seperti Ian Wright atau Thierry Henry. Torehan golnya untuk Arsenal ‘hanya’ 49 gol dari 179 pertandingan. Sebuah ukuran biasa dibanding nama beken lainnya seperti Messi atau Christian Ronaldo. Apalagi Charlie pun tak termasuk dalam laskar agung Arsenal Centurions, pemain-pemain yang berhasil menorehkan 100 gol untuk Arsenal.

Tetapi, kala itu, Gooners, --sebutan pendukung Arsenal--, Charlie dengan tubuh jangkung, rambut gondrong sebahu dan jambang lebat itu jauh dikenal dengan julukan  “The King Highbury”. Meskipun aksi Charlie sering kontraversial di lapangan hijau, namun julukan itu diberikan karena ia dianggap mewakili harapan anak-anak muda, “raih cita-citamu setinggi langit”.

Memang Charlie bukan satu-satunya alasan untuk saya lepas dari sebuah jerat, memulai mengejar mimpi saya yang tertinggal. Banyak orang yang berjasa lainnya dalam kehidupan saya. Bagi saya, apa yang diberikan oleh Charlie saat itu ialah sebuah harapan yang mampu merubah kehidupan.

Menteri Perdagangan Rachmad Gobel juga merupakan sosok yang memberikan harapan bagi generasi muda bangsa. Untuk melindungi generasi muda bangsa dan moral bangsa karena dampak minuman beralkohol, Menteri Gobel pada 16 Januari 2015 mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

Aturan itu melarang penjualan minuman beralkohol dibawah 5 persen dijual di minimarket. Dengan keluarnya aturan ini, pebisnis minimarket wajib menarik minuman beralkohol jenis bir dari gerai minimarket miliknya paling lambat tiga bulan sejak aturan ini terbit.

Masalah minuman beralkohol, sama dengan masalah narkoba, adalah komoditas yang ‘diharamkan’ meskipun perdagangan minuman beralkohol diatur dalam Pasal 2 UU Perdagangan.  Namun sekeras apapun pemberantasannya masih tetap saja banyak orang yang mengonsumsinya. Sifat haram komoditas-komoditas inilah yang kemudian dipertegas sebuah pemerintahan untuk memperkuat legitimasinya. Kebijakan pelarangan minuman keras dan narkoba pastilah akan sangat populer di Indonesia dimana jumlah ‘kaum pengharaman’ (orang-orang yang menganggap pelarangan sebuah komoditas sebagai satu-satunya cara mengatasi persoalan) ditaksir cukup besar.

Keluarnya Permendag ini ibaratnya seorang sakit kepala tetapi diberikan obat sakit perut. Pembatasan dan pelarangan yang diatur dalam sejumlah regulasi tidak berhubungan dengan upaya menanggulangi bahaya oplosan yang sering memakan korban jiwa.

 Selama puluhan tahun berkecimpung dalam aktifitas “harm reduction” korban Narkotika, masalah oplosan “kurang populer” di kalangan aktifis Napza di tanah air dan juga pemerintah serta pihak terkait yang sedikit disibukkan dengan propaganda “Perang melawan Narkotika”.

Padahal oplosan telah merenggut puluhan korban jiwa. Setiap hari, tangisan keluarga korban oplosan menjadi kisah tragis yang menghiasi koran dan televisi. Sementara banyak pihak masih menyalah-tafsirkan antara oplosan dengan minuman beralkohol, sehingga kemudian melahirkan sejumlah regulasi pelarangan dan pembatasan penjualan minuman beralkohol legal di sejumlah daerah. Tercatat sejak tahun 2013 hingga saat ini tercatat telah terbit 147 peraturan daerah baru yang melarang dan membatasi penjualan minuman keras beralhokol, namun justru tidak menurunkan angka kematian akibat konsumsi oplosan di Indonesia, yang menurut Gerakan Anti Miras (Genam) mencapai 18 ribu kematian tiap tahunnya. 

Seperti yang dilansir oleh Bloomberg, dalam laporan berjudul Beer Today, Gone Tomorrow, Muslim Indonesia Curbs Ale Sales,  Muhammad Ali, profesor studi Islam di University of California, mengaitkan munculnya larangan menjual bir di minimarket tersebut dengan semakin nyaringnya suara kalangan konservatif yang memberi kesempatan kepada para politisi populis Islam maupun politisi sekular memperalatnya untuk meningkatkan legitimasi. Ia mengatakan Kebijakan itu ialah penerapan hukum Syariah secara perlahan  tetapi stabil, dengan menggunakan cara-cara legal dan konstitusional.

Jadi apakah regulasi itu mampu memberikan harapan yang lebih baik ?

Selain menjadi tempat yang melahirkan harapan, Islington London juga menjadi harapan sekaligus tempat yang membawa pengaruh dalam dunia kesenian di dunia. Di kota itu, lahir istilah musik jalanan (streets singers) yang juga banyak mempengaruhi seniman-seniman musik mulai dari The Beattles hingga musisi di tanah air seperti Gombloh dan lain-lain.

Berbicara soal musik, selain Melanie Soebono dan Steven “Jam” Nugraha Kaligis bersama Komunitas Anti Oplosan, ada beberapa rekan musisi lain yang ikut berkampanye melalui sejumlah kegiatan bermusik mereka. Doddy “Mr D” Hernanto, misalnya, gitaris yang mempopulerkan tehnik open tuning guitar, juga berniat mengkampanyekan anti oplosan, di setiap penampilan panggungnya dan di beberapa sekolah musik di Indonesia.


Dengan ketrampilannya memainkan open tuning guitar,  yang populer sejak sekitar 1920 oleh musisi gitar asal Amerika dan Afrika (Tehnik yang memungkinkan pemain gitar mampu menghasilkan satu nada dengan satu jari, tanpa susah membentuk grap), ditambah kemampuan kreatifnya di bidang musik, Mr D juga berencana membuat beberapa rekaman lagu anti oplosan. Untuk produksi rekaman ini, Mr D tidak membutuhkan fasilitas studio musik yang mahal, melainkan hanya cukup dengan peralatan tehnologi dan iphone. Rekamannya pun dapat dilakukan dimana pun tempatnya.

 Tidak ketinggalan pula, Auditya “Odi” drummer Modulus Band, sebuah band aliran musik jazz fusion yang terkenal tahun 1996 dengan lagunya berjudul “Kamu ya Cuma Kamu”. Odi sendiri saat ini sibuk mengajar musik di salah satu sekolah musik di Jakarta. Di sela mengajar, Odi pun aktif mengingatkan kepada muridnya untuk menjauhi oplosan.

Sebelum mengakhiri sesi talkshow di salah satu radio swasta malam itu, Melanie menyanyikan sebuah lagu berjudul “Dia Sahabat”.

“Ku bernyanyi disini
Lagu khusus untukmu sahabatku
Terkadang lebih dari kekasih
Lebih mengenal aku sahabatku

Dialah sahabatku
Ada kapanpun itu.....”

Sahabat, teman bagi saya sendiri juga mampu memberikan harapan. Semoga...





Tidak ada komentar:

Posting Komentar